Sabtu, 20 April 2013

Diskursus Pemberdayaan Ekonomi Pemuda dalam Menyelesaikan Masalah Bangsa


Diskursus Pemberdayaan Ekonomi Pemuda dalam Menyelesaikan Masalah Bangsa

Jika kita lihat potret kemiskinan di Indonesia, sungguh sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak, negeri yang dipenuhi dengan kekayaan sumber daya alamnya, yang di dalam perutnya terkandung berbagai barang tambang berharga seperti tembaga, nikel, emas, batu bara, minyak bumi,dll tapi pada kenyataannya tak membuat rakyatnya sejahtera, karena data BPS tahun 2011 menunjukkan total penduduk miskin di Indonesia mencapai 30.018.930 orang. Itupun dengan ukuran garis kemiskinan Rp. 253.016,-  per bulan bagi penduduk kota, dan Rp. 213.395,- perbulan bagi penduduk desa. Jika dihitung berdasarkan standar kemiskinan Bank Dunia US$ 2 tentu akan jauh lebih tinggi lagi, selain itu 30% penduduknya belum bisa menikmati terangnya cahaya listrik, 1 dari 2 orang kekurangan air bersih. Jumlah pengangguranpun telah mencapai 40 juta orang (25% dari angkatan kerja) dan hebatnya angka pengangguran tertinggi ternyata berada di Provinsi kita tercinta Banten yaitu mencapai 10,74% dari jumlah penduduk.

Dengan melihat sederet permasalahan diatas tersebut, tentu pemerintah tidak tinggal diam, berbagai solusi ditawarkan kepada masyarakat. Dan solusi yang saat ini sangat digencarkan oleh pemerintah adalah pemberdayaan ekonomi pemuda dengan cara menumbuhkan wirausaha-wirausaha baru terutama dari kalangan pemuda. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada acara Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) 2013, bahwa pemerintah akan terus mendorong tumbuhnya wirausaha baru melalui program prowirausaha, koperasi, dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Hal ini tentu sangat perlu untuk diapresiasi, tetapi jika melihat fakta yang ada justru akan membuat kita heran, karena pada kenyataannya ketika disatu sisi Pemerintah ingin menumbuhkan wirausaha baru, tapi disisi lain kebijakan-kebijakan yang ada justru membuat UKM semakin tergilas oleh usaha besar dengan modal raksasa. Sebut saja dengan ditandatanganinya kesepakatan perdagangan bebas ASEAN dengan Cina (CAFTA) yang membuat UKM dengan segala keterbatasannya harus bersaing dengan pengusaha bermodal besar dari dalam negeri dan Cina, selain itu sulitnya mendapatkan bantuan permodalan juga masih menjadi masalah, ketika pun mendapatkan pinjaman tidak ada pantauan dan pembinaan langsung dari pemerintah, naiknya tarif dasar listrik secara terus menerus, penggusuran terhadap pedagang kaki lima, buruknya infrastruktur, dibiarkan dengan bebas berjamurnya pasar-pasar modern disekitar usaha-usaha kecil, dan berbagai kebijakan lainnya yang justru membuat sulit untuk memajukan wirausaha.

Jika kita amati maka hal ini sangat wajar terjadi, karena diakui atau tidak pemerintah kita sedikit demi sedikit telah mengambil dan mengadopsi paham ekonomi neoliberal yang merupakan turunan dari ekonomi Kapitalisme, yang sejatinya akan selalu pro terhadap pemilik modal besar. Lihat saja UU yang selama ini dihasilkan, dari mulai UU PMA pada tahun 1967 yang menurut Kwik Kian Gie, Doctor ekonomi lulusan Rotterdam Belanda menyebutkan bahwa sejak bulan November tahun 1967 Indonesia sesungguhnya sudah menyerahkan dirinya untuk diatur dan dijadikan target penghisapan oleh korporasi Internasional. Para pemimpin kita sendiri itu menuntun korporatokrasi mulai beroperasi di Indonesia atas dasar infrastruktur hukum yang dirancang oleh korporasi-korporasi asing (KoranInternet.com,25/5/2008), selain UU PMA masih ada UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Ketenagalistrikan,UU Minerba, dan masih banyak lagi UU yang mempunyai nafas yang sama yaitu liberalisasi dan eksploitasi SDA Indonesia kepada pemilik modal Asing.Yang membuat seluruh kekayaan alam yang demikian melimpah di negeri ini bukan malah membuat kita sejahtera tapi justru menciptakan sederet potret buram kemiskinan. Inilah bukti bahwa Indonesia sudah benar-benar menganut paham ekonomi Neoliberal-Kapitalisme. Jadi sesungguhnya sistem ekonomi yang ada inilah yang justru menyebabkan kemiskinan secara struktural karena akan selalu berpihak kepada pemilik modal bukan rakyat secara umum. Belum lagi kesalahan dalam menyelesaikan masalah ekonomi yang memandang bahwa permasalahan utama ekonomi adalah produksi, sehingga solusi yang senantiasa diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan produksi, tanpa memperhatikan bagaimana distribusi hingga hasil produksi tersebut bisa dinikmati oleh seluruh rakyat dan kebutuhan tiap-tiap individu rakyat bisa terpenuhi.

Solusi Islam Mengatasi Kemiskinan

Dalam islam memandang masalah ekonomi bukan terkait dengan kelangkaan/scarcity namun masalah ekonomi timbul karena tidak meratanya kekayaan di tengah masyarakat.karena itu asa politik ekonomi daulah khilafah sebagai berikut :
· Individu harus dipandang sebagai orang per orang, yang masing-masing mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi.
· Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, orang per orang secara menyeluruh.

Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Barang (Pangan, Sandang dan Papan)

· Hukum Islam telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) warga negara secara menyeluruh, seperti sandang, pangan dan papan. Caranya dengan mewajibkan bekerja kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya sendiri, berikut kebutuhan orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungannya. Kalau orang tersebut sudah tidak mampu bekerja, maka Islam mewajibkan kepada anak-anaknya serta ahli warisnya untuk memenuhi kebutuhan primernya. Bahkan Islam juga mewajibkan kepada tetangganya yang muslim untuk memenuhi kebutuhan pokok tetangganya. Jika orang-orang yang wajib menanggung nafkahnya tidak ada atau tidak mampu, baru negaralah melalui baitul mal yang wajib memenuhinya.

Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Jasa (Keamanan, Kesehatan Dan Pendidikan)

Keamanan, kesehatan dan pendidikan, adalah tiga hal yang merupakan kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang dan papan), dimana Islam melalui negara menjamin pemenuhannya melalui mekanisme yang bertahap. Maka terhadap pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa yakni keamanan, pendidikan dan kesehatan dipenuhi negara secara langsung kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah pelayanan umat (riĆ¢ayatu asy syu-uun) dan kemaslahatan hidup terpenting. Dalam hal ini, khilafahlah yang berkewajiban mewujudkan pemenuhannya terhadap seluruh rakyat. Islam telah menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin tiga jenis kebutuhan dasar tersebut adalah negara. Negaralah yang harus mewujudkannya, agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun non-muslim, miskin atau kaya. Sedangkan seluruh biaya yang diperlukan, ditanggung oleh Baitul Maal.


[ Muslimah Corner - Edisi April 2013 ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar