[Al-Islam
645] Harapan
warga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak nampaknya masih
jauh. Itulah yang dialami Elisa Darawati, seorang warga tidak mampu di Jakarta
yang harus menerima kenyataan setelah salah satu putri kembarnya yang baru
lahir meninggal akibat penyakit yang dideritanya. Bayi yang lahir prematur
tersebut didiagnosa mengalami gangguan pada tenggorokannya. Apa daya setelah 10
rumah sakit di yang didatanginya tidak ada satupun yang bersedia merawat dengan
alasan penuh! Bayi malang itupun akhirnya meninggal.
Beberapa
jam kemudian pihak Menkes membantah terjadinya penolakan dari pihak rumah sakit
terhadap Elisa. Menurutnya semua rumah sakit yang didatangi Elisa memang telah
penuh. “Jadi, bukan karena dia ditolak di mana-mana, tapi karena kondisinya
buruk. Kalau anak berat 1 kg memang survival-nya kecil sekali,” jelas
Menkes Nafsiyah Mboi. Ia juga berjanji akan memperbaiki sistem komunikasi antar
RS sehingga tidak muncul kejadian seperti Elisa yang berkeliling-keliling
membawa putrinya yang sakit parah.
Pihak
Kemenkes juga membantah terjadinya diskriminasi terhadap warga miskin seperti
Elisa. “Tidak diterimanya rujukan pasien tersebut disebabkan keterbatasan alat,
dalam hal ini fasilitas ruang NICU, bukan karena pasien membawa Kartu Jakarta
Sehat (KJS),” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenkes Murti Utami dalam
siaran persnya, Senin (18/2). Gubernur DKI Jokowi juga menyatakan penuhnya
kamar perawatan neonatal intensive care unit (NICU) dikarenakan terjadinya
lonjakan jumlah anak penderita hingga 70 persen.
Rendahnya
Anggaran Kesehatan
Meski
sudah berganti rezim berkali-kali akan tetapi mutu pelayanan kesehatan bagi
masyarakat, khususnya warga miskin, masih jalan di tempat. Di sana-sini keluhan
warga miskin yang kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk saat
berobat ke rumah sakit masih saja sering terdengar.
Rendahnya
pelayanan kesehatan terhadap warga juga tampak dari masih banyak kaum ibu yang
memilih meminta bantuan dukun beranak untuk proses persalinan ketimbang ke
bidan atau ke dokter karena ketiadaan biaya. Tidak heran bila angka kematian
bayi juga masih tinggi.
Pelayanan
kesehatan harus dipahami bukan sekedar pelayanan kepada warga yang sakit, tapi
juga terjaminnya kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Dalam hal ini layanan
yang diperoleh masyarakat jauh lebih rendah lagi.
Menurut
Laporan Akhir Tahun 2012 Komnas Perlindungan Anak Indonesia, ada sekitar 8 juta
anak Indonesia yang mengalami gizi buruk. Padahal gizi buruk sudah pasti akan
berdampak pada pertumbuhan anak, di antaranya adalah anak akan tumbuh sebagai
orang pendek (stunting). Indonesia merupakan negara kelima dengan jumlah
orang pendek (stunting) paling banyak di dunia, selain Tiongkok, India,
Pakistan, Nigeria dan bahkan di atas Vietnam. WHO mencatat 90% anak pendek ada
di 36 negara berkembang, termasuk Indonesia.
Buruknya
pelayanan kesehatan masyarakat khususnya warga miskin karena memang pemerintah
tidak pernah memberikan anggaran yang memadai. Dari total Produk Domestik Bruto
(GDP), alokasi biaya untuk pendidikan dan kesehatan Indonesia paling rendah
dari negara lain yaitu 2%. Sedangkan Kamboja 4%, Laos mendekati 5%, Malaysia
10%, Philipina 15% dan Thailand hampir 7%.
Anehnya,
pemerintah lebih senang mengalokasikan anggaran besar untuk membayar hutang
luar negeri ketimbang untuk biaya kesehatan, yaitu sebesar 10%. Jumlah itu
lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja kurang dari 1%, Laos 3%,
Malaysia 8%.
Minimnya
belanja kesehatan masyarakat oleh pemerintah juga terasa di daerah-daerah.
Koordinator Penelitian dan Pengembangan Seknas Fitra, Muhammad Maulana
menjelaskan, proporsi belanja daerah untuk urusan kesehatan memang masih
rendah. Padahal, pemerintah telah mensyaratkan untuk menganggarkan minimal 10
persen belanja daerah untuk kesehatan.
Tata
Kelola Amburadul
Persoalan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat bertambah ruwet dengan tidak adanya
transparansi dan amburadulnya pengelolaan. Banyak bidan dan rumah sakit yang
mengeluhkan kesulitan mencairkan dana jampersal (jaminan persalinan kelahiran)
selain juga di sejumlah daerah terjadi pemotongan dana jampersal yang mereka
terima. Akibatnya terjadi penolakan pelayanan Jampersal bagi warga miskin di
sejumlah daerah. Ditengarai karena ada beberapa pemda yang justru mengendapkan
dana Jampersal, selain juga terjadi salah peruntukkan bukan bagi warga miskin.
Padahal anggaran yang disiapkan pemerintah untuk jampersal cukup tinggi. Untuk
tahun 2013 saja sudah dianggarkan sebesar Rp 7 triliun. Setiap ibu melahirkan
akan mendapat bantuan sebesar 600 ribu rupiah.
Selain
jampersal, banyak rumah sakit di daerah yang kesulitan mencairkan dana bantuan
kesehatan bagi warga miskin meski mereka sudah lama mengajukan klaim. Akhirnya
mereka menghentikan layanan bagi warga miskin. Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA)
Malang, Jawa Timur, pada 2 Juli 2012, telah menghentikan pelayanan Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda) untuk warga miskin di Kabupaten Malang. Alasannya,
pemerintah daerah setempat masih nunggak utang pembayaran Jamkesda sebesar Rp
10 miliar.
Yang
paling mengejutkan pemerintah justru tengah membuka kran liberalisasi dalam
sektor kesehatan. Adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang akan
menjadi pemimpin dalam proses liberalisasi sektor kesehatan tersebut. Ditandai
dengan rencana dibukanya investasi di sektor kesehatan yakni kepemilikan asing
dalam rumah sakit diperbesar dari sebelumnya hanya 49% menjadi hingga 67%.
Kepala BKPM kala itu, Gita Wirjawan mengatakan dengan banyak dibukanya RS asing
di dalam negeri maka diharapkan jumlah warga Indonesia yang berobat ke luar
negeri kian berkurang, karena memilih berobat di dalam negeri.
Tidak
hanya itu, sejumlah RS juga sudah diprivatisasi. Tiga RS milik Pemprov DKI
Jakarta, masing-masing RSUD Pasar Rebo, RSUD Cengkareng, dan RS Haji Pondok
Gede, telah diprivatisasi dengan ditandatanganinya Peraturan Daerah Provinsi
DKI Jakarta No. 15/2004 oleh Sutiyoso pada 10 Agustus 2004. Itu berarti sejak
penandatanganan tersebut, tiga RS itu tidak lagi menerima subsidi dari Pemprov
DKI. Mereka harus membiayai keperluannya sendiri. Maka bisa dibayangkan dengan
begitu mereka akan mengeruk pendapatan sebesar-besarnya dari pasien.
Anggaran
kesehatan yang rendah, privatisasi RS milik pemerintah, dibukanya kran masuknya
RS asing, semua itu menunjukkan negara berlepas tangan dari memberikan
pelayanan kesehatan untuk rakyatnya. Tampaknya memberikan pelayanan kesehatan
tidak lagi dianggap sebagai tanggungjawab apalagi kewajiban negara dan
merupakan hak rakyat. Sebaliknya negara memposisikan sebagai penyedia jasa dan
rakyat sebagai konsumen dengan hubungan dagang.
Pelayanan
Kesehatan Kewajiban Negara
Dalam
Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat
yang menjadi kewajiban negaraKlinik dan rumah sakit merupakan fasilitas publik
yang diperlukan oleh kaum Muslimin dalam terapi pengobatan dan berobat. Maka
jadilah pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik.
Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu, wajib
bagi negara melakukannya sebab keduanya termasuk apa yang diwajibkan oleh
ri’ayah negara sesuai dengan sabda Rasul saw:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ»
Imam
adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari
Abdullah bin Umar)
Ini
adalah nas yang bersifat umum atas tanggungjawab negara tentang kesehatan dan
pengobatan karena keduanya termasuk dalam ri’ayah yang diwajibkan bagi negara.
Imam
Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi saw (sebagai kepala negara)
mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw. pernah mendapatkan
hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir. Nabi lalu menjadikannya itu sebagai
dokter umum bagi masyarakat. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas
r.a. bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam lalu jatuh sakit
di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk
tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baytul Mal di dekat Quba’ dan
diperbolehkan minum air susunya sampai sembuh. Al-Hakim meriwayatkan bahaw
Khalifah Umar bin Khaththab memanggil dokter untuk mengobati Aslam. Semua itu
merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan termasuk kebutuhan
dasar bagi rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis untuk
orang-orang diantara rakyat yang memerlukannya. Pelayanan kesehatan gratis itu
diberikan dan menjadi hak setiap individu rakyat sesuai kebutuhan layanan
kesehatannnya tanpa memperhatikan tingkat ekonominya.
Pemberian
layanan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar. Untuk itu bisa
dipenuhi dar sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah.
Diantaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai
macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber kharaj,
jizyah, ghanimah, fa’i, usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya.
Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan
secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat.
Wahai
kaum Muslimin
Fakta-fakta
kehidupan yang kita jalani menegaskan kepada kita untuk segera meninggalkan
sistem kapitalisme demokrasi dan segera kembali ke pangkuan syariat Islam dalam
naungan khilafah. Hanya dalam khilafah setiap individu rakyat akan mendapatkan
hak-haknya termasuk pelayanan kesehatan dan pengobatan yang memadani secara
gratis. Karena itu saatnya kita bergegas merapkan syariah Islam secara total
dalam naungan Khilafah Rasyidah, yang sekaligus itu juga merupakan pembuktian
kesempurnaan keiamanan kita. Wallâh a’lam bi ash-shawâb
Komentar Al Islam:
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menilai rasa malu di tengah masyarakat semakin
merosot. Hal itu, menurut Presiden, terlihat dari masih terjadinya korupsi,
kongkalikong, kekerasan, fitnah, caci maki, dan berbagai keburukan lainnya
(kompas.com, 19/2).
- Itu terjadi karena sistem memfasilitasinya. Sistem kapitalisme demokrasi mengutamakan tolok ukur manfaat. Dan dengan akidah sekulerismenya yang menjauhkan agama dari kehidupan dan negara, maka sangat wajar dan logis rasa malu tidak diperhatikan lagi.
- Jika ingin masyarakat memiliki rasa malu dan menjunjung tinggi norma dan nilai-nilai mulia, satu-satunya jalan adalah dengan menerapkan syariah Islam secara total untuk mengatur seluruh urusan kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar