Sabtu, 30 Maret 2013

RUU ORMAS: Pintu Kembalinya Rezim Represif ala Orba!

 

[Al-Islam 150] Mendagri Gamawan Fauzi mengklaim ada 13 Ormas Islam yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) yang mendukung segera disahkannya RUU Ormas termasuk keharusan Ormas mencantumkan asas Pancasila. Ormas-ormas itu yakni NU, Persis, Al-Irsyad Al-Islmiyah, Arrobithoh Al-Alawiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Mathlaul Anwar, Attihadiyah, Azikra, Al-Wasliyah, IKADI, Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan DDII. Mendagri Gamawan Fauzi bahkan mengatakan, “Mereka memberi dukungan penuh agar proses pembahasan dan pengesahan RUU Ormas dipercepat.” (Republika.co.id, 24/3).
Ketua umum DDII (Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia) Syuhada Bahri membantah DDII telah mendukung RUU ORMAS dan punya andil dalam LPOI. Hal senada juga dilontarkan pimpinan Majilis Az- Zikra Ust. Arifin Ilham. Beliau membantah pernyataan Dirjen Kesbangpol, bahwa majlis-nya mendukung RUU ORMAS. Bahkan ia mengatakan, “Saya berkali-kali mengatakan bahwa Syariat Islam adalah harga mati!”(salam-online.com, 25/3).
Banyak sekali Ormas yang menolak RUU Ormas itu, diantaranya Ormas-ormas Islam. Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia (KAMSI) menolak RUU Ormas karena bisa membelenggu kemerdekaan berserikat dan berorganisasi. KAMSI terdiri dari 50 lembaga, 15 tokoh dan 46 lembaga daerah (lihat, antaranews, 28/2). Penolakan serupa juga datang dari Koalisi Perjuangan Hak Sipil dan Buruh (KAPAK), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), IMPARSIAL, PSHK Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), Elsam dan LSM.

Pintu Kembalinya Rezim Represif ala Orba
Jika dicermati RUU Ormas pada perkembangan terakhir, jika disahkan nantinya akan bisa menjadi pintu kembalinya rezim represif ala Orde Baru. Diantaranya karena:

Pertama, Setiap Ormas wajib mencantumkan Pancasila sebagai asas. Mendagri menyebutnya asas utama. Setelah itu Ormas boleh mencantumkan asas ciri masing-masing. Namun yang kedua ini hanyalah opsional atau pilihan. Draft pasal 2: “Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, serta dapat mencantumkan asas lainnya yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.”
Ini merupakan langkah mundur yang akan membuat kehidupan bermasyarakat kembali ke belakang, ke masa lalu. Pasalnya, semangat asas tunggal itu telah ditinggalkan dengan dibatalkannya TAP MPR no. II/1978 tentang P4 oleh TAP MPR no. XVIII/1998. Semangat tidak lagi asas tunggal ini bisa dikatakan salah satu hasil pertama-tama dari reformasi. Jika RUU Ormas ingin kembali menghidupkan semangat asas tunggal, itu merupakan pengkhianatan terhadap reformasi. Juga pengkhianatan dan pelecehan terhadap pengorbanan darah, keringat, tangisan dan harta banyak komponen umat.
Umat Islam tentu tidak lupa betapa pemaksaan asas tunggal kepada umat Islam telah melahirkan hubungan penuh ketegangan dan konflik antara umat Islam dengan pemerintah. Sejumlah ormas Islam dan selain ormas Islam, juga ormas pemuda, dinyatakan terlarang. Tokoh-tokoh umat dipenjarakan oleh rezim Orde Baru karena mempersoalkan asas tunggal. Bahkan rezim asas tunggal menelan korban nyawa, seperti dalam tragedi Tanjung Priok. Apakah RUU ORmas itu ingin lagi semua itu terulang lagi? Dalam konteks ini Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) KH Syuhada Bahri mengatakan, “Karena dulu ketika Pancasila dipaksakan kan sudah menuai korban, masa itu mau diulang lagi?” (mediaumat.com, 25/3).
Rezim Orde baru dahulu menjadikan asas tunggal alat memaksa masyarakat agar ikut keinginan rezim. Mereka yang tidak setuju dengan rezim dengan mudah dicap tidak Pancasilais sementara yang setuju dengan rezim dinilai Pancasilais. Akhirnya asas tunggal memunculkan tindakan kekerasan oleh negara terhadap rakyat dan berbagai ormas. Semua itu memunculkan trauma di tengah masyarakat. Dengan menghidupkan kembali asa tunggal oleh RUU Ormas, trauma-trauma itu sangat boleh jadi akan hidup dan muncul kembali, meski dalam bentuk dan intensitas yang berbeda.
Di sisi lain, pewajiban Ormas berasaskan Pancasila itu sungguh berbeda dengan Partai Politik. Pasal 9 (1) UU no. 2 Th. 2008 menyatakan, “Asas partai politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945”. Jika Parpol yang secara langsung ikut menentukan hitam putihnya politik dan kebijakan negara saja cukup dengan ketentuan seperti itu, tidak harus mencantumkan asas Pancasila dan boleh hanya mencantumkan asas lain asal tidak bertentangan dengan Pancasila, kenapa Ormas yang tidak secara langsung menentukan hitam putih negara tidak seperti itu? Apa salahnya Ormas mesti dipaksa berasas Pancasila? Bagaimana bisa, para legislator berlaku diskriminatif, memaksakan kepada Ormas ketentuan yang tidak diberlakukan kepada diri dan kelompoknya sendiri? Tidak salah jika muncul anggapan RUU Ormas memang untuk membungkam kekritisan Ormas, terutama Ormas Islam?

Kedua, draft RUU Ormas membuat pemerintah sangat berkuasa terhadap Ormas. Definisi Ormas serba mencakup semua kelompok di masyarakat, “Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan Pancasila”. Jadi mencakup semua organisasi di masyarakat (kecuali Parpol dan organisasi sayap Parpol yang dikecualikan pada Pasal 4) bersifat sosial atau nonprofit, asosiasi atau perkumpulan keilmuan/profesi/hobi baik beriuran atau pun tidak, pengajian, paguyuban keluarga, yayasan yang mengelola lembaga pendidikan dan rumah sakit, panti asuhan, dan masih banyak lagi. Itu bisa jadi pasal karet untuk mengontrol semua dinamika di masyarakat. Ditambah lagi, persyaratan administratif untuk mendapatkan surat keterangan terdaftar (SKT) bagi Ormas tidak berbadan hukum bisa dijadikan alat “memaksa” Ormas agar sesuai keinginan pemerintah. Sebab, draft Pasal 61 (6) menyatakan “Ormas dilarang melakukan kegiatan apabila tidak memiliki surat pengesahan badan hukum atau tidak terdaftar pada pemerintah”. Terdaftar pada pemerintah itu buktinya tentu SKT. Artinya, SKT bukan sekadar keterangan terdaftar, tetapi sejatinya adalah surat izin. Itu artinya “silahkan membentuk Ormas dan menjalankan aktivitas sebagai Ormas asal diizinkan oleh Pemerintah”. Itu jelas mengekang kemerdekaan berserikat, berkumpul dan berorganisasi yang katanya dijamin dan merupakan hak asasi. Apalagi semua ormas baik yang berbadan hukum atau tidak berbahan hukum berada dalam pengawasan pemerintah [pasal 54 (3)] yang bentuknya berupa pemantauan dan evaluasi (Pasal 58). Hasilnya tentu akan dijadikan dasar mengambil tindakan terhadap Ormas.

Ketiga, RUU Ormas memuat sejumlah larangan (Pasal 61) yang sifatnya multi tafsir dan tolok ukur serta kriterianya tidak jelas. Larangan Pasal 61 (2) a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras dan golongan. … d. melakukan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum; dan larangan lainnya, apa tolok ukurnya, seperti apa kriterianya, seperti apa tingkatnya, semuanya tidak jelas. Hal itu pada akhirnya bisa dijadikan pasal karet sebab tafsir, tolok ukur dan implementasinya akan tergantung selera aparat dan pemerintah. Juga larangan ayat (3) c. menerima sumbangan berupa uang, barang, atau pun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. Dengan larangan ini, yayasan yatim piatu, yayasan sosial, pembangunan masjid dan sarana sosial, organisasi sosial umumnya dan semua yang tercakup oleh definisi Ormas tidak boleh menerima sumbangan dari orang yang hanya menulis identitasnya “hamba Allah”, dan sebagainya.
Peluang kembalinya rezim represif itu makin kental ketika larangan itu dikaitkan dengan sanksi yang bisa dijatuhkan oleh pemerintah mulai surat peringatan tertulis, penghentian bantuan atau hibah, penghentian sementara kegiatan sampai pencabutan SKT untuk Ormas tidak berbadan hukum atau pembubaran ormas berbadan hukum. Hanya pembubaran Ormas berbadan hukum yang harus berdasarkan putusan pengadilan. Sementara pencabutan SKT, Pemerintah hanya wajib meminta pendapat hukum dari MA. Pencabutan SKT pada dasarnya adalah pelarangan, sebab Ormas yang tidak punya SKT dilarang beraktivitas (Pasal 61 ayat 6).

Wahai Kaum Muslimin!
RUU Ormas itu jika disahkan akan mendatangkan cobaan bagi umat Islam. Karena itu kepada para anggota dewan dan siapa saja yang mendukung atau bahkan mendesak disahkannya RUU Ormas yang represif seperti itu, hendaknya segera memperbaiki diri sebab Allah SWT mengancam dalam firman-Nya:
﴿ إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ ﴾
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar. (TQS al-Buruj [85]: 10)

Tampak jelas betapa RUU Ormas akan menjadi pintu kembalinya rezim represif ala orde baru, rezim yang telah menimbulkan trauma menyakitkan di masyarakat. Juga jelas RUU Ormas akan membelenggu dinamika masyarakat dan membungkam kekritisan kebijakan kepada pemerintah yang keliru dan merugikan rakyat. Jelas RUU Ormas akan mengancam dan merugikan Ormas dan umat secara umum, karena itu harus ditolak. Jika tidak Allah memperingatkan:
﴿ وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴾
Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (TQS al-Anfal [8]: 25)

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar:
Peringkat infrastruktur Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain. Dari 100 negara yang disurvei World Economic Forum, Indonesia berada pada peringkat 78. Keadaan itu melemahkan daya saing untuk menarik investasi, dan infrastruktur yang buruk juga menyebabkan ekonomi biaya tinggi (Kompas.com, 26/3)
  1. Paling-paling alasannya tidak punya dana yang cukup. Anehnya, sumber pemasukan sangat besar berupa tambang mineral, minyak dan gas serta SDA diserahkan kepada asing.
  2. Di sisi lain masih sangat banyak pemborosan anggaran seperti untuk kunjungan kerja dan fasilitas pejabat.
  3. Infrastruktur bagus dan memadai akan mudah diwujudkan dengan sistem ekonomi Islam. Karena itu segera terapkan!

Senin, 25 Maret 2013

Polemik Pendidikan


            Pendidikan adalah asset berharga bagi suatu bangsa, karena kualitas pendidikan akan menentukan pula kualitas generasi suatu bangsa. Kalimat-kalimat tersebut mungkin tidak asing lagi di telinga kita, bahkan dijadikan sebagai motivasi dalam setiap pidato para pemangku kekuasaan dalam perbaikan sistem pendidikan di negeri ini. Tapi pada faktanya, ternyata potret buram pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun justru semakin memburuk. Mungkin kita bisa sedikit bangga dengan berita pada waktu sebelum-sebelumnya mengenai ‘mobil esemka’ karya beberapa anak bangsa tersebut. Tapi apa sebatas itukah kebanggan kita atas pendidikan yang ada di Indonesia ini?
Padahal hampir sebagian dari kita mengetahui bagaimana kondisi yang ada di dunia pendidikan saat ini. Seperti data terakhir dari Kemendikbud (2011) yang mengungkapkan terdapat 153.026 unit sekolah yang rusak di negeri ini. Dan tidak kurang dari 150 ribu anak bangsa yang belum tersentuh pendidikan sampai saat ini. Belum lagi mereka yang hidup di wilayah pedalaman dan perbatasan., sungguh tak terhitung jumlahnya. Atau bahkan di provinsi kita sendiri, Banten. Sarana dan prasarananya pun menunjukkan keprihatinan. Sebanyak 200 dari 700 gedung SD yang ada di kabupaten Serang hingga kini masih dalam kondisi rusak berat (indopos.com).
Terlepas dari itu, potret generasi yang dihasilkan dari pendidikan yang ada pun, ternyata sangat menyedihkan. Penyalahgunaan narkoba, tawuran, konser-konser musik yang menghambur-hamburkan uang dan kerapkali diringi kebrutalan, minuman-minuman keras, kehidupan campur baur, eksploitasi wanita hingga perilaku seks bebas. Bahkan di tengah-tengah pengumuman kelulusan tingkat SMA dan sederajat, sebagian para pelajar meluapkannya dengan tindakan tak terpuji. Aksi corat-coret baju seragam sekolah, kebut-kebutan motor, bahkan sebagian siswi peserta konvoi ada yang beraksi dengan menyobek rok dan baju seragamnya dengan memperlihatkan auratnya dengan penuh kebanggan. Sehingga wajar saja jika Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) tahun 2010 menunjukkan 51 persen remaja di jabodetabek telah melakukan seks pra nikah.
Pada tingkat intelektual mahasiswa pun ternyata juga tidak jauh berbeda, seperti yang diungkapkan oleh seorang aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR), Fita Rahmania Cholida yang mengatakan “Seharusnya mahasiswa menjadi agent of change, iron stock, dan moral force, akan tetapi saat ini pergerakan mahasiswa mengalami kelesuan dan kemunduran yang diakibatkan oleh kemalasan berpikir dan menjadi mahasiswa hedonis, materialis, bertindak anarkis, tawuran, individualis, dan tidak memikirkan kondisi bangsa ini. Selain itu, mereka juga tidak menyadari perannya sebagai agent of change dan calon pemimpin, karena memandang kuliah sebagai legalisasi untuk mencari kerja. Mereka dituntut untuk mendapatkan Indeks Prestasi (IP) yang tinggi dan kurikulum yang padat, sehingga menjadi mahasiswa Study Oriented, tidak peduli lagi dengan kondisi di sektiarnya.”
Ataupun contoh kecil mengenai UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sekilas melihat definisi ini memang ideal, namun arah pendidikan yang sebenarnya adalah sekulerisme. Pendidikan yang ada saat ini, justru memisahkan peran agama dari kehidupan, tidak menjadikan para peserta didik menjadi orang-orang yang memang menyadari akan hubungannya dengan Allah sehingga setiap amal perbuatan yang mereka lakukan akan menyesuaikan dengan perintah dan larangan yang sudah ditetapkan oleh Allah.
Wajar saja jika gambaran generasi hasil pendidikan saat ini jauh dari generasi berkualitas. Padahal, generasi-generasi baru itulah yang nanti akan meneruskan perjuangan dari generasi-generasi sebelumnya dalam mengelola kehidupan yang bisa melindungi rakyat nantinya. Semua ini menunjukkan bahwa pengaruh pendidkan lah yang menjadi sangat penting dalam menghasilkan bibit-bibit generasi unggul. Meskipun demikian, ternyata sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh warna kebijakan dan perangkat sistem negaranya. Saat ini, Kapitalisme menancapkan hegemoni dalam seluruh nadi kehidupan termasuk sistem pendidikan. Sistem pendidikan ini mengusung HAM yaitu pemahaman kebebasan mutlak bagi manusia dalam memilih agama/keyakinan atau tidak memiliki keyakinan sama sekali, mengeluarkan pendapat dengan standar benar-salah/ baik-buruk dengan akal manusia, berperilaku secara bebas mengumbar hawa nafsu atas nama ekspresi dan kebebasan, memiliki segala sesuatu yang dinginkan dengan menghalalkan segala cara. Kapitalisme juga memposisikan pendidikan sebatas menghasilkan produk tenaga kerja dengan nama daya saing untuk mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Wajar bila pendidikan dalam bingkai kapitalis akan melahirkan produk-produk SDM yang mengagungkan kebebasan tanpa batas, individualistik tanpa empati, hedonis tanpa tanggung jawab, berorientasi pada eksistensi dan kebahagiaan materi semata.
Kapitalisasi dunia pendidikan akan mewujudkan SDM yang pro kapitalis yang cenderung pada kebijakan ekonomi kapitalis. Pendidikan semakin mahal, dan hanya bisa di akses oleh orang-orang ber-uang, dan orang miskin dilarang sekolah. Orientasi pendidikan peserta didik pun tidak lebih dari sekedar ingin cepat lulus, dapat kerja yang layak dan segera mungkin mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk sekolah/kuliah. Kurikulumnya yang diterapkan senantiasa mengalami perubahan yang cepat dan terkesan terburu-buru. Materi pelajaran agama yang di ajarkan tidak proporsional, anak didik lebih banyak belajar mengenai demokrasi, HAM, pluralisme, yang semua itu merupakan ajaran pokok kapitalisme yang  akan semakin menjauhkan para peserta didik dari identitas aslinya sebagai seorang muslim.
Inilah bukti bahwa sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh sistem politik ekonomi yang tengah diterapkan. Ketika sistem politiknya diwarnai oleh pragmatisme politik yang kental dan sistem ekonominya memiliki tata kelola SDA yang kapitalistik dan tidak mensejahterakan rakyat, maka yang terjadi justru dengan mudahnya arus pragmatisme merasuki sistem pendidikan nasional di semua jenjang.
Lalu bagaimanakah sistem pendidikan yang benar, yang akan menghasilkan generasi berkualitas?
Tentu saja, jawaban satu-satunya adalah dengan sistem pendidikan Islam. Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi, gaji guru, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya saja, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Negara wajib menyempurnakan sektor pendidikan melalui sistem pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya. Rakyat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma. Negara Islam menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, selain gedung-gedung sekolah, kampus-kampus, untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ushul fiqh, hadits dan tafsir, termasuk di bidang pemikiran, kedokteran, teknik kimia serta penemuan, inovasi, dan lain-lain. Sehingga di tengah-tengah umat lahirlah sekelompok mujtahid, penemu dan invator.
Terbukti dari yang dulu pernah terjadi ketika masa kejayaan Islam menerangi peradabannya yang gemilang, ilmuan Islam seperti Al-Khawarizmi (penemu angka nol), Abbas Ibnu Firnas (peletak dasar teori pesawat terbang), Ibnu Hayyan (ahli kimia, astronomi), Ibnu Sina (kedokteran), Abu Al Rahyan (ilmu bumi, matematika, dan astronomi, antropologi, psikologi, dan kedokteran), Abu Ali Hasan Ibn Al Haitsam (fisikawan terkenal dalam hal optik dan ilmu ilmiah) dan masih banyak lagi.
            Selain itu, para ilmuan-ilmuan yang lahir dari hasil pendidikan Islam ini juga tidak hanya sekedar ilmuan yang ahli dalam ilmu duniawi saja, tetapi kebanyakan dari mereka juga adalah ulama, mereka juga ahli dalam ilmu-ilmu Islam. Keberhasilan-keberhasilan yang diperolehnya tidak lain merupakan hasil motivasi dan dorongan yang Allah berikan yaitu kewajiban akan menuntut ilmu dengan penjagaan dari lingkungan masyarakatnya yang mengkondisikan untuk terus menuntut ilmu.
            Oleh karena itu, pengaruh berbagai sistem terhadap keberhasilan penyelenggaraan sistem pendidikan Islam memiliki keterkaitan yang erat. Sedangkan, sistem yang menaungi semua sistem tersebut adalah sistem pemerintahan/Negara. Maka, jika kita menginginkan generasi-generasi yang berkualitas, tentu saja harus berasal dari sistem pendidikan yang juga memang berkualitas, yang tidak lain adalah sistem pendidikan Islam yang keberhasilannya pun sudah dibuktikan pada masa kejayaanya. Maka satu-satunya mewujudkan atau terlaksananya sistem pendidikan islam ini tentu tidak akan terlepas dari keberadaan sebuah Negara Islam yaitu Daulah Khilafah Islamiyah (yang insya Allah akan segera tegak kembali) sebagai institusi yang akan menjamin penerapan hukum-hukum Islam dalam semua aspek kehidupan termasuk didalamnya bidang pendidikan. [Ch]







Amerika Menyiapkan Pemerintahan Transisi Beracun, Maka Jangan Anda Terima di Negeri Anda

Al-Islam edisi 149, 22 Maret 2013 – 10 Jumadil Ula 1434

بسم الله الرحمن الرحيم 
Wahai Warga Syam: Amerika Menyiapkan Pemerintahan Transisi Beracun,
Maka Jangan Anda Terima di Negeri Anda
Amerika Juga Meningkatkan Pembantaiannya agar Anda Menerima Pemerintahan Transisi, Maka Balaslah Tipu daya Mereka dan Tolonglah Allah Niscaya Allah Menolong Anda dan Meneguhkan Kedudukan Anda

Subuh telah jadi jelas bagi orang yang memiliki sepasang mata. Apa yang dahulu berlangsung rahasia, sekarang terang-terangan … Amerika pada tanggal 13/3/2013 melalui Menlunya, John Kerry, menuntut oposisi agar berdialog dengan diktator Bashar untuk membentuk pemerintahan transisi! Amerika bekerja keras dan serius membentuk pemerintahan transisi dari boneka-bonekanya di luar negeri dan di dalam rezim, dengan fatwa bahwa tangan mereka tidak berlumuran darah, namun hanya kecipratan darah saja! Hal itu agar pemerintahan transisi menghasilkan republik sekuler seperti sedia kala “disertai sentuhan baru” sesuai tuntutan keadaan! Maka mereka berkumpul di Kairo dan di Istanbul secara rahasia dan terbuka lalu berdiskusi dan menunda …
Amerika paham, masalahnya bukan masalah pembentukan pemerintahan transisi. Tidak sulit bagi Amerika mengumpulkan boneka-bonekanya yang bisa memenuhi “bejana” pemerintahan. Tetapi masalahnya bagaimana agar mereka bisa berdiri tegak atau agar diterima di bumi Syam. Amerika paham bahwa orang-orang revolusioner di dalam negeri adalah muslim yang memiliki emosi, baik yang pemikirannya mendalam dan cemerlang atau yang dangkal. Warga Syam melihat boneka-boneka Amerika di luar negeri dan mendengar mereka menyerukan negara sipil republik sekuler. Padahal sistem inilah yang menghasilkan “Bashar” dan yang lainnya. Lalu bagaimana mereka akan bisa menerima kelompok orang yang menyerukan sistem itu? Masyarakat telah merasakan banyak kepahitan dari rezim-rezim diktator ini. Rezim-rezim ini telah membuat kehidupan mereka diliputi “kegelapan” bertumpuk-tumpuk… Sungguh masyarakat menginginkan Islam yang terpancar dari akidah mereka. Dengan itulah mereka akan meraih kebahagiaan dan kemuliaan.
Bukan hal rahasia dan tersembunyi bahwa barat dengan pimpinan Amerika gemetar menggigil karena Islam dan hukum-hukumnya. Barat menginginkan sistem sekuler untuk Suria yang dipimpin oleh pengganti Bashar yang lebih sedikit noda hitam di wajahnya dan lebih lunak. Mereka memperdaya dan menyesatkan masyarakat! Namun, dilema mengepung Amerika dari berbagai sisi. Masyarakat di dalam negeri tidak menerima boneka-bonekanya di luar negeri, lalu bagaimana bisa menerima boneka-bonekanya di dalam rezim?! Pengganti Bashar, bagaimanapun panjang tangan dan lisannya, tidak akan mampu memerintah Syam, sementara ia hanya mencengkeram bagian luarnya. Pemerintahan transisi yang tidak mendapat persetujuan di dalam negeri tidak bisa menjalankan peran Amerika yang diminta, kecuali dilindungi oleh kekuatan internasional yang menyertainya. Ini merupakan perkara yang telah disodorkan sejak beberapa jangka waktu lalu dan belum ditarik dari peredaran, namun hambatan-hambatannya di luar perhitungan … Dahulu Amerika beranggapan, dan anggapan Amerika akan berbalik kepadanya atas izin Allah, bahwa kekerasan dan penghancuran bisa membuat orang-orang revolusioner di bumi Syam, pusat Dar al-Islam, menerima boneka-boneka itu dengan lapang dada atau bahkan dengan tangan terbuka!… Begitulah, Amerika mendukung rezim diktator “Bashar” dengan sebab-sebab kehidupan, harta dan senjata, melalui garis depannya: Rusia dan rezim di Iran, para bodyguard dan para pengikut; dan melalui garis belakangnya: rezim-rezim di Turki, Irak, dan Lebanon dan termasuk di dalamnya rezim Mesir! Sebagian orang merasa aneh dan bertanya-tanya: kenapa Rusia dan rezim di Iran merupakan garis depan, sedangkan rezim-rezim di Turki, Irak dan Lebanon dan termasuk di dalamnya rezim Mesir merupakan garis belakang? Akan tetapi, siapa saja yang memperhatikan fakta dan situasi, hal itu sudah cukup menjadi rincian jawaban dari pertanyaan tersebut! Sedangkan Eropa dan para pengikutnya, khususnya Qatar, mereka berjalan di sisi-sisi garis depan dan garis belakang menunggu-nunggu jendela untuk masuk dan mendapatkan bagian .. ini jika mungkin!
Wahai orang-orang revolusioner di bumi Syam pusat Dar al-Islam: itulah tipudaya kaum kafir imperialis, kaki tangan dan para pengikutnya. Tipudaya mereka dengan izin Allah akan gagal. Menggagalkan tipu daya mereka dan mengalahkan mereka, merupakan perkara yang mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah. Yaitu orang yang memahami ayat-ayat Allah yang muhkam, memahami sirah Rasul-Nya saw, yakin dan dengan hati dan seluruh lahiriahnya mengimani firman Allah SWT:
﴿إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Jika kalian menolong Allah niscaya Allah menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian (TQS Muhammad [47]: 7)

Namun pertanyaannya adalah bagaimana kita menolong Allah SWT?
Seruan pemerintahan republik sekuler demokratis sipil dan pengibaran panji Sykes-Picot yang disebut sebagai bendera kemerdekaan, untuk menyenangkan barat umumnya dan Amerika khususnya, apakah itu menolong Allah SWT? Keengganan menyerukan al-Khilafah, tidak mengibarkan panji al-‘Uqab, panji Rasulullah saw, panji Lâ ilaha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh dengan dalih takut memprovokasi dan membuat barat marah, apakah itu menolong Allah SWT? Meminta bantuan barat kafir imperialis, senjata dan harta, dan loyal kepada negara-negara yang memerangi kaum Muslimin, apakah itu menolong Allah SWT? Mengatakan pentahapan penerapan hukum, sehingga khamr dihalalkan setahun dan diharamkan setahun, hudud ditelantarkan bertahun-tahun, Allah diperangi dengan tersebarnya riba di perbankan dan kehidupan perekonomian, apakah itu menolong Allah SWT? Pengorbanan nyawa dan harta untuk mengganti antek dengan antek lainnya tanpa mencabut rezim dari akarnya dan tanpa menegakkan al-Khilafah, apakah itu menolong Allah SWT?
Sungguh, semua ini bukan menolong Allah SWT. Maka pertolongan dari sisi Allah pun tertunda dan itu akibat ulah tangan manusia dan bukan luputnya janji Allah. Janji Allah adalah haq dan benar.
﴿وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا
Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah(TQS an-Nisa’ [4]: 87)

Maka tolonglah Allah dengan apa yang Dia cintai. Saat itulah kekuatan kaum kafir imperialis dan antek-antek mereka akan kecil di depan Anda. Besarnya kekuatan persenjataan mereka tidak akan membahayakan Anda. Hati mereka bergetar dan takut. Tipu daya dan makar mereka tidak akan membahayakan Anda. Di sisi Allah lah makar mereka akan hancur, meski makar mereka mampu melenyapkan gunung-gunung.
Wahai orang-orang revolusioner yang benar: sungguh pemimpin itu tidak akan membohongi warganya dan sungguh Hizbut Tahrir menyeru Anda untuk menolong Allah dengan benar sehingga Allah menolong Anda dengan haq:
Tolonglah Allah SWT dalam persatuan Anda dan keteguhan Anda berpegang kepada tali agama Allah seluruhnya, di belakang satu kepemimpinan yang mukhlis, percaya dengan Allah dalam kejernihan dan kemurniaan dalam semua amal yang dilakukannya, kepemimpinan yang memurnikan amalnya hanya untuk Allah saja. Allah SWT tidak menerima amal yang di dalamnya Dia disekutukan dengan yang lain. Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, beliau bersabda:
«قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ، مَنْ أَشْرَكَ بِي كَانَ قَلِيلُهُ وَكَثِيرُهُ لَهُ»
Allah SWT berfirman: “Aku tidak butuh sekutu, siapa saja yang menyekutukan Aku maka sedikit dan banyaknya untuk dia”(HR Abu Dawud dan ath-Thayalisi di dalam Musnadnya)

Dan tolonglah Allah SWT dengan tidak menyenangkan manusia dengan kemurkaan Allah. Maka jangan Anda menyenangkan Amerika dengan mengumumkan negara demokrasi sekuler. Jangan Anda menyenangkan Amerika dengan memalingkan muka dari al-Khilafah, karena takut memprovokasi Amerika dan barat, takut membuat mereka marah. Sebaliknya biarlah mereka mati dengan kemarahannya. Sesungguhnya menyenangkan manusia dengan kemurkaan Allah mengakibatkan kehinaan dan kerendahan. Rasulullah saw bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Ibn al-Ja’du dalam Musnadnya dari Aisyah ra:
«مَنْ أَرْضَى النَّاسَ بِسَخَطِ اللَّهِ، وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ، وَمَنْ أَسْخَطَ النَّاسَ بِرَضَا اللَّهِ كَفَاهُ اللَّهُ النَّاسَ»
Siapa yang menyenangkan manusia dengan kemurkaan Alalh, maka Allah wakilkan dia kepada manusia. Sebaliknya siapa yang membuat marah manusia dengan keridhaan Allah, maka Allah mencukupkannya dari manusia.

Tolonglah Allah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa dengan tekad untuk menegakkan daulah yang satu yaitu al-Khilafah ar-Rasyidah, untuk menerapkan syariah Allah dalam hal kecil dan besar, dalam masalah muamalah, uqubat, hudud, jihad dan ibadah. Allah yang berfirman:
﴿وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
Dan dirikanlah shalat (TQS al-Baqarah [2]: 43)

adalah juga yang berfirman:
﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah (TQS al-Maidah [5]: 49)

Ketaatan kepada Allah itu tidak terbagi-bagi, melainkan harus utuh melaksanakan semua perintah-Nya sesuai konteknya sejak diturunkan. Begitulah yang dilakukan oleh Rasul saw teladan kita. Beliau menerapkan hukum langsung saat turunnya hukum tersebut. Begitu pulalah yang dilakukan Khulafa’ ar-Rasyidun. Mereka menerapkan hukum-hukum ketika membebaskan suatu daerah tanpa dibagi-bagi atau bertahap …Tolonglah Allah SWT dalam memberikan nushrah kepada Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir dengan izin Allah mampu menegakkan al-Khilafah sesuai yang seharusnya dan menerapkan hukum-hukum Allah sesuai rancangan yang telah disiapkan oleh Hizb yang diistinbath dari Islam dan tidak ada sedikit pun dari yang lain. Hizb memiliki bobot yang tinggi dalam hal kesadaran politik, yang dengan pertolongan Allah, akan mampu menggagalkan makar-makar kaum kafir imperialis dan menyibukkan mereka tentang diri mereka sendiri sampai pembebasan yang nyata.
Wahai orang-orang revolusioner di bumi Syam: di depan Anda tidak ada jalan ketiga. Jika Anda berjanji untuk menolong Allah, dan bersumpah di hadapan-Nya untuk tetap teguh di atas kebenaran yang agung, maka Anda akan bahagia di dunia dan akhirat. Negara-negara imperialis kafir akan kalah dan antek-antek pengkhianat akan terkubur. Darah suci yang ditumpahkan dan pengorbanan agung yang dicurahkan akan menyebut Anda dengan kebaikan… Adapun jika Anda tidak melakukannya dan Anda terima boneka Amerika, pemerintahan transisi yang akan membentuk negara republik sekuler sipil demokrasi, maka darah-darah Anda akan mengadukan Anda kepada Penciptanya dan Anda akan menjadi:
﴿كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا
seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali (TQS an-Nahl [16]: 92)!

Dan sungguh kami berharap Anda tidak menjadi seperti itu, dan Allah melindungi orang-orang shalih.
﴿إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. (TQS Qaf [50]: 37)

Ingatlah, bukankah kami telah menyampaikan. Ya Allah saksikanlah. Ingatlah, bukankah kami telah menyampaikan. Ya Allah saksikanlah. Ingatlah, bukankah kami telah menyampaikan. Ya Allah saksikanlah.

1 Jumadil Ula 1434 H/13 Maet 2013 M          
Hizbut Tahrir

Senin, 18 Maret 2013

Itulah Demokrasi: Penuh Ilusi

[Al-Islam 648] Demokrasi sering diklaim sebagai sistem terbaik, menawarkan berbagai harapan seperti kedaulatan rakyat, kekuasaan mayoritas dan kesejahteraan. Namun faktanya, semua itu hanyalah ilusi bagian dari sulap demokrasi.

Ilusi Kedaulatan Rakyat
Inti demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Kedaulatan sendiri adalah hak untuk membuat hukum dan peraturan. Kedaulatan di tangan rakyat artinya rakyatlah yang memiliki hak membuat hukum dan peraturan. Pelaksanaan riilnya, dibuatlah konsep perwakilan. Rakyat memilih wakil mereka untuk duduk di parlemen. Parlemen diberi kekuasaan legislatif untuk membuat peraturan perundangan. Asumsinya, para wakil rakyat terpilih akan mewakili suara dan kehendak rakyat dan bertindak demi kepentingan rakyat.
Di sinilah sulap demokrasi bermula. Rakyat beranggapan, dan memang dimanipulasi supaya tetap beranggapan, bahwa kedaulatan di tangan mereka. Padahal, faktanya yang memegang kedaulatan itu adalah para anggota parlemen. Kedaulatan rakyat disederhanakan begitu rupa menjadi sekedar kedaulatan parlemen atau kedaulatan anggota parlemen. Sebab, merekalah yang menetapkan undang-undang dan hukum, bukan rakyat. Rakyat hanya diharuskan tetap berasumsi bahwa undang-undang produk anggota parlemen hakikatnya dibuat oleh rakyat.
Kedaulatan anggota parlemen sendiri masih bisa dipertanyakan. Faktanya, para anggota parlemen ternyata tidak independen. Mereka tetap harus mengikuti garis kebijakan dan pendapat partai. Itu artinya mereka harus mengikuti kehendak para elit partai termasuk dalam pembuatan undang-undang. Karena itu elit partai itulah yang lebih berdaulat dari para anggota parlemen.
Lebih dari itu, dalam sistem demokrasi yang sarat modal, para politisi butuh dana besar untuk bisa jadi anggota parlemen. Begitu juga parpol, perlu dana besar untuk menjalankan aktivitas politik dan menggerakkan mesin politik. Dari mana dana itu diperoleh? Jawabannya, sebagian kecil dari kantong sendiri, dan sebagian besarnya dari para pemilik modal. Jadilah para pemilik modal itu jadi pihak yang paling berpengaruh.
Hal yang sama juga terjadi para perwujudan kedaulatan rakyat dalam hal pemilihan pemimpin. Rakyat tidaklah independen memilih penguasa. Rakyat “dipaksa” memilih calon pemimpin yang disodorkan oleh parpol. Jadi kedaulatan rakyat memilih penguasa sudah dibatasi oleh parpol.
Untuk jadi penguasa butuh dana besar, untuk “mahar” dan biaya kampanye. Dari mana dana besar itu diperoleh? Lagi-lagi dari para pemilik modal. Sebagai contoh, di AS 80 % dana politik itu disumbang oleh pemilik modal. Di negeri ini, tidak jauh berbeda.
Semua itu membawa implikasi berbahaya. Pertama, peraturan perundangan produk parlemen, terutama tentang ekonomi, cenderung berpihak kepada pemilik modal. Kedua, kebijakan pemerintah melalui proses politik seperti itu pasti kemudian akan cenderung mengutamakan kepentingan pengusaha yang telah mendukungnya.
Di situlah seperti yang dinyatakan Profesor Sosiologi Universitas Colombia C. Wright Mills, demokrasi tidak pernah benar-benar memihak rakyat. Struktur masyarakat demokrasi terbagi menjadi tiga kelas. Kelas terbawah adalah rakyat umum yang tidak berdaya, tidak terorganisir, terbelah dan dimanipulasi oleh media massa untuk mempercayai demokrasi sebagai sistem terbaik. Kelas di atasnya, anggota Kongres/DPR/parlemen, partai politik dan kelompok politik atau yang disebut sebagai pemimpin politik. Kelas tertinggi disebut ‘the power elite’, terdiri atas militer, pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar. Kelompok inilah yang pegang kendali sebuah negara.
Itulah yang terjadi secara riil di semua negara demokrasi. Di Amerika sebagai kampiun demokrasi, hal itu terjadi sejak awal. Presiden AS Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan, demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Dan inilah yang dipropagandakan secara masif hingga kini. Hanya sebelas tahun kemudian, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa yang terjadi di Amerika Serikat adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).
Inilah sulap terpenting demokrasi. Doktrinnya kedaulatan di tangan rakyat. Fakta riilnya, kedaulatan ada di tangan para elit dan pemilik modal.

Ilusi Kekuasaan Mayoritas
Demokrasi sering dikatakan akan melahirkan kekuasaan mayoritas. Melalui pemilu, yang akan menjadi penguasa adalah yang mendapatkan suara terbanyak. Itu artinya, kekuasaan yang didapatkan pemerintah adalah kekuasaan mayoritas sehingga kebijakan yang dibuat pemerintah bisa diklaim mewakili mayoritas rakyat.
Lagi-lagi itu hanyalah satu ilusi yang diberikan oleh demokrasi. Faktanya, kekuasaan mayoritas itu amat jarang terwujud. Di AS sendiri pada pemilu paling akhir, golput mencapai 40%. Menurut CNN, dalam popular vote Obama memperoleh 51.569.975 suara sedangkan Romney meraih 51.318.823 suara, dan dalam electoral vote Obama meraih 283 suara sedangkan Romney hanya 201 suara. Dalam popular vote atau suara langsung pemilih, Obama hanya mendapat sekitar 30 % suara. Itu artinya, Obama hanya didukung oleh minoritas, bukan mayoritas, sebab 70 % dari jumlah pemilih tidak mendukungnya.
Sementara di negeri ini, Pada Pilpres 2009 lalu, angka golput mencapai 28,89%. Pasangan SBY-Boediono mendapat 60,8% dari suara sah, atau hanya 43,18% dari total pemilik hak pilih. Itu artinya, kekuasaan SBY-Boediono juga belum bisa disebut kekuasaan mayoritas.
Sementara itu, kekuasaan yang terbangun dari Pilkada sebagian besar juga belum bisa disebut kekuasaan mayoritas sebab belum didukung oleh lebih dari 50% pemilik hak suara. Bahkan pada banyak pilkada, angka golput melebihi suara pemenang pilkada.
Pada pilkada DKI putaran kedua yang dimenangkan Jokowi-Ahok dengan suara 53,8% dari suara sah atau 35,33% dari total pemilih dalam DPT. Sedangkan angka golput mencapai 33,5%. Itu artinya, Jokowi hanya mendapat dukungan dari 35,33 % dari warga yang punya hak pilih di DKI.
Di Sulsel pada Pilkada 22 Januari 2013, meski pemenang mendapat 52,42% dari suara sah, jika dihitung dari total pemilih ternyata hanya 35,85%. Angka golput di Pilkada Sulsel itu sendiri 31,6%.
Hal sama terjadi di Jabar. Pemenang Pilkada, pasangan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar mendapat 32 % suara sah (6.515.313 suara). Jika dihitung dari jumlah pemilih (32,5 juta), pemenang Pilkada Jabar hanya didukung oleh 20% dari warga pemilik hak suara. Angka golput sendiri mencapai 36,26% (11.786.221 jiwa).
Hal sama terjadi di Pilkada Sumut pada 7 Maret 2013 lalu. Angka golput diperkirakan di atas 40%. Karena itu, bisa dipastikan kekuasaan di Sumut hasil pilkada dengan lima pasangan calon tersebut tidak akan meraih lebih dari 50% dari jumlah DPT bahkan dari jumlah suara sah sekalipun.
Semua contoh hasil Pilkada itu menunjukkan kekuasaan hasil berbagai Pilkada selama ini lebih tepat disebut kekuasaan minoritas, bukan kekuasaan mayoritas. Melihat tren itu, 152 Pilkada yang akan digelar pada tahun ini, kemungkinan besar atau hampir pasti belum akan menghasilkan kekuasaan mayoritas. Semua itu hanya menjadi bukti, kekuasaan mayoritas hanyalah ilusi demokrasi.

Ilusi Kesejahteraan
Peraturan perundangan dan kebijakan pemerintah yang lebih cenderung menguntungkan para pemilik modal atau kelompok kaya mengakibatkan ketimpangan distirbusi kekayaan, yang kaya makin kaya, yang miskin makin tersisihkan. Fakta itulah yang terlihat di berbagai negara di dunia.
Di AS, antara tahun 1980 -2005, 80% kekayaan AS hanya dimiliki oleh 1% penduduk. Dari tahun 1979 – 2007 pendapatan rata-rata 1% terkaya orang naik 272% dari 350.000 USD ke 1.300.000 USD; sedangkan pendapatan rata-rata 20% penduduk AS termiskin hanya naik 13% dari 15.500 USD ke 17.500 USD.
Di Indonesia, kesenjangan serupa juga terjadi. Indeks Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, naik drastis. Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS), gini rasio Indonesia naik dari 0,33 tahun 2005 menjadi 0,41 tahun 2011.
Data lain memperlihatkan, total pendapatan 20% masyarakat terkaya naik dari 42,07% (2004) menjadi 48,42 % (2011). Sebaliknya, total pendapatan 40 % masyarakat termiskin turun dari 20,8 % (2004) menjadi 16,85 % (2011). Kekayaan 40 ribu orang terkaya Indonesia sebesar Rp 680 Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan 10,33% PDB, dan itu setara dengan kekayaan 60% penduduk atau 140 juta orang. Jumlah orang miskin di negeri ini dengan standar BPS juga masih 29 juta orang.
Pada konteks global, ketimpangan kekayaan juga naik. Hingga tahun 2010, sebanyak 0,5% penduduk terkaya (24 juta orang) memiliki 35,6% kekayaan global; 8% penduduk terkaya (358 juta) memiliki 79,3 kekayaan global. Sebaliknya, 68,4% penduduk miskin (3,038 miliar) hanya memiliki 4,2% kekayaan global.
Semua itu menunjukkan bahwa demokrasi akan memberikan kesejahteraan pada semua rakyat nyatanya hanyalah ilusi. Dengan semua itu, nyatalah bahwa demokrasi penuh ilusi.

Wahai Kaum Muslimin
Demokrasi hanyalah sistem buatan manusia dengan mengesampingkan bahkan mencampakkan petunjuk Allah SWT. Sistem seperti ini pada hakikatnya hanya berasal dari bisikan hawa nafsu dan setan. Allah SWT memperingatkan:
] يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا [
Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (TQS an-Nisa’ [4]: 120)

Karena itu, sistem seperti itu harus segera kita campakkan. Sebagai gantinya, kita harus segera menerapkan sistem Islam di bawah sistem Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Niscaya kehidupan yang sesungguhnya akan kita dapatkan di dunia dan akhirat. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []


Komentar Al Islam

Wamenkes Ali Ghufron Mukti menyebutkan kondisi 2 persen masyarakat Indonesia kekurangan gizi berat dan 30 persen ukuran tinggi dan berat badannya kurang ideal. Kurang gizi ini bukan disebabkan tidak ada yang dimakan, tetapi lebih karena kurangnya pengetahuan akan gizi yang benar (kompas.com, 12/3).
  1. Artinya, ada 2,4 juta orang kekurangan gizi berat dan lebih dari 60 juta tinggi dan berat badannya kurang ideal. Sungguh ironis terjadi di negeri yang subur dan kaya raya.
  2. Ini bukti pemerintah lalai terhadap pendidikan kesehatan dan gizi rakyat. Padahal rakyat yang sehat dan tumbuh dengan baik adalah modal bagi kemajuan umat.
  3. Dalam Islam, palayanan kesehatan, tentu juga mencakup pemenuhan gizi dan pendidikan kesehatan dan gizi, adalah kewajiban penguasa dan negara yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat.

Senin, 11 Maret 2013

Itulah Demokrasi Sistem Korup Pemangsa Kebaikan

[Al-Islam  647] Saat ini, tak satu pun parpol, baik yang nasionalis maupun agamis, bersih dari korupsi. Terseretnya yang agamis untuk terlibat kasus korupsi mengisyaratkan, bahwa begitu masuk dalam sistem politik yang ada, orang yang semula baik dan bersih akan cenderung menjadi buruk dan korup.

Demokrasi: Pemangsa Kebaikan
Sistem demokrasi sering diklaim sebagai pilihan terbaik. Jika benar, tentu siapa pun yang masuk ke dalamnya akan cenderung menjadi lebih baik.
Namun fakta berbicara sebaliknya. Siapa pun yang masuk ke dalam sistemnya akan cenderung menjadi buruk atau korup. Itu artinya, sistem demokrasi adalah sistem yang buruk.
Di dalam sistem demokrasi sekarang ini, hanya mereka yang berusaha keras menjaga kebersihan diri terus menerus yang bisa terhindar dari pengaruh buruk itu. Hanya saja, karena berada di lingkungan sistem politik yang buruk, orang yang baik itu pada akhirnya hanya akan berujung pada dua kemungkinan, terlempar dari arena atau karena terdesak akhirnya terpaksa terlarut dalam suasana yang buruk itu dan menjadi buruk serta korup.

Demokrasi Sistem yang Korup
Demokrasi asasnya sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan, politik dan negara. Faktor iman dan takwa dipinggirkan. Hilanglah pengendali internal dalam diri orang yang bisa mencegahnya berbuat buruk. Selain itu, standar iman dan takwa diabaikan. Yang ada akhirnya standar manfaat yang subyektif menurut pandangan masing-masing. Konsekuensi logisnya muncul pragmatisme dan perilaku transaksional.
Demokrasi selain memiliki pilar kebebasan dan jaminan terhadap kebebasan yang melahirkan berbagai kerusakan, juga memiliki pilar kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang membuat hukum dan perundang-undangan. Prakteknya, rakyat memilih wakilnya secara periodik untuk menjalankan kekuasaan legislatif itu. Asumsinya para wakil itu akan membuat hukum dan undang-undang sesuai kehendak rakyat dan demi kepentingan rakyat. Demokrasi juga memiliki pilar kekuasaan di tangan rakyat di mana rakyat memilih penguasa baik pusat maupun daerah secara periodik untuk jangka waktu tertentu.
Masalahnya, untuk bisa menjadi wakil rakyat atau penguasa butuh dana besar. Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, dalam penelitian untuk disertasi doktoralnya mendapati fakta, untuk Pemilu paling sedikit caleg mengeluarkan dana minimal Rp 600 juta. Ada juga yang menghabiskan dana hingga Rp 6 miliar. Biaya itu dari Pemilu ke Pemilu cenderung meningkat. Untuk Pemilu 2014 mendatang biaya pencalegkan pasti menyentuh angka miliaran.
Begitu pula untuk menjadi penguasa, juga butuh dana besar. Di AS, kampiunnya demokrasi, dalam Pemilu lalu, biaya kampanye Obama konon habis minimal 800 juta USD (sekitar Rp 7,2 triliun). Saingannya, Mitt Romney juga kurang lebih sama.
Di Indonesia juga tidak jauh beda. Banyak diungkap, untuk jadi bupati/walikota butuh dana puluhan miliar. Untuk jadi gubernur, dana yang dibutuhkan lebih besar lagi. Untuk pilkada Jabar pada bulan lalu misalnya, dengan jumlah 5.953 desa, jika kampanye di tiap desa rata-rata butuh minimal Rp 25 juta maka tiap calon butuh dana minimal Rp 148,8 miliar.
Bahkan pasangan Sukarwo dan Saifullah dalam Pilkada Jawa Timur pada tahun 2008 lalu, secara resmi menyatakan menghabiskan dana Rp 1,3 triliun. Bila untuk pencalonan gubernur saja dihabiskan dana segitu besar, untuk pencalonan presiden tentu lebih besar lagi. Disebut-sebut paling sedikit sekitar Rp 1,5 triliun.
Dana sebesar itu tentu tidak mungkin semuanya berasal dari kantong calon sendiri. Di AS, hampir 80% dana sebanyak itu disumbang oleh para pengusaha. Di Indonesia tidaklah jauh berbeda. Hal itu membawa implikasi yang berbahaya.
Pertama, hukum dan peraturan produk wakil rakyat lebih mengutamakan kepentingan pemodal. Contoh di AS, pada 2010, industri tembakau dipelopori oleh Philip Morris, R. J. Reynolds Tobacco Company, and Lorillard Tobacco Co menghabiskan dana 16.6 juta US$ untuk melobi Kongres. Mereka ikut mensponsori regulasi tembakau di AS. Sebagian dari dana itu dipakai anggota Kongres dalam Pemilu mereka. Tujuannya agar regulasi tembakau tidak terlalu ketat. Akhirnya pemerintah AS pun bersikap mendua dalam regulasi tembakau, sebab tidak mau kehilangan pemasukan dari industri tembakau sekitar 27 juta US$ pertahun.
Di Indonesia pun sama, peraturan perundangan lebih menguntungkan pemodal. Hal itu tampak pada UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Pangan dan puluhan UU lainnya.
Kedua, kebijakan pemerintah (penguasa) lebih berpihak kepada pemodal. Hal itu sebagai kompensasi atas modal yang diberikan. Contoh di AS, New York Times (9/6/2012) menurunkan bukti telah terjadi kolusi antara pemerintah Obama dengan perusahaan farmasi di AS seperti Big Pharma pada tahun 2009. Dari bocoran email diketahui bahwa Obama menyetujui permintaan perusahaan-perusahaan farmasi untuk tidak menurunkan harga obat-obatan. Imbalannya, industri farmasi akan memberikan dana hingga 80 juta US$ untuk membantu program kesehatan pemerintah yang dinamakan Obamacare.
Sementara di Indonesia, kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada pemodal tampak diantaranya dalam kebijakan privatisasi migas, privatisasi kesehatan dan pendidikan, pemberian izin yang mengabaikan amdal, pengabaian atas transportasi publik, dan sebaliknya terus memberikan insentif kepada perusahaan otomotif, pemberian berbagai insentif kepada pengusaha dan kebijakan lainnya. Juga tampak dalam berbagai proyek yang sudah diatur agar jatuh ke tangan pengusaha tertentu.
Ketiga, penguasa dan politisi memperdagangkan kebijakan atau melakukan korupsi, kolusi dan manipulasi. Hal itu selain untuk mengembalikan dana yang dikeluarkan, juga untuk memupuk modal untuk proses politik berikutnya. Terungkapnya kasus mafia anggaran, suap untuk mendapatkan ijin usaha, misalnya perkebunan, dan banyaknya politisi dan kepala daerah yang terjerat korupsi adalah sebagian bukti nyatanya.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djoehermansyah Djohan, mengatakan, sejak 2004 lalu total kepala daerah yang tersangkut kasus hukum mencapai 290 orang. Mayoritas yaitu 187 orang atau sekitar 86,2 persen kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Ia merinci, “Gubernur 20 orang, Wakil Gubernur 7 Orang, Bupati 156 orang, Wakil Bupati 46 orang, Wali Kota 41 orang dan Wakil Wali Kota 20 orang, totalnya 290 orang. Sementara DPRD 431 orang, DPRD Provinsi 2.545.” (lihat, okezone.com, 19/12/2012).
Di samping semua itu, demokrasi dengan kapitalismenya dalam hal ekonomi terbukti gagal mewujudkan pemerataan kesejahteraan. Sebaliknya jurang kesenjangan dalam hal kekayaan justru makin menganga lebar. Kekayaan lebih dikuasi oleh segelintir kecil orang.

Islam Menumpas Keburukan, Menumbuhkan Kebaikan
Semua itu berbeda dengan sistem Islam dengan syariah Islamiyah. Sistem Islam akan memupus keburukan dan menumbuhsuburkan kebaikan.
Dalam Islam, kedaulatan hanya ada ditangan syara’, bukan ditangan manusia.
] إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ [
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (TQS al-An’am [6]: 57)

Hukum dan peraturan dibuat dengan mengacu kepada al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Dengan itu peluang jual beli peraturan tertutup. Hukum dan peraturan sulit direkayasa demi kepentingan politisi dan penguasa. Jika itu terjadi, bisa diujikan kepada Mahkamah Mazhalim untuk dibatalkan ketika tidak bersumber kepada atau menyalahi al-Quran dan as-Sunnah.
Dalam Islam, kekuasaan di tangan rakyat. Rakyat yang memilih khalifah. Dalam hal pemilihan Khalifah, mungkin saja dilakukan kampanye. Namun waktunya yang sangat singkat, membuat tidak perlu dana besar.
Tidak ada pembatasan masa jabatan baik untuk Khalifah maupun penguasa daerah. Khalifah tetap menjabat selama berpegang kepada syariah dan tidak ditentukan oleh persetujuan Majelis Ummat. Sementara penguasa daerah (gubernur dan amil – penguasa daerah setingkat kabupaten/kota) ditunjuk oleh Khalifah. Masa jabatannya ditentukan oleh khalifah di samping oleh keridhaan dan penerimaan penduduk daerah itu dan sejauh mana berpegang kepada syariah. Dengan begitu tidak perlu dana besar dan meminimalkan peluang terjadinya korupsi.
Khalifah, penguasa daerah dan aparatur adalah manusia biasa, bisa saja tergoda dan akhirnya melakukan korupsi. Namun dengan sistem Islam, korupsi itu sifatnya by person, dilakukan orang per orang. Itu relatif lebih mudah diatasi. Berbeda dalam demokrasi, korupsi terjadi by sistem dan bersifat sistemik karena sistem memberi peluang bahkan menjadi faktor penyebabnya.
Untuk mengatasi korupsi by person itu, sistem Islam menempuh lima langkah. Pertama, menanamkan iman dan takwa. Dengan itu, pejabat dan rakyat akan tercegah melakukan kejahatan termasuk korupsi.
Kedua, sistem penggajian yang layak, sehingga tidak ada alasan untuk berlaku korup. Ketiga, teladan dari pemimpin, sehingga tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan pun tidak sulit dilakukan.
Keempat, pembuktian terbalik. Harta pejabat dan aparat dicatat. Jika ada pertambahan harta yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikannya diperoleh secara sah. Jika tidak bisa, maka disita sebagian atau seluruhnya dan dimasukkan ke kas negara.
Kelima, hukuman yang bisa memberi efek jera. Hukuman itu bisa berupa tasyhir (pewartaan), denda, penjara yang lama bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak kejahatannya.

Wahai Kaum Muslimin
Sistem Islam akan memupus keburukan dan sebaliknya menumbuhsuburkan kebaikan. Hal itu hanya terealisir jika syariah Islam diterapkan secara total di bawah sistem Khilafah. Karenanya harus segera kita wujudkan sebagai pelaksanaan kewajiban dari Allah dan bukti keimanan kita. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []


Komentar:
Dari jumlah orang miskin 28,59 juta orang, 73,5 persennya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pangan (republika, 4/3/2013).
  1. Ironis, padahal negeri ini subur dan kekayaan alamnya berlimpah ruah. Itu karena distribusi kekayaan yang buruk akibat penerapan kapitalisme.
  2. Kekayaan negeri sebagian besar dikuasai oleh segelintir orang dan mengalir demi kemakmuran asing
  3. Hanya sistem Islam dengan sistem ekonominya yang mampu mendistribusikan kekayaan negeri secara adil dan merata kepada seluruh rakyat. Dalam Islam, negara juga wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok di antaranya pangan. Dengan itu masalah pangan bisa tuntas di atasi.

Jumat, 01 Maret 2013

Mengatasi Teror di Papua dan Merealisasi Keadilan dan Pembangunan

[Al-Islam - 646], 18 Rabiuts Tsani 1434 H-1 Maret 2013 M
Teror penembakan kembali terjadi di Papua. Penembakan terjadi pada Kamis (21/2) di Tingginambut Puncak Jaya dan Sinak Puncak Jaya, Papua. Delapan anggota TNI dan empat warga sipil tewas. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menduga kuat, kelompok separatis bertanggung jawab atas penembakan itu. (lihat, kompas.com, 24/2).
Teroris Separatis Papua
Aksi-aksi penyerangan bersenjata yang terjadi di Papua selama ini terlihat dilakukan secara terorganisir, menggunakan senapan laras panjang, laras pendek, dan senjata tajam. Aksi-aksi penyerangan terorganisir itu selain dilakukan terhadap anggota TNI dan Polri, juga terhadap warga sipil.
Motiv separatisme tidak bisa dinafikan dalam kasus terakhir. Penyerangan di Puncak Jaya diduga dilakukan oleh kelompok bersenjata pimpinan Goliath Tabuni. Sementara penembakan di Distrik Sinak diduga dilakukan oleh kelompok bersenjata pimpinan Murib (lihat, kompas.com, 24/2). Selama ini keberadaan kelompok separatis bersenjata di daerah Puncak Jaya itu telah dideteksi. Menurut Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul (kompas.com, 26/2), berdasarkan data dari intelijennya, terdapat tiga kelompok kekuatan separatis yang bercokol di Puncak Jaya, Papua, yakni Kelompok Tabuni, kelompok Yambi, dan kelompok Murib. Kelompok itu memiliki kekuatan antara 100 dan 150 orang dengan senjata laras panjang, laras pendek, dan senjata tajam.
Meski demikian, pemerintah terkesan menjauhkan motiv separatisme itu dan menganggapnya tidak bernuansa “merdeka” atau politis. Menurut Irjen Tito, dipastikan kasus yang terjadi tidak berkaitan dengan faktor politik atau isu perjuangan “Papua Merdeka” (kompas.com, 26/2).
Tampak ada kegamangan pemerintah menyatakan bahwa di balik kasus penyerangan bersenjata itu ada motiv separatisme. Padahal melihat data-data yang ada, motiv itu jelas tidak bisa dinafikan. Entah apa yang mendasari sikap gamang pemerintah itu.
Terlepas dari semua itu, aksi-aksi tersebut jelas merupakan aksi teror dan memenuhi semua kriteria tindak pidana terorisme. Aksi-aksi itu juga jelas menimbulkan suasana teror di masyarakat. Namun pemerintah justru hanya menilainya sebagai tindak kriminal biasa dan pelakunya hanya disebut Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Padahal sudah jelas menembaki aparat menggunakan senapan laras panjang dan pendek, bahkan mereka memastikan korban tewas dengan menembaknya dengan senapan laras pendek atau dengan memastikannya menggunakan senjata tajam. Helikopter yang akan mengevakuasi jenazah korban pun juga ditembaki hingga menyebabkan korban luka.
Sikap pemerintah seperti itu juga ditunjukkan terhadap aksi-aksi penyerangan bersenjata termasuk menggunakan senapan laras panjang yang diduga dilakukan oleh OPM. Pemerintah juga tidak menyebut OPM sebagai kelompok teroris. Disinilah seolah terjadi “pembiaran” dan tidak ada tindakan sepadan dan tegas sehingga masalah itu terus terjadi.
Anehnya, sikap seperti itu jauh sekali dari sikap aparat (pemerintah) terhadap orang Islam yang diduga menjadi bagian dari “aksi terorisme”. Baru terduga saja sudah ditangkap, ada yang disiksa, bahkan ditembak mati di tempat tanpa dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan. Lebih ironis lagi, ada yang ditembak usai shalat atau pengajian di Masjid. Padahal di antara mereka tidak melakukan apa-apa. Sementara yang jelas-jelas menembaki aparat dan warga sipil, menyebabkan 12 orang tewas, menimbulkan suasana teror, tetap saja tidak disebut teroris dan tidak ditindak tegas seperti yang dilakukan terhadap para terduga teroris. Salah satu alasan masuk akal dibalik sikap pemerintah itu, adalah karena pemerintah takut pada opini internasional terutama tekanan dari negara-negara besar seperti Amerika. Di samping, tindakan terhadap terduga teroris jelas sejalan dan seirama dengan kebijakan barat khususnya AS. Maka semua itu merupakan konfirmasi bahwa pemerintah tidak independen dan tidak mandiri dalam menyikapi dan mengelola keamanan dalam negeri. Juga mengkonfirmasi bahwa pemerintah selama ini seirama dengan lagu kebijakan barat khususnya AS, jika tidak boleh disebut mengekor atau bahkan disetir.

Akibat Penerapan Kapitalisme
Salah satu akar persoalan di Papua adalah adanya ketidakadilan dalam proses pembangunan yang dirasakan warga di Papua khususnya di pedalaman, pegunungan, dan daerah tertinggal. Persoalan makin kompleks karena di wilayah yang selama ini masih terisolasi dan belum terlayani pembangunannya itu, muncul sentra perlawanan kepada pemerintah.
Padahal bumi Papua sangat kaya sumber daya alam. Tambang Freeport, gas Tangguh dan kekayaan alam begitu berlimpah di bumi Papua. Namun nyatanya, pembangunan di Papua begitu tertinggal dan masyarakatnya miskin. Kekayaan alam yang berlimpah di bumi Papua belum menjadi berkah.
Untuk mengejar ketertinggalan itu, selama ini telah diberikan Otonomi Khusus kepada Papua dan dana puluhan triliun pun telah digelontorkan. Wakil ketua DPR Priyo Budi Santosa pada Senin (25/2) mengatakan, “Kita menyetujui adanya Otsus ini, sekarang Papua telah diberikan dana lebih dari Rp 30 trilliun plus dana-dana reguler lain yang provinsi lain tidak boleh iri dan menanyakan itu, karena keinginan kita Papua membangun dengan cepat dengan dana Otsus ini,” (detiknews, 25/2).
Akar persoalan di Papua adalah akibat penerapan kapitalisme. Kekayaan alam yang berlimpah justru banyak mengalir demi kesejahteraan asing karena pengelolaan kekayaan alam itu diserahkan kepada asing melalui skema kontrak kerjasa sama ataupun kontrak bagi hasil.
Disisi lain, dana triliuan yang telah digelontorkan ternyata tidak dirasakan oleh masyarakat. Dana itu lebih banya dinikmati oleh para elit. Salah satu faktor utama penyebabnya adalah sistem politik demokrasi yang korup dan sarat modal.
Semua itu sebenarnya bukan hanya problem Papua, meski harus diakui Papua adalah salah satu yang paling parah. Masalah itu adalah masalah negeri ini secara keseluruhan.

Mewujudkan Keadilan dan Pemerataan Pembangunan
Menyelesaikan masalah Papua, selain masalah keamanan adalah dengan mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Hal itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan syariah Islam secara total.
Dalam hal pengelolaan ekonomi dan kekayaan, Islam menetapkan bahwa hutan dan kekayaan alam yang berlimpah depositnya seperti tambang tembaga dan emas yang dikuasai Freeport, dan gas Tangguh yang dikuasai British Petroleum, merupakan harta milik umum seluruh rakyat tanpa kecuali. Kekayaan itu tidak boleh dikuasakan atau diberikan kepada swasta apalagi asing. Kekayaan itu harus dikelola oleh negara mewakili rakyat dan keseluruhan hasilnya dikembalikan kepada rakyat, diantaranya dalam bentuk berbagai pelayanan kepada rakyat. Dengan itu, tambang Freeport, gas Tangguh dan kekayaan alam lainnya akan benar-benar menjadi berkah untuk rakyat.
Hasil dari pengelolaan berbagai kekayaan alam itu ditambah sumber-sumber pemasukan lainnya akan dihimpun di kas negara dan didistribusikan untuk membiayai kepentingan pembangunan dan pelayanan kepada rakyat. Dalam hal itu, hukum asalnya bahwa setiap daerah diberi dana sesuai kebutuhannya tanpa memandang berapa besar pemasukan dari daerah itu. Dalam hal menetapkan besaran kebutuhan itu, yang menjadi patokan adalah kebutuhan riil mulai dari yang pokok seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan infrastruktur, lalu kebutuhan pelengkap dan seterusnya. Dengan itu, masalah pemerataan pembangunan dan kemajuan bagi semua daerah akan terjawab. Semua daerah akan terpenuhi pelayaan dan insfrastruktur dasarnya. Semua daerah bisa merasakan kemajuan dan kesejahteraan secara merata dan berkeadilan. Hal itu ditegaskan oleh Islam dengan mewajibkan negara untuk menjaga keseimbangan perekonomian agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan atau di daerah tertentu saja.
Dalam hal perlakuan kepada rakyat, Islam mewajibkan berlaku adil kepada seluruh rakyat bahkan kepada semua manusia. Dalam Sistem Islam tidak boleh ada deskriminasi atas dasar suku, etnis, bangsa, ras, warna kulit, agama, kelompok dan sebagainya dalam hal pemberian pelayanan dan apa yang menjadi hak-hak rakyat. Islam pun mengharamkan cara pandang, tolok ukur dan kriteria atas dasar suku bangsa, etnis, ras, warna kulit dan cara pandang serta tolok ukur sektarian lainnya. Islam menilai semua itu sebagai keharaman dan hal yang menjijikkan.
Semua itu hanya bisa diwujudkan dengan syariah Islam yang diterapkan oleh pemeritah yang paham betul bahwa tugasnya adalah sebagai pelayan umat. Islam mnegaskan bahwa tugas dan kewajiban pemerintah adalah menjamin terpeliharanya urusan-urusan dan kemaslahatan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban di akhriat atas urusan rakyatnya. Nabi saw bersabda:
اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Wahai Kaum Muslimin
Penyelesaian masalah Papua dan masalah negeri ini secara keseluruhan hanyalah dengan penerapan syariah Islam secara total di bawah naungan Khilafah Rasyidah. Untuk itu perubahan besar mewujudkannya harus segera dilakukan sebagai pemenuhan seruan Allah dan Rasul. Allah SWT berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (TQS al-Anfal [8]: 24). Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
Komentar:
Semakin canggih dan tersembunyinya penggunaan bahasa dan simbol-simbol agama dalam komunikasi untuk praktik korupsi menunjukkan semakin kronisnya korupsi dalam kehidupan sosial sehari-hari. (kompas.com, 26/2)
  1. Korupsi merajalela di kalangan eksekutif, legislatif dan pentolan partai adalah buah sistem yang rapuh kapitalisme demokrasi yang memberi ruang bagi keserakahan
  2. Lebih dari itu, salah satu akar penyebab korupsi merajalela adalah diterapkannya sistem politik demokrasi.
  3. Pemberantasan korupsi hanya bisa diwujudkan dalam sistem yang mengutamakan keimanan dan ketakwaan dan dengan sistem politik yang bersih dan baik. Hal itu hanya dengan penerapan syariah secara total dalam naungan Khilafah Rasyidah