Kamis, 30 Januari 2014

Mahalnya Biaya Capres

[Al-Islam edisi 691, 29 Rabiul Awal 1435 H – 31 Januari 2014 M]

Seorang calon presiden butuh dana hingga Rp 3 triliun untuk mengikuti pemilihan presiden di Indonesia. Hal ini karena capres sudah harus bergerak sebelum rangkaian kampanye yang ditetapkan KPU. ”Dana yang dilaporkan ke KPU hanya Rp 300 miliar-Rp 500 miliar. Ini karena penghitungan dimulai sejak tahapan resmi KPU dimulai”, kata Ketua Balitbang Partai Golkar Indra J Piliang di Jakarta, Sabtu (25/1).

Dana triliunan rupiah itu digunakan untuk membiayai perjalanan sosialisasi, relawan, logistik partai, pertemuan dengan ormas, survei, dan iklan. ”Proporsi untuk iklan cukup banyak karena bisa menjangkau seluruh Indonesia. Hanya turun ke lapangan saja tidak akan efektif,” ujar Indra. (kompas.com, 26/1).

Menurut Pengamat politik dari Charta Politika, Arya Fernandes, ada tiga faktor yang membuat biaya capres makin mahal (inilah.com, 26/1). Pertama, adanya perubahan model kampanye dengan pemilihan presiden secara langsung. Menurutnya, perubahan ini membuat biaya politik sangat mahal. Yang diuntungkan orang-orang yang punya duit banyak.

Faktor kedua, munculnya iklan di televisi yang menjadi alat efektif untuk pengaruhi pemilih dan jangkauannya yang luas. Arya mencontohkan, dana kampanye Obama (Presiden AS) setelah 2008, sebanyak 54% habis di iklan. Menurutnya, di 2014 nanti, setengah dana capres juga akan habis di iklan.

Faktor ketiga, pergeseran politik yang makin personal, maka orang makin butuh personal branding (pencitraan personal). Semua itu butuh biaya. Biaya mahal juga dibutuhkan bagi siapa saja yang maju dalam pemilu legislatif.

Mahalnya biaya capres bukan hanya terjadi di negeri ini. Mahalnya biaya menjadi pemimpin bisa jadi merupakan karakteristik sistem politik demokrasi. Di negara yang demokrasinya dianggap lebih maju, biaya pencapresan juga sangat mahal.

Di Amerika Serikat misalnya, menurut Center for Responsive Politic (http://www.opensecrets.org/pres12/) pada pemilu presiden 2012 lalu dana yang dibelanjakan oleh tim kampanye Mitt Romney, calon dari Republik yang kalah mencapai US$ 1,238 miliar atau sekitar Rp 12,38 triliun (1 US$= Rp 10.000). Sementara belanja tim kampanye Obama mencapai US 1,107 miliar dolar atau sekitar Rp 11.07 triliun.

Sementara itu Politico melaporkan bahwa ketua Federal Election Commission Ellen Weintraub mengumumkan belanja pemilu di AS tahun 2012 mencapai US$ 7 miliar. Terdiri dari total belanja kandidat US$ 3,2 miliar, belanja partai US$ 2 miliar dan belanja grup luar (organisasi pendukung) US 2,1 miliar (http://www.motherjones.com/mojo/2013/02/2012-election-cost-7-billion-obama-romney).
Obama pada tahun 2008 membelanjakan US$ 730 juta atau sekitar Rp 7,3 triliun untuk menjadi presiden AS. Jumlah itu dua kali jumlah yang dibelanjakan oleh George Bush pada tahun 2004 dan lebih dari 260 kali yang dibelanjakan Abraham Lincoln pada tahun 1860 (jika dihitung dengan dolar pada tahun 2011).

Biaya besar juga masih tetap dibutuhkan untuk pencapresan di Perancis. Padahal biaya pencapresan di Perancis dianggap sangat murah. Sebab belanja kampanye dibatasi oleh Undang-undang, termasuk tidak boleh ada iklan di televisi dan setiap kandidat diberi dana kampanye oleh negara sebesar 8 juta Euro. Meski demikian, pada tahun 2007 Sarkozy untuk memenangi pemilu dan menjadi presiden harus membelanjakan 21 juta Euro. Sementara lawannya seorang sosialis Ségolène Royal membelanjakan 20 juta Euro (http://www.huffingtonpost.com/sophie-meunier/france-election-laws_b_1438456.html)

Kompensasi
Pertanyaannya, dari mana dana sebesar itu? Dana sebesar itu sebagian bisa berasal dari kantong kandidat sendiri. Sebagian lainnya berasal dari donor, baik perusahaan atau individu, termasuk sumbangan kecil-kecil dari individu.

Ada pepatah, tidak ada makan siang gratis. Semua donasi itu, terutama yang berasal dari perusahaan atau individu kapitalis/pemilik modal, tentu tidak gratis, melainkan harus diberi kompensasi baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hitungan kapitalis, donasi itu merupakan investasi yang harus kembali beserta keuntungan.

Kompensasi kepada para pemodal kampanye itu bisa diberikan secara langsung dalam bentuk proyek-proyek. Karena itulah, kenapa tak jarang terdengar atau terungkap adanya pengaturan proyek untuk pihak-pihak tertentu baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.

Kompensasi juga bisa diberikan secara tidak langsung. Yaitu dengan jalan dibuat kebijakan-kebijakan, peraturan dan undang-undang yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan kapitalis. Contohnya, pemberian berbagai fasilitas fiskal, keringanan pajak, pajak ditanggung negara, pembebasan bea, dan sebagainya. Atau kebijakan pemberian konsesi pengusahaan tambang, hutan, perkebunan dan sebagainya. Dan jika perlu peraturan diubah untuk mengakomodasinya. Bisa juga dalam bentuk peraturan yang membuka jalan bagi investasi kapitalis secara leluasa, seperti berbagai peraturan dan undang-undang liberal misal, UU penanaman modal, UU Migas, UU kelistirikan, UU Minerba, UU pengadaan tanah, UU SJSN dan BPJS, dan sebagainya.

Akibatnya, negara pun menjadi korporatokrasi di mana pemerintahan dan pengaturan negara dilakukan layaknya perusahaan. Hubungan rakyat dengan pemerintah tidak lagi hubungan pelayanan dan ri’ayah, tetapi menjadi seperti hubungan dagang, di mana pemerintah bertindak sebagai pedagang dan rakyat diposisikan sebagai konsumen. Akibat lainnya, kekayaan alam yang semestinya menjadi milik seluruh rakyat akhirnya diserahkan kepada swasta. Keuntungannya lebih banyak untuk kemakmuran para kapitalis. Di sisi lain, berbagai subsidi untuk rakyat pun dikurangi dan jika mungkin dihilangkan. Makin besarnya biaya politik baik untuk capres maupun caleg, maka corak korporatokrasi itu ke depan akan makin kental. Kepentingan rakyat akan makin terpinggirkan.

Konsekuensi
Mahalnya biaya politik menjadi capres dan caleg itu juga akan melahirkan konsekuensi berupa pengembalian modal yang dikeluarkan oleh calon. Jika jalan legal yang ditempuh, maka akan ada pelegalan agar penguasa dan politisi (anggota legislatif) memiliki penghasilan legal yang besar. Setidaknya kecenderungan seperti itu telah berkali-kali tampak. Misalnya dalam berbagai usulan agar gaji anggota legislatif atau gaji pejabat termasuk presiden dinaikkan. Jika pun gaji tidak naik, maka penghasilan yang bisa dibawa ke rumah oleh seorang pejabat akan dibuat sebesar mungkin.

Saat ini, ternyata penghasilan gubernur dan wakil gubernur bisa dibilang sangat besar dan semuanya legal menurut peraturan yang ada. Hal itu bisa seperti yang dirilis oleh LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) tentang pendapatan yang diterima gubernur dan wakil gubernur (wagub) dalam sebulan (http://news.liputan6.com/read/761648/10-gubernur-gaji-tertinggi-jokowi-teratas-riau-terbuncit).

Menurut Knowledge Manager Fitra Hadi Prayitno, penghasilan gubernur dan wagub yang besar, datang dari gaji pokok yang dilipatgandakan. Hal itu sesuai PP Nomor 69 Tahun 2010, dan tunjangan operasional berdasarkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sesuai PP no 109 Tahun 2000. Makin besar PAD, penghasilan gubernur dan wagub akan makin besar. Data FITRA itu menyebutkan diantaranya penghasilan perbulan Gub. DKI Jakarta Rp 1,759 miliar dan Wagub Rp 1,740 miliar; Gubernur Jabar Rp 710,026 juta dan Wagub Rp 691,546 juta; Gubernur Jatim Rp 670,843 juta dan Wagub Rp 655,723 juta. Angka itu adalah angka penghasilan berasal dari gaji, tunjangan dan pendapatan lainnya sesuai peraturan.

Konsekuensi dari mahalnya biaya politik itu, ke depan akan bisa disaksikan dibuatnya peraturan dan UU yang memberikan gaji, tunjangan, fasilitas dan penghasilan yang makin besar untuk penguasa dan anggota legislatif. Para penguasa dan politisi akhirnya tidak lagi berperan sebagaimana seharusnya yaitu sebagai pemelihara dan pelayan umat, tetapi justru menjadi tuan bagi rakyat dan rakyat diposisikan sebagai pelayan. Padahal peran penguasa adalah memelihara dan mengatur urusan-urusan rakyat. Kepentingan dan kelaslahatan rakyat haruslah dikedepankan dan diutamakan, bukan kepentingan pribadi. Rasul saw bersabda:
«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ»
“Dan seorang pemimpin adalah pemelihara kemaslahatan masyarakat dan dia bertanggungjawab atas mereka.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)

Konsekuensi lain dari mahalnya biaya politik itu, adalah terjadinya korupsi, kolusi, manipulasi dan sejenisnya, untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan. Sudah menjadi anekdot bahwa dalam lima tahun menjabat, dua tahun awal untuk mengembalikan modal dan dua tahun terakhir untuk mengumpulkan modal bagi proses politik berikutnya. Dalam Islam hal itu adalah haram dan dilarang keras, bahkan pelakunya diancam tidak akan masuk surga. Rasul saw bersabda:

«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Tidaklah seorang hamba diserahi Allah mengurus urusan rakyat, dia mati dan pada hari kematiannya ia menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan baginya surga (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)

Wahai Kaum Muslimin
Semua itu akan berujung pada terjadi kerusakan akibat kebijakan, peraturan dan perundangan yang bercorak liberal kapitalistik berlandaskan ideologi sekuler. Juga akibat perilaku buruk dan merusak yang dilakukan oleh para penguasa, pejabat dan politisi.

Tidak ada jalan untuk memperbaiki dan menyelamat masyarakat dari semua kerusakan itu kecuali dengan kembali kepada petunjuk dan aturan yang diturunkan oleh Allah yang Maha Bijaksana. Dan itu tidak lain adalah dengan menerapkan syariah secara total di bawah naungan sistem politik yang digariskan oleh Islam yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar