Minggu, 17 Februari 2013

DEMOKRASI vs KHILAFAH

PERBEDAAN PENGANGKATAN KEPALA NEGARA DALAM DEMOKRASI VERSUS KHILAFAH

Oleh: Luthfi Afandi,
Humas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Barat

Banyak perbedaan mendasar antara pemilihan presiden di Indonesia yang menganut sistem demokrasi dengan pemilihan kepala negara (khalifah) dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah). Dua di antaranya sebagai berikut.

Aspek Asas

Jika dilihat dari asasnya terdapat perbedaan yang mendasar antara pemilihan presiden di Indonesia yang menganut sistem demokrasi dengan pemilihan kepala negara (khalifah) dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah).

Seorang kepala negara kepala negara (presiden) dalam sistem demokrasi, diangkat untuk menjalankan sistem, hukum, dan konstitusi yang dibuat oleh manusia (baca; wakil rakyat) bukan hukum yang diturunkan Allah SWT. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari asas demokrasi yakni “dari rakyat, oleh dan untuk rakyat” dan “rakyat adalah pemilik kedaulatan”.

Sedangkan khalifah dipilih oleh umat untuk menjalankan dan menerapkan seluruh syariah Islam dan menyatukan umat Islam di seluruh dunia.

Adapun dalil (argumentasi) kewajiban penguasa (kepala negara) untuk menerapkan hukum-hukum Allah di antaranya firman Allah dalam Alquran Surat Al-Maidah:

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati- hatilah kamu kepada mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (TQS 5: 49).

Aspek Syarat dan Masa Jabatan Kepala Negara

Hal lain yang membedakan (pemilihan) kepala negara dalam khilafah dan demokrasi adalah syarat dan masa jabatan kepala negara.

Dalam demokrasi, seorang presiden tidak harus beragama Islam, karena dia diangkat tidak dalam rangka menerapkan hukum Allah. Sementara dalam khilafah, khalifah harus beragama Islam, karena dia diangkat untuk melaksanakan syariah Islam.

Di samping itu, dalam demokrasi presiden juga tidak harus laki-laki. Sementara dalam khilafah, khalifah harus laki-laki. Tidak diperbolehkan kepala negara seorang perempuan. Ketentuan tersebut mengacu kepada sabda Nabi SAW: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan.(HR Bukhari)”.
Dalam hal masa jabatan, dalam negara demokrasi, masa jabatan seorang kepala negara dibatasi waktunya, misalnya 4 atau 5 tahun. Sementara dalam Islam, seorang kepala negara tidak dibatasi masa jabatannya berdasarkan waktu tertentu. Selama tujuh syarat seorang khalifah dapat terpenuhi—yakni Muslim, laki-laki, berakal, merdeka, baligh, adil dan mampu—dan khalifah masih tetap menjaga syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu untuk melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah.

Sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain, dinyatakan:

“(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah. (HR Muslim).
Sebaliknya, walaupun baru beberapa saat saja seorang khalifah dibaiat, akan tetapi jika syarat in’iqad khalifah tidak lagi mampu dipenuhi serta tidak lagi menjalankan syariah dan hukum-hukumnya atau melakukan pelanggaran (ma’shiyat) berat, maka seorang khalifah dapat diberhentikan.

Pencopotan jabatan kekhilafahan karena tidak terpenuhinya lagi syarat menjadi seorang khalifah adalah batasan yang paling rasional daripada batasan masa jabatan. Karena saat ini misalnya, di negara-negara demokrasi banyak kepala negara yang tidak fokus mengurus urusan masyarakat. Hal tersebut terjadi akibat para elite politik yang senantiasa sibuk dengan urusan perebutan kursi kekuasaan.

Seringkali siklusnya seperti ini; tahun pertama berkuasa adalah tahap penyesuaian dan membangun kesolidan tim, tahun kedua dan ketiga mulai fokus bekerja. Dan tahun ke empat dan lima sudah berpikir lagi untuk mempertahankan kursi kekuasaan. Sehingga nyaris, waktu efektif untuk bekerja hanya kurang lebih dua tahun. Tentu dalam konteks pembangunan jangka panjang, kondisi tersebut merupakan problem serius. Ditambah lagi dengan kebiasaan “ganti pejabat, ganti kebijakan”, maka akan menyebabkan pembangunan menjadi tidak optimal dijalankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar