Satu soal yang sering dipertanyakan
oleh berbagai pihak adalah bagaimana cara Hizbut Tahrir (Indonesia) mencapai
cita-citanya. Bagi mereka terdengar musykil, bagaimana bisa HT(I) ingin
menegakkan syariah dan Khilafah tetapi tidak ikut Pemilu. Dalam pandangan
mereka, Pemilu adalah jalan paling logis untuk meraih kekuasaan. Oleh karena
itu penerimaan terhadap sistem demokrasi dan Pemilu sebagai instrumen pokoknya,
baik sekadar sebagai sebuah jalan untuk meraih kekuasaan ataupun sebagai sebuah
sistem politik, merupakan hal yang tidak perlu diperdebatkan. Demokrasi
dianggap sebagai jalan yang paling baik dalam mewujudkan cita-cita politik.
Bila tidak melalui cara demokrasi, lantas menggunakan apa?
Mereka juga mempertanyakan langkah
HT(I) untuk menegakkan syariah dan Khilafah melalui apa yang disebut thalabun-nushrah
(mencari pertolongan) dari ahlun-nushrah yang tidak lain adalah ahlul-quwwah
(pemilik kekuatan) baik dari kalangan penguasa ataupun militer. Dalam pikiran
mereka, kekuasan itu harus direbut baik dengan cara damai melalui jalan
demokrasi maupun jalan kekerasan melalui perjuangan militer. Kata mereka, tidak
pernah ada fakta bahwa kekuasaan bisa diraih melalui thalabun-nushrah
seperti yang diteorikan oleh HT.
++++
Harus diakui, demokrasi kini telah
menjadi sistem politik yang paling banyak dianut di dunia. Hampir semua negara,
termasuk negeri-negeri Muslim sejak runtuhnya Kekhilafahan Utsmani pada 1924,
menganut sistem politik ini. Namun, penerimaan Dunia Islam terhadap demokrasi
tidaklah mulus. Bila diringkas, ada tiga kelompok sikap. Pertama: yang
mengatakan tidak ada masalah dengan demokrasi. Islam bukan saja menerima
ajaran demokrasi, bahkan Islam adalah agama yang sangat demokratis seperti
tampak pada anjuran untuk bermusyawarah dan sebagainya. Kedua: pandangan
yang menolak sama sekali demokrasi. Sebagai anak kandung sekularisme, demokrasi
bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan Islam. Ketiga: yang
mengatakan bahwa demokrasi memang bukan ajaran Islam, tetapi Islam bisa
memberikan nilai-nilai dalam demokrasi. Demokrasi juga bisa dijadikan sarana
untuk mencapai tujuan politik Islam. Dari kalangan mereka muncul istilah
demokrasi islami.
Bila tujuannya sekadar meraih
kekuasaan, Pemilu memang adalah cara yang paling logis. Namun, bila tujuannya
adalah lahirnya perubahan mendasar pada sistem dan rezim, maka fakta
membuktikan justru cara-cara konvensional yang dilakukan selama ini telah gagal
menghasilkan perubahan yang diinginkan. Lihatlah, tumbangnya rezim Orde Baru
tidak terjadi melalui Pemilu meski telah diadakan berulang-ulang selama 30
tahun. Perubahan besar baru terjadi melalui gerakan reformasi yang berlangsung
hanya beberapa bulan. Namun, karena reformasi juga tidak dimaksudkan bagi
terjadinya perubahan sistem secara mendasar, maka keadaan pasca reformasi juga
tidak banyak mengalami perubahan. Bila sebelum reformasi tatanan negeri ini
bersifat sekularistik, setelah reformasi juga masih tetap sekular. Bahkan
banyak pihak menilai keadaan sekarang lebih buruk daripada sebelumnya. Korupsi
meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi makin tak
terkendali, dan jumlah orang miskin makin meninggi.
Bukan hanya di Indonesia, perubahan
besar yang terjadi di negeri-negeri Muslim di Timur Tengah juga terjadi melalui
jalan bukan demokrasi. Gelombang Revolusi Arab atau Arab Spring
telah mengakhiri puluhan tahun kekuasaan para diktator di sana. Meski demikian,
harus diakui bahwa revolusi itu, termasuk revolusi militer di sana, belumlah
mampu memberi jalan bagi tegaknya syariah dan Khilafah di wilayah itu. Namun,
revolusi di Syria boleh disebut sebagai sebuah perkecualian. Bila tidak ada
kekuatan besar yang menghadang, tegaknya Khilafah di sana tampaknya hanya soal
waktu. Kalau begitu, bukankah benar bahwa syariah dan Khilafah bukan
tegak melalui jalan thalabun-nushrah?
++++
Sikap yang demikian mengagungkan
demokrasi dan menafikan cara Islam dalam perjuangan jelas menunjukkan
kelemahan, sekaligus ketidakberdayaan umat Islam akibat telah lama masuk pada
apa yang disebut jebakan intelektual (intelectual trap) dan jebakan
politik (political trap). Padahal sesungguhnya masih ada jalan lain. Itu
yang kita sebut sebagai thariqah dakwah Rasulullah saw.. Inilah metode
perjuangan yang dituntunkan oleh Rasulullah saw., dan insya Allah SWT akan bisa
mengantarkan pada perwujudan cita-cita politik Islam yang hakiki, yakni
tegaknya kembali syariah dan Khilafah.
Kita tahu, perjuangan Rasulullah
Muhammad saw. dalam mengubah dunia di mulai di Makkah, dan berbuah setelah
hijrah ke Madinah. Fase ini tidak mungkin terjadi bila Rasul tidak
menempuh fase pengkaderan dan pembinaan di Makkah yang memang memakan waktu
cukup lama, yaitu 13 tahun. Waktu sepanjang itu diperlukan untuk menanamkan fikrah
Islam di tengah masyarakat. Setelah hijrah ke Madinah, dakwah Rasul mencapai
perkembangan luar biasa. Orang-orang kemudian berbondong-bondong masuk Islam.
Dari sana, dimulailah era kejayaan Islam.
Kemenangan perjuangan Rasulullah itu
tidak bisa dilepaskan dari usaha untuk meminta pertolongan (thalabun-nushrah)
yang beliau lakukan pada tahun ke-8 kenabian, khususnya setelah wafatnya paman
Nabi saw., Abu Thalib, dan istri tercintanya, Khadijah ra., serta semakin
meningkatnya gangguan dari kaum Quraisy. Itu terjadi di penghujung fase kedua
dalam thariqah (metode) dakwah Rasulullah saw., yaitu fase interaksi
dengan masyarakat (at-tafa’ul ma’a al-ummah). Thalabun-nushrah ditempuh
guna mendapatkan perlindungan bagi dakwah dan jalan meraih kekuasaan (istilam
al-hukmi) bagi penerapan syariah. Dalam usahanya itu, Ibnu Saad dalam
kitabnya At-Thabaqat, sebagaimana ditulis Ahmad al-Mahmud dalam kitab Ad-Da’wah
ila al-Islam, menyebutkan Rasulullah saw. mendatangi tak kurang 15 kabilah;
di antaranya Kabilah Kindah, Hanifah, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Kalb, Bakar
bin Wail, Hamdan, dan lain-lain. Kepada setiap kabilah, Rasulullah saw.
mengajak masuk Islam sebelum meminta nushrah dari mereka.
Meski berulang ditolak, Rasulullah saw.
tetap saja terus meminta. Rasulullah saw. tidak berusaha mengganti dengan
metode lain. Fakta ini merupakan qarinah (indikasi) yang jazim
(tegas) bahwa thalabun-nushrah merupakan perintah Allah SWT, bukan
inisiatif Rasulullah saw. sendiri atau sekadar tuntutan keadaan. Setelah sekian
lama berusaha, pada tahun ke-12 kenabian, akhirnya Rasulullah berhasil
mendapatkan nushrah dari kaum Anshar. Kaum yang telah dibina sebelumnya
itu menyerahkan kekuasaan mereka di Madinah kepada Rasulullah saw.. Jadi, thalabun-nushrah
adalah metode yang paling sahih dalam usaha meraih kekuasaan, karena hal ini
ditunjukkan secara nyata oleh Baginda Rasulullah saw. dalam perjuangannya.
Harus diingat, thalabun nushrah
adalah aktivitas politik, bukan aktivitas militer, juga bukanlah kudeta militer.
Aktivitas militer hanyalah salah satu cara (uslub)—bukan satu-satunya
cara—yang bisa dilakukan oleh ahlun-nushrah. Adapun eknis peralihan
kekuasaan bergantung sepenuhnya kepada ahlun-nushrah. Bisa melalui jalan
damai, sebagaimana dilakukan oleh kaum Anshar saat menyerahkan kekuasaannya di
Madinah kepada Rasulullah saw., tetapi bisa juga melalui aktivitas
militer. Semua bergantung pada ahlun-nushrah.
Itu pula yang saat ini terjadi di
Syria. Proses-proses thalabun-nusrah diyakini tengah berlangsung di sana.
Detilnya seperti apa, tentu kita tidak tahu, karena aktivitas mencari
pertolongan dilakukan secara tertutup. Namun, sejauh yang diekspos media,
komitmen para pimpinan mujahidin yang potensial menjadi ahlul-quwwah
untuk perjuangan Islam sangatlah kuat. Hal itu terlihat dari syiar-syiar yang
didengungkan, ikrar, dan bahkan sumpah yang mereka lakukan untuk tetap teguh
berjuang bagi tegaknya syariah dan Khilafah di Syria, serta penolakan mereka
terhadap intervensi Barat dan ide negara demokrasi.
Maka dari itu benar, bila tidak ada
kekuatan besar yang menghadang, tegaknya syariah dan Khilafah di sana
agaknya hanya soal waktu. Ketika itulah semua yang diteorikan HT tentang jalan
menuju Khilafah, yang sesungguhnya semata diambil dari thariqah dakwah
Rasulullah, bakal terbukti. Nashr[un] minalLah wa fath[un] qarib. Insya
Allah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar