Kamis, 24 Oktober 2013

Gurita Dinasti Politik, “Gurita Persekongkolan”

[Al-Islam edisi 677] Penangkapan adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chairi Wardana, yang biasa dipanggil Wawan oleh KPK, akhirnya menjadi gerbang terungkapnya gurita politik dinasti. Politik dan kekuasaan di propinsi Banten menjadi contoh nyata kuatnya gurita politik dinasti di alam demokrasi. Separuh dari 8 kota atau kabupaten di Propinsi Banten dikuasai keluarga besar Chasan Sochib, ayah Ratu Atut, Gubernur Banten sekarang. Anggota keluarga besar ini menduduki berbagai jabatan baik di DPRD I, DPRD II, jabatan eksekutif mulai Gubernur, walikota atau wakilnya, bupati atau wakilnya dan jabatan-jabatan struktural di pemerintahan lainnya.

Gurita Politik Demokratis

Gurita politik dinasti bukan hanya terjadi di Banten. Kemendagri mengidentifikasi banyak kepala daerah yang terlibat dalam politik dinasti. Totalnya, ada 60 kepala daerah dan calon kepala daerah yang terlibat. Mulai dari saudara kandung, anak, ipar, ibu tiri bahkan hingga istri pertama dan kedua dibawa-bawa dalam lingkaran kekuasaan di sejumlah daerah tersebut.

Penangkapan Wawan dan tereksposnya dinasti politik di Banten membuat banyak pihak kembali mengkritik dinasti politik. Namun, tidak sedikit yang “membela” politik dinasti. Menurut mereka, tidak ada masalah dengan politik dinasti. Toh itu semua terjadi melalui mekanisme demokratis. Sebab mereka adalah pilihan rakyat, dipilih melalui pilkada langsung. Jadi keberadaan dinasti politik merupakan pilihan rakyat. Dan di alam demokrasi, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Sebagian lagi menganggap, dinasti politik adalah hal wajar untuk menguntungkan sebuah partai politik. Menurut pemimpin salah satu partai, dinasti politik sah saja, asal tidak ditempuh dengan cara curang atau rekayasa.

Di sisi lain, politik kekerabatan yang dulu dikenal dengan istilah nepotisme itu juga dikecam banyak pihak. Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy menyebut politik dinasti adalah kemunafikan. Rezim Soeharto pun ditumbangkan karena tudingan praktek KKN. Tetapi di jaman reformasi parpol dan elit politisi justru mempraktekkan nepotisme.

Politik dinasti dianggap bertentangan dengan semangat reformasi. Meski berpolitik adalah hak setiap orang, akan tetapi praktek politik dinasti berdampak buruk. Politik dinasti akan menumbuhkan oligarki politik, serta tidak sehat bagi upaya regenerasi kepemimpinan politik. Kekuasaan hanya dikuasai oleh beberapa orang yang berasal dari satu keluarga, tanpa memberikan ruang kepada pihak lain untuk ikut berpartisipasi.

Alasan terpilih melalui mekanisme demokrasi dan merupakan pilihan rakyat justru menegaskan kegagalan politik demokrasi. Alasan itu seolah melemparkan kesalahan politik dinasti itu kepada rakyat. Seolah mengatakan, salah rakyat sendiri kenapa memilih mereka.

Yang harus diingat, dalam proses pemilihan penguasa meski secara langsung dalam pilkada, rakyat sebenarnya tidak punya pilihan bebas. Pemilihan oleh rakyat itu hanya dijadikan stempel. Sebab, hakikatnya rakyat hanya disuruh memilih orang-orang yang sudah ditentukan oleh Partai. Bahkan jika pun rakyat memutuskan tidak memilih calon yang disodorkan, berapapun besarnya suara mereka, toh tidak dianggap. Faktanya, mayoritas pilkada dimenangkan oleh golput, tapi suara mereka diabaikan. Bahkan seandainya suara golput itu mencapai 80% sekalipun, siapa saja yang terpilih tetap dianggap sah secara demokratis. Jadi penentu sebenarnya bukanlah rakyat tetapi partai, dan rakyat hanya dijadikan pemberi tempel. Maka berkembangnya politik dinasti dan banyaknya kepala daerah dan wakilnya yang terjerat korupsi dan penyelewengan kekuasaan, sebenarnya menegaskan kegagalan partai dalam menghasilkan kader-kader yang baik dan tidak mampu melakukan seleksi menghasilkan pemimpin yang baik. Semua itu sekaligus mencerminkan kerusakan dan kebobrokan partai-partai yang ada.

“Gurita Persekongkolan”

Gurita politik terjadi untuk mempertahankan kekuasaan agar tidak keluar dari link mereka. Selanjutnya kekuasaan itu dijadikan alat untuk mengamankan diri dan kepentingan. Kekuasaan itu juga menjadi alat ampuh untuk motiv uang. Bahkan penggunaan kekuasaan untuk motiv uang ini hampir tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan di dalam demokrasi sekarang. Jika bukan untuk menumpuk kekayaan, maka yang hampir bisa dipastikan adalah untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan selama proses politik sebelumnya dan mengumpulkan biaya bagi proses politik ke depan, selain untuk balas budi kepada para cukong yang secara langsung maupun tidak langsung, memodali proses politik yang dijalani. Maka gurita kekuasan dan jabatan yang diantaranya melalui politik dinasti itu pun menjelma menjadi “gurita persekongkolan”.

Semua itu sebenarnya bisa dikatakan sudah menjadi rahasia umum. Rahasia umum itulah yang mendapatkan fakta riil dari kasus gurita politik di Banten. Hal yang sama agaknya terjadi di banyak daerah, termasuk daerah yang tidak diidentifikasi terjadi politik dinasti di situ. Hanya barangkali apa yang terjadi di Banten termasuk yang paling menonjol. Betapa tidak, Sang ‘Ratu’ beserta kerabatnya ditengarai menguasai 175 proyek di Provinsi Banten dalam rentang waktu 2011-2013 dengan total nilai Rp 1,148 triliun. Berdasarkan penelusuran ICW dan Masyarakat Transparansi Anggaran (Mata) Banten, 175 proyek tersebut dikuasai 10 perusahaan keluarga Atut dan 24 perusahaan yang berafiliasi dengan keluarga Atut. Layaknya arisan keluarga, pemenang proyek itu digilir baik dari 10 perusahaan keluarga Atut maupun 24 perusahaan yang berafiliasi itu.

Solusinya: Terapkan Sistem Islam

Salah satu pangkal soal politik dinasti dalam sistem demokrasi adalah dijadikannya partai sebagai jalan utama untuk kekuasaan dan menjadi pihak yang menentukan pemimpin dan penguasa. Ini berbeda dengan Islam. Meski Islam tidak menghalangi partai dijadikan jalan untuk meraih kekuasaan, namun secara mendasar Islam menetapkan fungsi Partai bukan untuk itu. Islam menetapkan, fungsi pokok partai adalah mendakwahkan Islam, amar makruf dan nahi mungkar (QS Ali Imran [3]: 110), termasuk di dalamnya mengoreksi penguasa.

Dari sisi penentuan penguasa daerah baik wali (gubernur) atau ‘amil (penguasa setingkat kabupaten/kota), Islam memiliki sistem yang sangat berbeda dengan demokrasi. Dalam demokrasi penentu penguasa adalah partai dan rakyat hanya pemberi stempel, . Bahkan rakyat tidak berdaya menghentikan penguasa yang dalam pandangan rakyat buruk, kecuali melalui mekanisme periodik yang namanya pemilu.

Dalam Islam, wali atau ‘amil tidak dipilih oleh rakyat baik secara langsung atau tidak langsung. Wali dan ‘amil diangkat oleh khalifah. Sebab hanya Rasul saw saja sebagai kepala negara, yang menunjuk wali dan ‘amil.

Meski tidak dipilih rakyat, tetapi rakyat menentukan keberlanjutan jabatan wali dan ‘amil itu. Jika rakyat, baik secara langsung atau melalui wakilnya, menunjukkan ketidaksukaan terhadap wali dan ‘amil serta meminta diganti, maka khalifah atau kepala negara harus mengganti wali dan ‘amil itu. Hal itu seperti yang terjadi ketika penduduk Bahrain mengadukan ‘Ala` bin al-Hadhrami yang diangkat Rasul menjadi wali Bahrain, maka Rasul pun langsung memberhentikannya dan menggantinya dengan pejabat baru yang diridhai rakyat. Dengan sistem demikian, maka tidak perlu biaya yang karenanya meminimalkan peluang terjadinya gurita persekongkolan demi mengembalikan biaya politik atau untuk memupuk modal proses politik berikutnya. Selain itu, rakyat akhirnya benar-benar bisa menjamin kelangsungan wali dan ‘amil yang terus memperhatikan urusan rakyat dan berlaku baik terhadap rakyat. Dengan mekanisme demikian, apakah wali dan ‘amil itu kerabat atau orang dekat khalifah atau bukan, tidak jadi masalah. Sebab mekanisme seperti itu akan memberikan jaminan yang lebih bagi terealisasinya penguasa daerah yang terus peduli dan memperhatikan rakyat, sekaligus bersih dan berlaku baik kepada rakyat.

Sementara itu untuk pejabat di bawah penguasa, baik direktur direktorat, kepala dinas, kepala kantor dan para pejabat dan pegawai, maka penunjukkannya harus tetap mengedepankan keamanahan, kapabilitas, kemampuan, profesionalisme dan etos. Dalam Islam jabatan adalah amanah, dan jika diserahkan kepada orang yang tidak layak,itu adalah satu bentuk pengkhianatan terhadap amanah dan akan mengakibatkan kerusakan. Rasul saw bersabda:

« إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ » . قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ « إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ »

“Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah saat-saat kehancuran”. Orang arab baduwi itu berkata : “Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Beliau bersabda: “Apabila urusan disandarkan (diserahkan/dipercayakan) kepada selain ahlinya, maka tunggulah saat-saat kehancuran” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Para penguasa, pejabat dan pegawai dijauhkan dari korupsi dan penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri atau orang lain oleh serangkaian hukum Islam terkait. Diantaranya, pencatatan kekayaan, audit secara berkala, kewajiban membuktikan perolehan yang sah jika jumlah harta tidak wajar, penyitaan harta yang tidak bisa dibuktikan perolehan sahnya baik disita sebagian atau seluruhnya dan penerapan sanksi bagi yang terbukti korupsi dan semacamnya.


Wahai Kaum Muslimin
Gurita politik akan bisa dihalangi dengan penerapan sistem Islam secara totalitas. Jika pun ada kedekatan dan kekerabatan diantara pejabat dan aparatur negara, maka sistem Islam akan menghalanginya menjadi negatif sehingga tetap membawa kebaikan bagi umat. Namun semua kebaikan dari sistem Islam hanya bisa dirasakan oleh umat jika sistem Islam yakni syariah Islam diterapkan secara riil. Itulah yang menjadi tugas dan tanggungjawab kita untuk mewujudkannya sesegera mungkin. Wallâh a’lam bi ash-shawâb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar