PERBEDAAN PENGANGKATAN KEPALA NEGARA DALAM DEMOKRASI VERSUS KHILAFAH
 
 Oleh: Luthfi Afandi, 
 Humas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Barat
 
 Banyak perbedaan mendasar antara pemilihan presiden di Indonesia yang 
menganut sistem demokrasi dengan pemilihan kepala negara (khalifah) 
dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah). Dua di antaranya sebagai 
berikut.
 
 Aspek Asas
 
 Jika dilihat dari asasnya terdapat
 perbedaan yang mendasar antara pemilihan presiden di Indonesia yang 
menganut sistem demokrasi dengan pemilihan kepala negara (khalifah) 
dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah).
 
 Seorang kepala 
negara kepala negara (presiden) dalam sistem demokrasi, diangkat untuk 
menjalankan sistem, hukum, dan konstitusi yang dibuat oleh manusia 
(baca; wakil rakyat) bukan hukum yang diturunkan Allah SWT. Hal tersebut
 merupakan konsekuensi dari asas demokrasi yakni “dari rakyat, oleh dan 
untuk rakyat” dan “rakyat adalah pemilik kedaulatan”.
 
 Sedangkan
 khalifah dipilih oleh umat untuk menjalankan dan menerapkan seluruh 
syariah Islam  dan menyatukan umat Islam di seluruh dunia.
 
 
Adapun dalil (argumentasi) kewajiban penguasa (kepala negara) untuk 
menerapkan hukum-hukum Allah di antaranya firman Allah dalam Alquran 
Surat Al-Maidah:
 
 "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di 
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu 
mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati- hatilah kamu kepada mereka 
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah 
diturunkan Allah kepadamu" (TQS 5: 49).
 
 Aspek Syarat dan Masa Jabatan Kepala Negara
 
 Hal lain yang membedakan (pemilihan) kepala negara dalam khilafah dan demokrasi adalah syarat dan masa jabatan kepala negara.
 
 Dalam demokrasi, seorang presiden tidak harus beragama Islam, karena 
dia diangkat tidak dalam rangka menerapkan hukum Allah. Sementara dalam 
khilafah, khalifah  harus beragama Islam, karena dia diangkat untuk 
melaksanakan syariah Islam.
 
 Di samping itu, dalam demokrasi 
presiden juga tidak harus laki-laki. Sementara dalam khilafah, khalifah 
harus laki-laki. Tidak diperbolehkan kepala negara seorang perempuan. 
Ketentuan tersebut mengacu kepada sabda Nabi SAW:  “Tidak akan pernah 
beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan.(HR 
Bukhari)”.
 Dalam hal masa jabatan, dalam negara demokrasi, masa 
jabatan seorang kepala negara dibatasi waktunya, misalnya 4 atau 5 
tahun. Sementara dalam Islam, seorang kepala negara tidak dibatasi masa 
jabatannya berdasarkan waktu tertentu. Selama tujuh syarat seorang 
khalifah dapat terpenuhi—yakni Muslim, laki-laki, berakal, merdeka, 
baligh, adil dan mampu—dan  khalifah masih tetap menjaga syariah, 
menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu untuk melaksanakan berbagai 
urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi
 khalifah.
 
 Sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain, dinyatakan:
 
 “(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah. (HR Muslim).
 Sebaliknya, walaupun baru beberapa saat saja seorang khalifah dibaiat, 
akan tetapi jika syarat in’iqad khalifah tidak lagi mampu dipenuhi serta
 tidak lagi menjalankan syariah dan hukum-hukumnya atau melakukan 
pelanggaran (ma’shiyat) berat, maka seorang khalifah dapat 
diberhentikan.
 
 Pencopotan jabatan kekhilafahan karena tidak 
terpenuhinya lagi syarat menjadi seorang khalifah adalah batasan yang 
paling rasional daripada batasan masa jabatan. Karena saat ini misalnya,
 di negara-negara demokrasi banyak kepala negara yang tidak fokus 
mengurus urusan masyarakat. Hal tersebut terjadi akibat para elite 
politik yang senantiasa sibuk dengan urusan perebutan kursi kekuasaan.
 
 Seringkali siklusnya seperti ini; tahun pertama berkuasa adalah tahap 
penyesuaian dan membangun kesolidan tim, tahun kedua dan ketiga mulai 
fokus bekerja. Dan tahun ke empat dan lima sudah berpikir lagi untuk 
mempertahankan kursi kekuasaan. Sehingga nyaris, waktu efektif untuk 
bekerja hanya kurang lebih dua tahun. Tentu dalam konteks pembangunan 
jangka panjang, kondisi tersebut merupakan problem serius. Ditambah lagi
 dengan kebiasaan “ganti pejabat, ganti kebijakan”, maka akan 
menyebabkan pembangunan menjadi tidak optimal dijalankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar