Minggu, 13 Oktober 2013

Renungan Idul Adha 1434 H: Ketaatan dan Pengorbanan untuk Perubahan Besar Dunia Menuju Khilafah

[Al-Islam 675] Beberapa hari lagi, umat Islam di seluruh penjuru dunia bersama-sama menggemakan pujian atas kebesaran Allah SWT. Lebih dari 1,57 milyar kaum Muslimin di seluruh dunia mengagungkan asma Allah SWT melalui takbir, tahlil, dan tahmid.
Semua prosesi ‘Idul Adha mengingatkan kita kepada peristiwa agung pengorbanan Nabi Ibrahim AS dalam menaati perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Allah SWT melukiskannya kapada kita dalam firman-Nya:

﴿ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
“Maka tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (TQS. ash-Shaffat [37]: 102).

Terhadap perintah itu, Nabi Ibrahim mengedepankan kecintaan yang tinggi yakni kecintaan kepada Allah SWT dan menyingkirkan kecintaan yang rendah, yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia.

Perintah amat berat itu pun disambut oleh Ismail As dengan penuh kesabaran. Ismail pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:

﴿ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Wahai Ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (TQS. ash-Shaffat [37]: 102)

Kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS tersebut seharusnya menjadi teladan bagi kita sekarang. Tidak hanya teladan dalam pelaksanaan ibadah haji dan ibadah qurban, namun juga teladan dalam berjuang dan berkorban demi terwujudnya ketaatan kepada hukum-hukum Allah SWT secara kaffah. Sungguh, kini banyak hukum Allah SWT yang diabaikan, khususnya syariah Islam yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan sebagainya.

Belum diamalkannya syariah Islam secara kaffah untuk mengatur kehidupan ini, adalah penyebab kehidupan kaum Muslimin terpuruk dan terjajah. Saudara-saudara kita di Suriah, Mesir, Palestina, Iraq, Afghanistan, Xinjiang, Chechnya, Rohingya, Thailand Selatan, Filipina Selatan dan lainnya, dijajah, disiksa, dibantai dan banyak yang diusir dari negerinya, tanpa ada yang melindungi dan membelanya.

Sementara di Indonesia, rakyat terus terhimpit kemiskinan, harga-harga kebutuhan pokok terus membumbung tinggi, pendidikan mahal tapi kualitasnya rendah, kekayaan alam kita dikeruk oleh korporasi asing, layanan kesehatan makin mahal, budaya kufur seperti Miss World semakin marak, korupsi dan sejenisnya kian merajalela bahkan ketua MK, lembaga yang dianggap benteng, penjaga pilar-pilar negara juga tak luput, dan sebagainya.

Pangkal keterpurukan ini adalah penyimpangan terhadap aturan Allah SWT. Ini karena kaum Muslim berpaling dari al-Quran. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah SWT dalam QS. Thaha 124:

﴿ وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى ﴾
“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta…”.

Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah: menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, V/323).

Penghidupan yang sempit itu selain di akhirat juga mencakup penghidupan yang sempit di dunia. Penghidupan yang sempit itu di antaranya bentuknya adalah kehidupan yang semakin melarat, miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya, tertindas dan sebagainya, sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri Muslim sekarang.

Kondisi tersebut tak boleh dibiarkan dan didiamkan. Umat Islam harus bangkit dan siap berjuang untuk mewujudkan perubahan besar dunia menuju penerapan syariah Islam secara kaffah, sebagaimana yang diinginkan oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam QS. al-Baqarah: 208:

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian menuruti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.

Untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan, baik individu, masyarakat, dan negara, dibutuhkan institusi yang mewadahinya. Institusi tersebut tidak lain adalah Khilafah Islamiyah yang berfungsi sebagai munaffidzah al-syarî’ah atau pelaksana syariah. Hanya dengan Khilafah, Islam dapat ditegakkan secara sempurna dan hukum-hukumnya dapat ditegakkan secara menyeluruh. Inilah yang hilang dari dunia Islam karena Khilafah diruntuhkan pada tahun 1924 sehingga semua hukum Islam ditelantarkan hingga sekarang.

Khilafah tersebut juga berfungsi sebagai penjaga (hârisatun) bagi kaum Muslimin, baik agama, darah, harta, maupun kehormatan mereka. Rasulullah Saw bersabda:

« وَإِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ »
Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai, di belakangnya orang-orang berperang, dan kepadanya orang-orang mencari perlindungan (HR. Bukhari-Muslim).

Kata Imam dalam hadits ini maksudnya adalah Khalifah. Imam an-Nawawi menyatakan, hadist itu bermakna bahwa Imam/Khalifah merupakan benteng/tameng karena ia melindungi rakyat dari serangan musuh terhadap kaum Muslimin, memelihara hubungan kaum Muslimin satu sama lain dan menjaga kekayaan kaum Muslimin.

Urgensi negara sebagai penjaga bagi umat ini juga ditegaskan oleh al-Imam al-Ghazali. Di dalam buku beliau al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd pada bagian muqadimah kedua, yaitu bahwa dunia dan keamanan atas jiwa dan harta tidak bisa diatur kecuali dengan kekuasaan yang ditaati … Beliau mengatakan:

وَلِهَذَا قِيْلَ: اَلدِّيْنُ وَالسُّلْطَانُ تَوْأَمَانِ، وَلِهَذَا قِيْلَ: اَلدِّيْنُ أُسٌّ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لاَ أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ . (الاقتصاد في الاعتقاد)
karena itu dikatakan, agama dan kekuasaan itu ibarat saudara kembar, dan karena itu dikatakan: agama adalah pondasi; sedangkan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi akan roboh, dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang.

Dengan alasan yang serupa, dan setelah mengutip ungkapan tersebut, imam al-Amidi dalam bukunya Ghâyah al-Marâm lantas mengatakan, “Maka mengangkat seorang imam (yakni khalifah) termasuk kemaslahatan paling penting untuk kaum muslimin dan pilar paling agung untuk agama, dan hal itu menjadi wajib, sebab telah diketahui dengan wahyu bahwa yang demikian adalah maksud dari syara’ dan bukan perkara yang mungkin dikatakan kewajibannya secara akal semata”.

Karena merupakan kewajiban, benteng penjaga umat dan Islam, merupakan kemaslahatan terpenting kaum Muslimin dan pilar paling agung untuk agama, maka mewujudkan negara yakni al-Khilafah yang menerapkan syariah secara kaffah harus menjadi agenda utama dan vital layaknya perkara hidup dan mati.

Rasulullah SAW dan para shahabatnya telah menjadikan perjuangan dakwah untuk menerapkan syariah dalam naungan Daulah Islam Madinah sebagai perkara hidup dan mati. Beliau Saw menegaskan bahwa tidak akan mundur selangkahpun hingga kemenangan itu datang atau binasa dalam perjuangan. Rasulullah bersabda:

«وَاَللّهِ لَوْ وَضَعُوا الشّمْسَ فِي يَمِينِي، وَالْقَمَرَ فِي يَسَارِي عَلَى أَنْ أَتْرُكَ هَذَا الأَمْرَ حَتّى يُظْهِرَهُ اللّهُ أَوْ أَهْلِكَ فِيهِ مَا تَرَكْتُهُ»
“Demi Allah, andai saja mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, (lalu mereka minta) agar aku meninggalkan urusan (agama) ini, maka demi Allah, sampai urusan (agama) itu dimenangkan oleh Allah, atau aku binasa di jalannya, aku tetap tidak akan meninggalkannya.” (HR. Ibn Hisyam)

Karenanya wajib bagi kita kaum Muslimin untuk terus-menerus berjuang guna menerapkan syariah Islam dengan menegakkan Khilafah, sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentu saja dengan menanggung segala risiko hingga kita dimenangkan oleh Allah SWT atau kita binasa karenanya.

Memang perubahan besar dunia menuju tegaknya Khilafah tersebut tidak mudah, namun memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang besar dari segenap kaum Muslimin. Dengan pengorbanan itu, insya Allah perjuangan yang sekilas tampak sulit itu akan menemukan hasilnya dalam waktu yang tidak lama lagi. Sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah SWT:

﴿ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴾
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka —sesudah mereka berada dalam ketakutan— menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun. Siapa saja yang kafir sesudah janji itu, mereka itulah orang-orang yang fasik”(QS. an-Nur [24]: 55)

Semoga Allah SWT memberi kita kesabaran dan keikhlasan, serta menguatkan kita untuk berperan penting dalam upaya melakukan perubahan besar dunia menuju tegaknya Khilafah Islamiyah. Amin. Wallâh a’lam bi ash-shawâb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar