Jumat, 22 Februari 2013

Pelayanan Kesehatan adalah Kewajiban Negara


[Al-Islam 645] Harapan warga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak nampaknya masih jauh. Itulah yang dialami Elisa Darawati, seorang warga tidak mampu di Jakarta yang harus menerima kenyataan setelah salah satu putri kembarnya yang baru lahir meninggal akibat penyakit yang dideritanya. Bayi yang lahir prematur tersebut didiagnosa mengalami gangguan pada tenggorokannya. Apa daya setelah 10 rumah sakit di yang didatanginya tidak ada satupun yang bersedia merawat dengan alasan penuh! Bayi malang itupun akhirnya meninggal.
Beberapa jam kemudian pihak Menkes membantah terjadinya penolakan dari pihak rumah sakit terhadap Elisa. Menurutnya semua rumah sakit yang didatangi Elisa memang telah penuh. “Jadi, bukan karena dia ditolak di mana-mana, tapi karena kondisinya buruk. Kalau anak berat 1 kg memang survival-nya kecil sekali,” jelas Menkes Nafsiyah Mboi. Ia juga berjanji akan memperbaiki sistem komunikasi antar RS sehingga tidak muncul kejadian seperti Elisa yang berkeliling-keliling membawa putrinya yang sakit parah.
Pihak Kemenkes juga membantah terjadinya diskriminasi terhadap warga miskin seperti Elisa. “Tidak diterimanya rujukan pasien tersebut disebabkan keterbatasan alat, dalam hal ini fasilitas ruang NICU, bukan karena pasien membawa Kartu Jakarta Sehat (KJS),” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenkes Murti Utami dalam siaran persnya, Senin (18/2). Gubernur DKI Jokowi juga menyatakan penuhnya kamar perawatan neonatal intensive care unit (NICU) dikarenakan terjadinya lonjakan jumlah anak penderita hingga 70 persen.

Rendahnya Anggaran Kesehatan
Meski sudah berganti rezim berkali-kali akan tetapi mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat, khususnya warga miskin, masih jalan di tempat. Di sana-sini keluhan warga miskin yang kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk saat berobat ke rumah sakit masih saja sering terdengar.
Rendahnya pelayanan kesehatan terhadap warga juga tampak dari masih banyak kaum ibu yang memilih meminta bantuan dukun beranak untuk proses persalinan ketimbang ke bidan atau ke dokter karena ketiadaan biaya. Tidak heran bila angka kematian bayi juga masih tinggi.
Pelayanan kesehatan harus dipahami bukan sekedar pelayanan kepada warga yang sakit, tapi juga terjaminnya kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Dalam hal ini layanan yang diperoleh masyarakat jauh lebih rendah lagi.
Menurut Laporan Akhir Tahun 2012 Komnas Perlindungan Anak Indonesia, ada sekitar 8 juta anak Indonesia yang mengalami gizi buruk. Padahal gizi buruk sudah pasti akan berdampak pada pertumbuhan anak, di antaranya adalah anak akan tumbuh sebagai orang pendek (stunting). Indonesia merupakan negara kelima dengan jumlah orang pendek (stunting) paling banyak di dunia, selain Tiongkok, India, Pakistan, Nigeria dan bahkan di atas Vietnam. WHO mencatat 90% anak pendek ada di 36 negara berkembang, termasuk Indonesia.
Buruknya pelayanan kesehatan masyarakat khususnya warga miskin karena memang pemerintah tidak pernah memberikan anggaran yang memadai. Dari total Produk Domestik Bruto (GDP), alokasi biaya untuk pendidikan dan kesehatan Indonesia paling rendah dari negara lain yaitu 2%. Sedangkan Kamboja 4%, Laos mendekati 5%, Malaysia 10%, Philipina 15% dan Thailand hampir 7%.
Anehnya, pemerintah lebih senang mengalokasikan anggaran besar untuk membayar hutang luar negeri ketimbang untuk biaya kesehatan, yaitu sebesar 10%. Jumlah itu lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja kurang dari 1%, Laos 3%, Malaysia 8%.
Minimnya belanja kesehatan masyarakat oleh pemerintah juga terasa di daerah-daerah. Koordinator Penelitian dan Pengembangan Seknas Fitra, Muhammad Maulana menjelaskan, proporsi belanja daerah untuk urusan kesehatan memang masih rendah. Padahal, pemerintah telah mensyaratkan untuk menganggarkan minimal 10 persen belanja daerah untuk kesehatan.

Tata Kelola Amburadul
Persoalan pelayanan kesehatan bagi masyarakat bertambah ruwet dengan tidak adanya transparansi dan amburadulnya pengelolaan. Banyak bidan dan rumah sakit yang mengeluhkan kesulitan mencairkan dana jampersal (jaminan persalinan kelahiran) selain juga di sejumlah daerah terjadi pemotongan dana jampersal yang mereka terima. Akibatnya terjadi penolakan pelayanan Jampersal bagi warga miskin di sejumlah daerah. Ditengarai karena ada beberapa pemda yang justru mengendapkan dana Jampersal, selain juga terjadi salah peruntukkan bukan bagi warga miskin. Padahal anggaran yang disiapkan pemerintah untuk jampersal cukup tinggi. Untuk tahun 2013 saja sudah dianggarkan sebesar Rp 7 triliun. Setiap ibu melahirkan akan mendapat bantuan sebesar 600 ribu rupiah.
Selain jampersal, banyak rumah sakit di daerah yang kesulitan mencairkan dana bantuan kesehatan bagi warga miskin meski mereka sudah lama mengajukan klaim. Akhirnya mereka menghentikan layanan bagi warga miskin. Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang, Jawa Timur, pada 2 Juli 2012, telah menghentikan pelayanan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) untuk warga miskin di Kabupaten Malang. Alasannya, pemerintah daerah setempat masih nunggak utang pembayaran Jamkesda sebesar Rp 10 miliar.
Yang paling mengejutkan pemerintah justru tengah membuka kran liberalisasi dalam sektor kesehatan. Adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang akan menjadi pemimpin dalam proses liberalisasi sektor kesehatan tersebut. Ditandai dengan rencana dibukanya investasi di sektor kesehatan yakni kepemilikan asing dalam rumah sakit diperbesar dari sebelumnya hanya 49% menjadi hingga 67%. Kepala BKPM kala itu, Gita Wirjawan mengatakan dengan banyak dibukanya RS asing di dalam negeri maka diharapkan jumlah warga Indonesia yang berobat ke luar negeri kian berkurang, karena memilih berobat di dalam negeri.
Tidak hanya itu, sejumlah RS juga sudah diprivatisasi. Tiga RS milik Pemprov DKI Jakarta, masing-masing RSUD Pasar Rebo, RSUD Cengkareng, dan RS Haji Pondok Gede, telah diprivatisasi dengan ditandatanganinya Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 15/2004 oleh Sutiyoso pada 10 Agustus 2004. Itu berarti sejak penandatanganan tersebut, tiga RS itu tidak lagi menerima subsidi dari Pemprov DKI. Mereka harus membiayai keperluannya sendiri. Maka bisa dibayangkan dengan begitu mereka akan mengeruk pendapatan sebesar-besarnya dari pasien.
Anggaran kesehatan yang rendah, privatisasi RS milik pemerintah, dibukanya kran masuknya RS asing, semua itu menunjukkan negara berlepas tangan dari memberikan pelayanan kesehatan untuk rakyatnya. Tampaknya memberikan pelayanan kesehatan tidak lagi dianggap sebagai tanggungjawab apalagi kewajiban negara dan merupakan hak rakyat. Sebaliknya negara memposisikan sebagai penyedia jasa dan rakyat sebagai konsumen dengan hubungan dagang.

Pelayanan Kesehatan Kewajiban Negara
Dalam Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negaraKlinik dan rumah sakit merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh kaum Muslimin dalam terapi pengobatan dan berobat. Maka jadilah pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik. Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu, wajib bagi negara melakukannya sebab keduanya termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah negara sesuai dengan sabda Rasul saw:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)

Ini adalah nas yang bersifat umum atas tanggungjawab negara tentang kesehatan dan pengobatan karena keduanya termasuk dalam ri’ayah yang diwajibkan bagi negara.
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi saw (sebagai kepala negara) mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw. pernah mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir. Nabi lalu menjadikannya itu sebagai dokter umum bagi masyarakat. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baytul Mal di dekat Quba’ dan diperbolehkan minum air susunya sampai sembuh. Al-Hakim meriwayatkan bahaw Khalifah Umar bin Khaththab memanggil dokter untuk mengobati Aslam. Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan termasuk kebutuhan dasar bagi rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis untuk orang-orang diantara rakyat yang memerlukannya. Pelayanan kesehatan gratis itu diberikan dan menjadi hak setiap individu rakyat sesuai kebutuhan layanan kesehatannnya tanpa memperhatikan tingkat ekonominya.
Pemberian layanan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar. Untuk itu bisa dipenuhi dar sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Diantaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat.

Wahai kaum Muslimin
Fakta-fakta kehidupan yang kita jalani menegaskan kepada kita untuk segera meninggalkan sistem kapitalisme demokrasi dan segera kembali ke pangkuan syariat Islam dalam naungan khilafah. Hanya dalam khilafah setiap individu rakyat akan mendapatkan hak-haknya termasuk pelayanan kesehatan dan pengobatan yang memadani secara gratis. Karena itu saatnya kita bergegas merapkan syariah Islam secara total dalam naungan Khilafah Rasyidah, yang sekaligus itu juga merupakan pembuktian kesempurnaan keiamanan kita. Wallâh a’lam bi ash-shawâb


Komentar Al Islam:
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai rasa malu di tengah masyarakat semakin merosot. Hal itu, menurut Presiden, terlihat dari masih terjadinya korupsi, kongkalikong, kekerasan, fitnah, caci maki, dan berbagai keburukan lainnya (kompas.com, 19/2).
  1. Itu terjadi karena sistem memfasilitasinya. Sistem kapitalisme demokrasi mengutamakan tolok ukur manfaat. Dan dengan akidah sekulerismenya yang menjauhkan agama dari kehidupan dan negara, maka sangat wajar dan logis rasa malu tidak diperhatikan lagi.
  2. Jika ingin masyarakat memiliki rasa malu dan menjunjung tinggi norma dan nilai-nilai mulia, satu-satunya jalan adalah dengan menerapkan syariah Islam secara total untuk mengatur seluruh urusan kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar