[Al-Islam edisi 677] Penangkapan adik Gubernur Banten Ratu Atut 
Chosiyah, Tubagus Chairi Wardana, yang biasa dipanggil Wawan oleh KPK, 
akhirnya menjadi gerbang terungkapnya gurita politik dinasti. Politik 
dan kekuasaan di propinsi Banten menjadi contoh nyata kuatnya gurita 
politik dinasti di alam demokrasi. 
Separuh dari 8 kota atau kabupaten di Propinsi Banten dikuasai keluarga 
besar Chasan Sochib, ayah Ratu Atut, Gubernur Banten sekarang. Anggota 
keluarga besar ini menduduki berbagai jabatan baik di DPRD I, DPRD II, 
jabatan eksekutif mulai Gubernur, walikota atau wakilnya, bupati atau 
wakilnya dan jabatan-jabatan struktural di pemerintahan lainnya.
 
 Gurita Politik Demokratis
 
 Gurita politik dinasti bukan hanya terjadi di Banten. Kemendagri 
mengidentifikasi banyak kepala daerah yang terlibat dalam politik 
dinasti. Totalnya, ada 60 kepala daerah dan calon kepala daerah yang 
terlibat. Mulai dari saudara kandung, anak, ipar, ibu tiri bahkan hingga
 istri pertama dan kedua dibawa-bawa dalam lingkaran kekuasaan di 
sejumlah daerah tersebut.
 
 Penangkapan Wawan dan tereksposnya 
dinasti politik di Banten membuat banyak pihak kembali mengkritik 
dinasti politik. Namun, tidak sedikit yang “membela” politik dinasti. 
Menurut mereka, tidak ada masalah dengan politik dinasti. Toh itu semua 
terjadi melalui mekanisme demokratis. Sebab mereka adalah pilihan 
rakyat, dipilih melalui pilkada langsung. Jadi keberadaan dinasti 
politik merupakan pilihan rakyat. Dan di alam demokrasi, kedaulatan 
tertinggi ada di tangan rakyat. Sebagian lagi menganggap, dinasti 
politik adalah hal wajar untuk menguntungkan sebuah partai politik. 
Menurut pemimpin salah satu partai, dinasti politik sah saja, asal tidak
 ditempuh dengan cara curang atau rekayasa.
 
 Di sisi lain, 
politik kekerabatan yang dulu dikenal dengan istilah nepotisme itu juga 
dikecam banyak pihak. Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy 
menyebut politik dinasti adalah kemunafikan. Rezim Soeharto pun 
ditumbangkan karena tudingan praktek KKN. Tetapi di jaman reformasi 
parpol dan elit politisi justru mempraktekkan nepotisme.
 
 
Politik dinasti dianggap bertentangan dengan semangat reformasi. Meski 
berpolitik adalah hak setiap orang, akan tetapi praktek politik dinasti 
berdampak buruk. Politik dinasti akan menumbuhkan oligarki politik, 
serta tidak sehat bagi upaya regenerasi kepemimpinan politik. Kekuasaan 
hanya dikuasai oleh beberapa orang yang berasal dari satu keluarga, 
tanpa memberikan ruang kepada pihak lain untuk ikut berpartisipasi.
 
 Alasan terpilih melalui mekanisme demokrasi dan merupakan pilihan 
rakyat justru menegaskan kegagalan politik demokrasi. Alasan itu seolah 
melemparkan kesalahan politik dinasti itu kepada rakyat. Seolah 
mengatakan, salah rakyat sendiri kenapa memilih mereka.
 
 Yang 
harus diingat, dalam proses pemilihan penguasa meski secara langsung 
dalam pilkada, rakyat sebenarnya tidak punya pilihan bebas. Pemilihan 
oleh rakyat itu hanya dijadikan stempel. Sebab, hakikatnya rakyat hanya 
disuruh memilih orang-orang yang sudah ditentukan oleh Partai. Bahkan 
jika pun rakyat memutuskan tidak memilih calon yang disodorkan, 
berapapun besarnya suara mereka, toh tidak dianggap. Faktanya, mayoritas
 pilkada dimenangkan oleh golput, tapi suara mereka diabaikan. Bahkan 
seandainya suara golput itu mencapai 80% sekalipun, siapa saja yang 
terpilih tetap dianggap sah secara demokratis. Jadi penentu sebenarnya 
bukanlah rakyat tetapi partai, dan rakyat hanya dijadikan pemberi 
tempel. Maka berkembangnya politik dinasti dan banyaknya kepala daerah 
dan wakilnya yang terjerat korupsi dan penyelewengan kekuasaan, 
sebenarnya menegaskan kegagalan partai dalam menghasilkan kader-kader 
yang baik dan tidak mampu melakukan seleksi menghasilkan pemimpin yang 
baik. Semua itu sekaligus mencerminkan kerusakan dan kebobrokan 
partai-partai yang ada.
 
 “Gurita Persekongkolan”
 
 Gurita
 politik terjadi untuk mempertahankan kekuasaan agar tidak keluar dari 
link mereka. Selanjutnya kekuasaan itu dijadikan alat untuk mengamankan 
diri dan kepentingan. Kekuasaan itu juga menjadi alat ampuh untuk motiv 
uang. Bahkan penggunaan kekuasaan untuk motiv uang ini hampir tidak bisa
 dilepaskan dari kekuasaan di dalam demokrasi sekarang. Jika bukan untuk
 menumpuk kekayaan, maka yang hampir bisa dipastikan adalah untuk 
mengembalikan modal yang dikeluarkan selama proses politik sebelumnya 
dan mengumpulkan biaya bagi proses politik ke depan, selain untuk balas 
budi kepada para cukong yang secara langsung maupun tidak langsung, 
memodali proses politik yang dijalani. Maka gurita kekuasan dan jabatan 
yang diantaranya melalui politik dinasti itu pun menjelma menjadi 
“gurita persekongkolan”.
 
 Semua itu sebenarnya bisa dikatakan 
sudah menjadi rahasia umum. Rahasia umum itulah yang mendapatkan fakta 
riil dari kasus gurita politik di Banten. Hal yang sama agaknya terjadi 
di banyak daerah, termasuk daerah yang tidak diidentifikasi terjadi 
politik dinasti di situ. Hanya barangkali apa yang terjadi di Banten 
termasuk yang paling menonjol. Betapa tidak, Sang ‘Ratu’ beserta 
kerabatnya ditengarai menguasai 175 proyek di Provinsi Banten dalam 
rentang waktu 2011-2013 dengan total nilai Rp 1,148 triliun. Berdasarkan
 penelusuran ICW dan Masyarakat Transparansi Anggaran (Mata) Banten, 175
 proyek tersebut dikuasai 10 perusahaan keluarga Atut dan 24 perusahaan 
yang berafiliasi dengan keluarga Atut. Layaknya arisan keluarga, 
pemenang proyek itu digilir baik dari 10 perusahaan keluarga Atut maupun
 24 perusahaan yang berafiliasi itu.
 
 Solusinya: Terapkan Sistem Islam
 
 Salah satu pangkal soal politik dinasti dalam sistem demokrasi adalah 
dijadikannya partai sebagai jalan utama untuk kekuasaan dan menjadi 
pihak yang menentukan pemimpin dan penguasa. Ini berbeda dengan Islam. 
Meski Islam tidak menghalangi partai dijadikan jalan untuk meraih 
kekuasaan, namun secara mendasar Islam menetapkan fungsi Partai bukan 
untuk itu. Islam menetapkan, fungsi pokok partai adalah mendakwahkan 
Islam, amar makruf dan nahi mungkar (QS Ali Imran [3]: 110), termasuk di
 dalamnya mengoreksi penguasa.
 
 Dari sisi penentuan penguasa 
daerah baik wali (gubernur) atau ‘amil (penguasa setingkat 
kabupaten/kota), Islam memiliki sistem yang sangat berbeda dengan 
demokrasi. Dalam demokrasi penentu penguasa adalah partai dan rakyat 
hanya pemberi stempel, . Bahkan rakyat tidak berdaya menghentikan 
penguasa yang dalam pandangan rakyat buruk, kecuali melalui mekanisme 
periodik yang namanya pemilu.
 
 Dalam Islam, wali atau ‘amil 
tidak dipilih oleh rakyat baik secara langsung atau tidak langsung. Wali
 dan ‘amil diangkat oleh khalifah. Sebab hanya Rasul saw saja sebagai 
kepala negara, yang menunjuk wali dan ‘amil.
 
 Meski tidak 
dipilih rakyat, tetapi rakyat menentukan keberlanjutan jabatan wali dan 
‘amil itu. Jika rakyat, baik secara langsung atau melalui wakilnya, 
menunjukkan ketidaksukaan terhadap wali dan ‘amil serta meminta diganti,
 maka khalifah atau kepala negara harus mengganti wali dan ‘amil itu. 
Hal itu seperti yang terjadi ketika penduduk Bahrain mengadukan ‘Ala` 
bin al-Hadhrami yang diangkat Rasul menjadi wali Bahrain, maka Rasul pun
 langsung memberhentikannya dan menggantinya dengan pejabat baru yang 
diridhai rakyat. Dengan sistem demikian, maka tidak perlu biaya yang 
karenanya meminimalkan peluang terjadinya gurita persekongkolan demi 
mengembalikan biaya politik atau untuk memupuk modal proses politik 
berikutnya. Selain itu, rakyat akhirnya benar-benar bisa menjamin 
kelangsungan wali dan ‘amil yang terus memperhatikan urusan rakyat dan 
berlaku baik terhadap rakyat. Dengan mekanisme demikian, apakah wali dan
 ‘amil itu kerabat atau orang dekat khalifah atau bukan, tidak jadi 
masalah. Sebab mekanisme seperti itu akan memberikan jaminan yang lebih 
bagi terealisasinya penguasa daerah yang terus peduli dan memperhatikan 
rakyat, sekaligus bersih dan berlaku baik kepada rakyat.
 
 
Sementara itu untuk pejabat di bawah penguasa, baik direktur direktorat,
 kepala dinas, kepala kantor dan para pejabat dan pegawai, maka 
penunjukkannya harus tetap mengedepankan keamanahan, kapabilitas, 
kemampuan, profesionalisme dan etos. Dalam Islam jabatan adalah amanah, 
dan jika diserahkan kepada orang yang tidak layak,itu adalah satu bentuk
 pengkhianatan terhadap amanah dan akan mengakibatkan kerusakan. Rasul 
saw bersabda:
 
 « إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ 
السَّاعَةَ » . قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ « إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ 
إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ »
 
 “Apabila amanah 
telah disia-siakan, maka tunggulah saat-saat kehancuran”. Orang arab 
baduwi itu berkata : “Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Beliau 
bersabda: “Apabila urusan disandarkan (diserahkan/dipercayakan) kepada 
selain ahlinya, maka tunggulah saat-saat kehancuran” (HR. Bukhari dan 
Ahmad)
 
 Para penguasa, pejabat dan pegawai dijauhkan 
dari korupsi dan penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri atau 
orang lain oleh serangkaian hukum Islam terkait. Diantaranya, pencatatan
 kekayaan, audit secara berkala, kewajiban membuktikan perolehan yang 
sah jika jumlah harta tidak wajar, penyitaan harta yang tidak bisa 
dibuktikan perolehan sahnya baik disita sebagian atau seluruhnya dan 
penerapan sanksi bagi yang terbukti korupsi dan semacamnya.
Wahai Kaum Muslimin
Gurita politik akan bisa dihalangi dengan penerapan sistem Islam 
secara totalitas. Jika pun ada kedekatan dan kekerabatan diantara 
pejabat dan aparatur negara, maka sistem Islam akan menghalanginya 
menjadi negatif sehingga tetap membawa kebaikan bagi umat. Namun semua 
kebaikan dari sistem Islam hanya bisa dirasakan oleh umat jika sistem 
Islam yakni syariah Islam diterapkan secara riil. Itulah yang menjadi 
tugas dan tanggungjawab kita untuk mewujudkannya sesegera mungkin. Wallâh a’lam bi ash-shawâb 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar