Sabtu, 30 Maret 2013

RUU ORMAS: Pintu Kembalinya Rezim Represif ala Orba!

 

[Al-Islam 150] Mendagri Gamawan Fauzi mengklaim ada 13 Ormas Islam yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) yang mendukung segera disahkannya RUU Ormas termasuk keharusan Ormas mencantumkan asas Pancasila. Ormas-ormas itu yakni NU, Persis, Al-Irsyad Al-Islmiyah, Arrobithoh Al-Alawiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Mathlaul Anwar, Attihadiyah, Azikra, Al-Wasliyah, IKADI, Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan DDII. Mendagri Gamawan Fauzi bahkan mengatakan, “Mereka memberi dukungan penuh agar proses pembahasan dan pengesahan RUU Ormas dipercepat.” (Republika.co.id, 24/3).
Ketua umum DDII (Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia) Syuhada Bahri membantah DDII telah mendukung RUU ORMAS dan punya andil dalam LPOI. Hal senada juga dilontarkan pimpinan Majilis Az- Zikra Ust. Arifin Ilham. Beliau membantah pernyataan Dirjen Kesbangpol, bahwa majlis-nya mendukung RUU ORMAS. Bahkan ia mengatakan, “Saya berkali-kali mengatakan bahwa Syariat Islam adalah harga mati!”(salam-online.com, 25/3).
Banyak sekali Ormas yang menolak RUU Ormas itu, diantaranya Ormas-ormas Islam. Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia (KAMSI) menolak RUU Ormas karena bisa membelenggu kemerdekaan berserikat dan berorganisasi. KAMSI terdiri dari 50 lembaga, 15 tokoh dan 46 lembaga daerah (lihat, antaranews, 28/2). Penolakan serupa juga datang dari Koalisi Perjuangan Hak Sipil dan Buruh (KAPAK), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), IMPARSIAL, PSHK Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), Elsam dan LSM.

Pintu Kembalinya Rezim Represif ala Orba
Jika dicermati RUU Ormas pada perkembangan terakhir, jika disahkan nantinya akan bisa menjadi pintu kembalinya rezim represif ala Orde Baru. Diantaranya karena:

Pertama, Setiap Ormas wajib mencantumkan Pancasila sebagai asas. Mendagri menyebutnya asas utama. Setelah itu Ormas boleh mencantumkan asas ciri masing-masing. Namun yang kedua ini hanyalah opsional atau pilihan. Draft pasal 2: “Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, serta dapat mencantumkan asas lainnya yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.”
Ini merupakan langkah mundur yang akan membuat kehidupan bermasyarakat kembali ke belakang, ke masa lalu. Pasalnya, semangat asas tunggal itu telah ditinggalkan dengan dibatalkannya TAP MPR no. II/1978 tentang P4 oleh TAP MPR no. XVIII/1998. Semangat tidak lagi asas tunggal ini bisa dikatakan salah satu hasil pertama-tama dari reformasi. Jika RUU Ormas ingin kembali menghidupkan semangat asas tunggal, itu merupakan pengkhianatan terhadap reformasi. Juga pengkhianatan dan pelecehan terhadap pengorbanan darah, keringat, tangisan dan harta banyak komponen umat.
Umat Islam tentu tidak lupa betapa pemaksaan asas tunggal kepada umat Islam telah melahirkan hubungan penuh ketegangan dan konflik antara umat Islam dengan pemerintah. Sejumlah ormas Islam dan selain ormas Islam, juga ormas pemuda, dinyatakan terlarang. Tokoh-tokoh umat dipenjarakan oleh rezim Orde Baru karena mempersoalkan asas tunggal. Bahkan rezim asas tunggal menelan korban nyawa, seperti dalam tragedi Tanjung Priok. Apakah RUU ORmas itu ingin lagi semua itu terulang lagi? Dalam konteks ini Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) KH Syuhada Bahri mengatakan, “Karena dulu ketika Pancasila dipaksakan kan sudah menuai korban, masa itu mau diulang lagi?” (mediaumat.com, 25/3).
Rezim Orde baru dahulu menjadikan asas tunggal alat memaksa masyarakat agar ikut keinginan rezim. Mereka yang tidak setuju dengan rezim dengan mudah dicap tidak Pancasilais sementara yang setuju dengan rezim dinilai Pancasilais. Akhirnya asas tunggal memunculkan tindakan kekerasan oleh negara terhadap rakyat dan berbagai ormas. Semua itu memunculkan trauma di tengah masyarakat. Dengan menghidupkan kembali asa tunggal oleh RUU Ormas, trauma-trauma itu sangat boleh jadi akan hidup dan muncul kembali, meski dalam bentuk dan intensitas yang berbeda.
Di sisi lain, pewajiban Ormas berasaskan Pancasila itu sungguh berbeda dengan Partai Politik. Pasal 9 (1) UU no. 2 Th. 2008 menyatakan, “Asas partai politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945”. Jika Parpol yang secara langsung ikut menentukan hitam putihnya politik dan kebijakan negara saja cukup dengan ketentuan seperti itu, tidak harus mencantumkan asas Pancasila dan boleh hanya mencantumkan asas lain asal tidak bertentangan dengan Pancasila, kenapa Ormas yang tidak secara langsung menentukan hitam putih negara tidak seperti itu? Apa salahnya Ormas mesti dipaksa berasas Pancasila? Bagaimana bisa, para legislator berlaku diskriminatif, memaksakan kepada Ormas ketentuan yang tidak diberlakukan kepada diri dan kelompoknya sendiri? Tidak salah jika muncul anggapan RUU Ormas memang untuk membungkam kekritisan Ormas, terutama Ormas Islam?

Kedua, draft RUU Ormas membuat pemerintah sangat berkuasa terhadap Ormas. Definisi Ormas serba mencakup semua kelompok di masyarakat, “Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan Pancasila”. Jadi mencakup semua organisasi di masyarakat (kecuali Parpol dan organisasi sayap Parpol yang dikecualikan pada Pasal 4) bersifat sosial atau nonprofit, asosiasi atau perkumpulan keilmuan/profesi/hobi baik beriuran atau pun tidak, pengajian, paguyuban keluarga, yayasan yang mengelola lembaga pendidikan dan rumah sakit, panti asuhan, dan masih banyak lagi. Itu bisa jadi pasal karet untuk mengontrol semua dinamika di masyarakat. Ditambah lagi, persyaratan administratif untuk mendapatkan surat keterangan terdaftar (SKT) bagi Ormas tidak berbadan hukum bisa dijadikan alat “memaksa” Ormas agar sesuai keinginan pemerintah. Sebab, draft Pasal 61 (6) menyatakan “Ormas dilarang melakukan kegiatan apabila tidak memiliki surat pengesahan badan hukum atau tidak terdaftar pada pemerintah”. Terdaftar pada pemerintah itu buktinya tentu SKT. Artinya, SKT bukan sekadar keterangan terdaftar, tetapi sejatinya adalah surat izin. Itu artinya “silahkan membentuk Ormas dan menjalankan aktivitas sebagai Ormas asal diizinkan oleh Pemerintah”. Itu jelas mengekang kemerdekaan berserikat, berkumpul dan berorganisasi yang katanya dijamin dan merupakan hak asasi. Apalagi semua ormas baik yang berbadan hukum atau tidak berbahan hukum berada dalam pengawasan pemerintah [pasal 54 (3)] yang bentuknya berupa pemantauan dan evaluasi (Pasal 58). Hasilnya tentu akan dijadikan dasar mengambil tindakan terhadap Ormas.

Ketiga, RUU Ormas memuat sejumlah larangan (Pasal 61) yang sifatnya multi tafsir dan tolok ukur serta kriterianya tidak jelas. Larangan Pasal 61 (2) a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras dan golongan. … d. melakukan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum; dan larangan lainnya, apa tolok ukurnya, seperti apa kriterianya, seperti apa tingkatnya, semuanya tidak jelas. Hal itu pada akhirnya bisa dijadikan pasal karet sebab tafsir, tolok ukur dan implementasinya akan tergantung selera aparat dan pemerintah. Juga larangan ayat (3) c. menerima sumbangan berupa uang, barang, atau pun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. Dengan larangan ini, yayasan yatim piatu, yayasan sosial, pembangunan masjid dan sarana sosial, organisasi sosial umumnya dan semua yang tercakup oleh definisi Ormas tidak boleh menerima sumbangan dari orang yang hanya menulis identitasnya “hamba Allah”, dan sebagainya.
Peluang kembalinya rezim represif itu makin kental ketika larangan itu dikaitkan dengan sanksi yang bisa dijatuhkan oleh pemerintah mulai surat peringatan tertulis, penghentian bantuan atau hibah, penghentian sementara kegiatan sampai pencabutan SKT untuk Ormas tidak berbadan hukum atau pembubaran ormas berbadan hukum. Hanya pembubaran Ormas berbadan hukum yang harus berdasarkan putusan pengadilan. Sementara pencabutan SKT, Pemerintah hanya wajib meminta pendapat hukum dari MA. Pencabutan SKT pada dasarnya adalah pelarangan, sebab Ormas yang tidak punya SKT dilarang beraktivitas (Pasal 61 ayat 6).

Wahai Kaum Muslimin!
RUU Ormas itu jika disahkan akan mendatangkan cobaan bagi umat Islam. Karena itu kepada para anggota dewan dan siapa saja yang mendukung atau bahkan mendesak disahkannya RUU Ormas yang represif seperti itu, hendaknya segera memperbaiki diri sebab Allah SWT mengancam dalam firman-Nya:
﴿ إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ ﴾
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar. (TQS al-Buruj [85]: 10)

Tampak jelas betapa RUU Ormas akan menjadi pintu kembalinya rezim represif ala orde baru, rezim yang telah menimbulkan trauma menyakitkan di masyarakat. Juga jelas RUU Ormas akan membelenggu dinamika masyarakat dan membungkam kekritisan kebijakan kepada pemerintah yang keliru dan merugikan rakyat. Jelas RUU Ormas akan mengancam dan merugikan Ormas dan umat secara umum, karena itu harus ditolak. Jika tidak Allah memperingatkan:
﴿ وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴾
Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (TQS al-Anfal [8]: 25)

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar:
Peringkat infrastruktur Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain. Dari 100 negara yang disurvei World Economic Forum, Indonesia berada pada peringkat 78. Keadaan itu melemahkan daya saing untuk menarik investasi, dan infrastruktur yang buruk juga menyebabkan ekonomi biaya tinggi (Kompas.com, 26/3)
  1. Paling-paling alasannya tidak punya dana yang cukup. Anehnya, sumber pemasukan sangat besar berupa tambang mineral, minyak dan gas serta SDA diserahkan kepada asing.
  2. Di sisi lain masih sangat banyak pemborosan anggaran seperti untuk kunjungan kerja dan fasilitas pejabat.
  3. Infrastruktur bagus dan memadai akan mudah diwujudkan dengan sistem ekonomi Islam. Karena itu segera terapkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar