[Al-Islam 643]
Korupsi
di negeri ini diprediksi akan makin marak, apalagi menjelang Pemilu 2014. Dari
berbagai kasus korupsi yang terkuak, terlihat pihak yang terlibat korupsi makin
luas dan beragam, baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian,
politisi parpol dan aparatur di semua jenjang. Parpol yang seharusnya menjadi
salah satu pilar pemberantasan korupsi, menurut Ketua MK, Mahfud MD, (lihat, sindonews.com,
4/2), saat ini justru tidak ada satu parpol pun yang bebas dari kasus korupsi.
Demokrasi
Biang Korupsi
Perlu
dana besar untuk membiayai proses politik dan kepentingan kampanye. Sumbernya
bisa dari dana sendiri atau modal dari pemilik modal. Dengan proses politik itu
kekuasaan di dapat. Lalu kekuasaan itu dipakai untuk mengembalikan modal dan
memberikan keuntungan kepada pemodal, juga untuk memupuk modal untuk
mempertahankan kekuasaan pada proses politik berikutnya. Jadilah siklus money
making power, power making money terus bergulir. Di situlah terjadi
persekongkolan politisi-penguasa dengan pemodal, dan juga terjadi korupsi dalam
berbagai bentuk dan modusnya. Maka sistem demokrasi padat modal itulah yang
jadi biangnya korupsi.
Mendekati
Pemilu 2014, skala korupsi diperkirakan makin meningkat karena parpol butuh
biaya kampanye. Terlebih lagi, pembiayaan politik di era reformasi semakin
tinggi akibat fenomena amerikanisasi metode kampanye. Politisi menggunakan
iklan media massa secara massif dan kegiatan politik ditangani profesional. Di
tengah kebutuhan biaya politik yang tinggi, jauh lebih mudah mendapatkan rente
dengan memperdagangkan otoritas ketimbang mendapatkan pembiayaan dari sumber
partai, apalagi umumnya parpol tidak memiliki sumber pendanaan yang jelas. Maka
keterlibatan parpol dalam korupsi akan sulit dicegah. Para kader parpol yang
menjadi pejabat negara dipaksa mencari sumber dana. Modusnya beragam. Dari
kasus-kasus yang terungkap oleh KPK, setidaknya ada 18 modus korupsi yang
sering dipakai.
Korupsi
politik tidak terjadi hanya pada APBN. Dana politik yang jauh lebih besar bisa
diperoleh dengan memperdagangkan kebijakan. Bahkan anggaran dan kebijakan
sengaja didesain agar memunculkan peluang korupsi. Menurut Ari Dwipayana Dosen
FISIP UGM (kompas.com, 3/2), “Korupsi APBN, seperti mark-up, fee proyek,
pengambilan dana proyek, hanya modus konvensional. Justru korupsi politik
melalui kebijakan yang dibuat otoritas pemerintah, baik di kabinet maupun
parlemen, jauh lebih besar tapi sulit terdeteksi.”
Pemberantasan
korupsi makin payah karena penegakan hukum yang terkesan tebang pilih. Sudah
begitu, pembuktian kasus korupsi hanya bertumpu pada penggunaan bukti materiil
dan dibebankan kepada penyidik polisi, KPK dan jaksa. Apa yang dikenal asas
pembuktian terbalik yang terbukti efektif justru dijauhi. Padahal para koruptor
sangat ahli menyamarkan transaksi korupsi sehingga sulit terdeteksi. PPATK
telah menemukan 35 modus menyamarkan transaksi tindak pidana korupsi dan
pencucian uang oleh anggota DPR (centroone.com, 2/1/13).
Jika
pun akhirnya koruptor diadili, vonis mereka pun sangat rendah, tidak memberi
efek jera sama sekali. Harta yang mereka korupsi pun masih aman karena tidak
ada proses “pemiskinan” terhadap koruptor.
Dari
semua itu jelaslah, masalah korupsi bukan sekedar masalah person. Korupsi
adalah masalah sistem dan ideologi. Sistem demokrasi menjadi biang korupsi dan
ideologi sekuler kapitalisme menjadi habitat hidup korupsi. Negeri ini bersih
dari korupsi akan terus sebatas mimpi, selama ideologi sekuler kapitalisme dan
demokrasi tidak diganti.
Syariah
Islam Menjadi Solusi
Korupsi
saat ini bukan hanya karena rakus harta, tapi juga karena motiv kekuasaan.
Politisi dan para wakil rakyat yang turut mempengaruhi kebijakan dan pengisian
jabatan menjadi salah satu pintu korupsi. Wakil rakyat yang turut memiliki
otoritas penganggaran, penentuan kebijakan, penentuan proyek, dan pengisian
jabatan memunculkan mafia anggaran, makelar proyek, calo jabatan, dsb.
Kekuasaan legislasi membuat undang-undang di tengah desakan biaya politik
tinggi, akhirnya UU dan aturan diperdagangkan demi kepentingan kapitalis bahkan
asing, dengan imbalan uang.
Semua
itu ditutup rapat oleh Syariah Islam. Dalam Sistem Islam, politisi dan anggota
Majelis Ummat, tidak turut menentukan UU, kebijakan, anggaran, proyek dan
pengisian jabatan. Politisi dan anggota Majelis Ummat hanya fokus pada fungsi
kontrol dan koreksi, termasuk menggunakan jalur Mahkamah Mazhalim. Adapun
penentuan kepala daerah, ia ditunjuk oleh Khalifah. Namun keberlangsungannya
selain ditentukan oleh Khalifah, juga ditentukan oleh penerimaan masyarakat
termasuk para anggota Majelis Wilayah. Jika mereka tidak menerimanya atau
meminta diganti, maka Khalifah harus mengganti kepala daerah itu. Hal itu
seperti yang dilakukan oleh Rasul saw yang mengganti al-‘Ala’ bin al-Hadhrami
sebagai gubernur Bahrain ketika masyarakat mengajukan keberatan atasnya.
Sementara
motiv kerakusan harta dibabat dengan penegakan hukum atas kasus korupsi.
Syariah Islam memberi batasan yang simpel dan jelas tentang harta ghulul
(harta yang diperoleh secara ilegal). Rasul saw bersabda:
«مَنِ
اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَهُوَ غُلُولٌ»
Siapa
saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian
untuknya (gaji) maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul (HR Abu Dawud, Ibn
Khuzaimah dan al-Hakim)
Hadits
ini jelas, bahwa harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain
pendapatan yang telah ditentukan, apapun namanya, baik hadiah, fee, pungutan,
dsb, merupakan harta ghulul dan hukumnya haram.
Menurut
hadits ini, pemberian (pendapatan) aparat harus jelas, maka pertambahan
kekayaan yang wajar dari aparat itu juga akan jelas. Pertambahan diluar kadar
yang wajar itu harus dipertanggungjawabkan dan dibuktikan perolehannya secara
sah. Sebab jika tidak, itu termasuk harta ghulul dan harus diserahkan ke
kas negara. Hal itu mudah diketahui melalui pencatatan kekayaan aparat, pejabat
dan penguasa seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra.
Abdullah
bin Umar menuturkan, Khalifah Umar bin Khaththab memerintahkan pencatatan harta
para penguasa daerah. Jika ada kelebihan kekayaan dari jumlah yang wajar, maka
Umar membagi dua kelebihan harta mereka itu. Setengah untuk pejabat itu dan
setengahnya disita dan dimasukkan ke dalam kas Baitul Mal (Al-Hafizh
as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, hal 132). Apa yang dilakukan oleh Umar
itu didengar dan disaksikan oleh para sahabat, dan tidak ada dari mereka yang
mengingkarinya sehingga menjadi ijmak sahabat bahwa hal itu adalah dibenarkan
dan disyariatkan.
Berbekal
catatan harta itu, bisa dibuktikan adanya kelebihan harta aparat, pejabat dan
penguasa yang tidak wajar. Selanjutnya aparat, pejabat atau penguasa itu harus
membuktikan bahwa kelebihan harta itu diperoleh secara sah. Proses pembuktian
seperti itulah yang disebut proses pembuktian terbalik. Jika ia tidak bisa
membuktikan, maka jumlah harta yang tidak bisa dibuktikan perolehannya secara
sah, sebagian atau seluruhnya disita dan dimasukkan ke kas negara. Penyitaan
harta yang tidak bisa dibuktikan perolehannya secara sah itulah yang disebut
“pemiskinan” koruptor. Cara itu sangat ampuh untuk memberantas korupsi dan
menindak koruptor, sebab langsung menohok motiv rakus harta yang mendorong
koruptor melakukan korupsi. Jika cara seperti itu diterapkan, maka tidak ada
lagi kebuntuan pemberantasan korupsi akibat aparat kesulitan menemukan bukti
materiil. Aparat cukup membuktikan adanya kelebihan harta kekayaan yang tak
wajar. Hal itu bisa dilakukan berdasarkan rekening, inventaris kekayaan, harta
yang dimiliki, atau laporan kekayaan.
Proses
itu diterapkan pada diri pejabat dan orang-orang dekatnya. Umar bin Khaththab
ra. pernah menyita harta Abu Bakrah ra. Ketika ia protes, “Aku tidak bekerja
kepada anda”, Khalifah Umar menjawab, “Benar, tetapi saudaramu menjadi pengurus
Baitul Mal dan bagi hasil tanah garapan di Ubullah (di Bashrah, Iraq); dan ia
meminjamkan uang dari Baitul Mal kepadamu untuk berdagang.” (Syahid
al-Mihrab, hal. 284). Begitu pun Umar pernah menyita dari Abu Sufyan harta
pemberian anaknya, Muawiyah, gubernur Syam.
Terhadap
koruptor dijatuhkan sanksi tegas yang memberikan efek jera. Korupsi termasuk
sanksi ta’zir, bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad
Khalifah atau qadhi, menurut batasan syariah. Bentuknya bisa berupa penyitaan
harta, tasyhîr (diekspos), penjara sangat lama, dijilid, hingga hukuman
mati. Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi koruptor adalah dijilid dan ditahan
dalam waktu sangat lama (Mushannaf Ibn Aby Syaibah, V/528).
Sebelum semua itu korupsi bisa dicegah
oleh keimanan dan ketakwaan. Karena dengan itu orang akan takut melakukan korupsi karena takut azab di akhirat.
Allah berfirma:
وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ
يَوْمَ الْقِيَامَة
Barangsiapa
berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil
kecurangannya
(QS. Ali ‘Imran [3]: 161)
Lebih
takut lagi karena ternyata harta ghulul itu tidak bisa dibersihkan dengan
bersedekah. Sebab Nabi saw bersabda:
«لاَ يَقْبَلُ
اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ»
Allah
tidak akan menerima shalat tanpa kesucian (bersuci) dan juga tidak menerima
shadaqah dari harta ghulul (HR Muslim, Ibn Majah, at-Tirmidzi,
Ahmad)
Wahai
Kaum Muslimin
Jelaslah,
korupsi akan bisa dibabat tuntas melalui penerapan syariah Islam secara utuh.
Karena itu, harapan besar agar negeri ini bersih dari korupsi seharusnya kita
wujudkan dengan berjuang sungguh-sungguh untuk menerapkan syariah Islam secara
total dalam naungan Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh
a’lam bi ash-shawâb.
Komentar::
Pengungkapan
tindak korupsi akhir-akhir ini terus terjadi, seperti tidak akan berujung.
Seorang tokoh politik mengatakan, korupsi menjadi watak politik Indonesia.
Dengan demikian, terbongkarnya praktik korupsi di lingkungan politisi atau
partai politik hanya masalah nasib dan waktu (Kompas, 4/2)
- Betul, sebab korupsi itu masalah ideologi sekuler kapitalisme dan sistem
demokrasi yang sekarang diterapkan.
- Selama ideologi dan sistem itu masih diterapkan, selama itu pula korupsi terus
terjadi.
-
Ingin negeri ini bersih dari korupsi? Campakkan sekulerisme kapitalisme dan
tinggakan demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar