[Al-Islam 648] Demokrasi sering diklaim
sebagai sistem terbaik, menawarkan berbagai harapan seperti kedaulatan
rakyat, kekuasaan mayoritas dan kesejahteraan. Namun faktanya, semua itu
hanyalah ilusi bagian dari sulap demokrasi.
Ilusi Kedaulatan Rakyat
Inti demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Kedaulatan sendiri
adalah hak untuk membuat hukum dan peraturan. Kedaulatan di tangan
rakyat artinya rakyatlah yang memiliki hak membuat hukum dan peraturan.
Pelaksanaan riilnya, dibuatlah konsep perwakilan. Rakyat memilih wakil
mereka untuk duduk di parlemen. Parlemen diberi kekuasaan legislatif
untuk membuat peraturan perundangan. Asumsinya, para wakil rakyat
terpilih akan mewakili suara dan kehendak rakyat dan bertindak demi
kepentingan rakyat.
Di sinilah sulap demokrasi bermula. Rakyat beranggapan, dan memang
dimanipulasi supaya tetap beranggapan, bahwa kedaulatan di tangan
mereka. Padahal, faktanya yang memegang kedaulatan itu adalah para
anggota parlemen. Kedaulatan rakyat disederhanakan begitu rupa menjadi
sekedar kedaulatan parlemen atau kedaulatan anggota parlemen. Sebab,
merekalah yang menetapkan undang-undang dan hukum, bukan rakyat. Rakyat
hanya diharuskan tetap berasumsi bahwa undang-undang produk anggota
parlemen hakikatnya dibuat oleh rakyat.
Kedaulatan anggota parlemen sendiri masih bisa dipertanyakan.
Faktanya, para anggota parlemen ternyata tidak independen. Mereka tetap
harus mengikuti garis kebijakan dan pendapat partai. Itu artinya mereka
harus mengikuti kehendak para elit partai termasuk dalam pembuatan
undang-undang. Karena itu elit partai itulah yang lebih berdaulat dari
para anggota parlemen.
Lebih dari itu, dalam sistem demokrasi yang sarat modal, para
politisi butuh dana besar untuk bisa jadi anggota parlemen. Begitu juga
parpol, perlu dana besar untuk menjalankan aktivitas politik dan
menggerakkan mesin politik. Dari mana dana itu diperoleh? Jawabannya,
sebagian kecil dari kantong sendiri, dan sebagian besarnya dari para
pemilik modal. Jadilah para pemilik modal itu jadi pihak yang paling
berpengaruh.
Hal yang sama juga terjadi para perwujudan kedaulatan rakyat dalam
hal pemilihan pemimpin. Rakyat tidaklah independen memilih penguasa.
Rakyat “dipaksa” memilih calon pemimpin yang disodorkan oleh parpol.
Jadi kedaulatan rakyat memilih penguasa sudah dibatasi oleh parpol.
Untuk jadi penguasa butuh dana besar, untuk “mahar” dan biaya
kampanye. Dari mana dana besar itu diperoleh? Lagi-lagi dari para
pemilik modal. Sebagai contoh, di AS 80 % dana politik itu disumbang
oleh pemilik modal. Di negeri ini, tidak jauh berbeda.
Semua itu membawa implikasi berbahaya. Pertama, peraturan perundangan produk parlemen, terutama tentang ekonomi, cenderung berpihak kepada pemilik modal. Kedua,
kebijakan pemerintah melalui proses politik seperti itu pasti kemudian
akan cenderung mengutamakan kepentingan pengusaha yang telah
mendukungnya.
Di situlah seperti yang dinyatakan Profesor Sosiologi Universitas
Colombia C. Wright Mills, demokrasi tidak pernah benar-benar memihak
rakyat. Struktur masyarakat demokrasi terbagi menjadi tiga kelas. Kelas
terbawah adalah rakyat umum yang tidak berdaya, tidak terorganisir,
terbelah dan dimanipulasi oleh media massa untuk mempercayai demokrasi
sebagai sistem terbaik. Kelas di atasnya, anggota Kongres/DPR/parlemen,
partai politik dan kelompok politik atau yang disebut sebagai pemimpin
politik. Kelas tertinggi disebut ‘the power elite’, terdiri atas militer, pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar. Kelompok inilah yang pegang kendali sebuah negara.
Itulah yang terjadi secara riil di semua negara demokrasi. Di Amerika
sebagai kampiun demokrasi, hal itu terjadi sejak awal. Presiden AS
Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan, demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people” (dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Dan inilah yang dipropagandakan
secara masif hingga kini. Hanya sebelas tahun kemudian, Presiden AS
Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa yang terjadi di
Amerika Serikat adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).
Inilah sulap terpenting demokrasi. Doktrinnya kedaulatan di tangan
rakyat. Fakta riilnya, kedaulatan ada di tangan para elit dan pemilik
modal.
Ilusi Kekuasaan Mayoritas
Demokrasi sering dikatakan akan melahirkan kekuasaan mayoritas.
Melalui pemilu, yang akan menjadi penguasa adalah yang mendapatkan suara
terbanyak. Itu artinya, kekuasaan yang didapatkan pemerintah adalah
kekuasaan mayoritas sehingga kebijakan yang dibuat pemerintah bisa
diklaim mewakili mayoritas rakyat.
Lagi-lagi itu hanyalah satu ilusi yang diberikan oleh demokrasi.
Faktanya, kekuasaan mayoritas itu amat jarang terwujud. Di AS sendiri
pada pemilu paling akhir, golput mencapai 40%. Menurut CNN, dalam popular vote Obama memperoleh 51.569.975 suara sedangkan Romney meraih 51.318.823 suara, dan dalam electoral vote Obama meraih 283 suara sedangkan Romney hanya 201 suara. Dalam popular vote
atau suara langsung pemilih, Obama hanya mendapat sekitar 30 % suara.
Itu artinya, Obama hanya didukung oleh minoritas, bukan mayoritas, sebab
70 % dari jumlah pemilih tidak mendukungnya.
Sementara di negeri ini, Pada Pilpres 2009 lalu, angka golput
mencapai 28,89%. Pasangan SBY-Boediono mendapat 60,8% dari suara sah,
atau hanya 43,18% dari total pemilik hak pilih. Itu artinya, kekuasaan
SBY-Boediono juga belum bisa disebut kekuasaan mayoritas.
Sementara itu, kekuasaan yang terbangun dari Pilkada sebagian besar
juga belum bisa disebut kekuasaan mayoritas sebab belum didukung oleh
lebih dari 50% pemilik hak suara. Bahkan pada banyak pilkada, angka
golput melebihi suara pemenang pilkada.
Pada pilkada DKI putaran kedua yang dimenangkan Jokowi-Ahok dengan
suara 53,8% dari suara sah atau 35,33% dari total pemilih dalam DPT.
Sedangkan angka golput mencapai 33,5%. Itu artinya, Jokowi hanya
mendapat dukungan dari 35,33 % dari warga yang punya hak pilih di DKI.
Di Sulsel pada Pilkada 22 Januari 2013, meski pemenang mendapat
52,42% dari suara sah, jika dihitung dari total pemilih ternyata hanya
35,85%. Angka golput di Pilkada Sulsel itu sendiri 31,6%.
Hal sama terjadi di Jabar. Pemenang Pilkada, pasangan Ahmad
Heryawan-Deddy Mizwar mendapat 32 % suara sah (6.515.313 suara). Jika
dihitung dari jumlah pemilih (32,5 juta), pemenang Pilkada Jabar hanya
didukung oleh 20% dari warga pemilik hak suara. Angka golput sendiri
mencapai 36,26% (11.786.221 jiwa).
Hal sama terjadi di Pilkada Sumut pada 7 Maret 2013 lalu. Angka
golput diperkirakan di atas 40%. Karena itu, bisa dipastikan kekuasaan
di Sumut hasil pilkada dengan lima pasangan calon tersebut tidak akan
meraih lebih dari 50% dari jumlah DPT bahkan dari jumlah suara sah
sekalipun.
Semua contoh hasil Pilkada itu menunjukkan kekuasaan hasil berbagai
Pilkada selama ini lebih tepat disebut kekuasaan minoritas, bukan
kekuasaan mayoritas. Melihat tren itu, 152 Pilkada yang akan digelar
pada tahun ini, kemungkinan besar atau hampir pasti belum akan
menghasilkan kekuasaan mayoritas. Semua itu hanya menjadi bukti,
kekuasaan mayoritas hanyalah ilusi demokrasi.
Ilusi Kesejahteraan
Peraturan perundangan dan kebijakan pemerintah yang lebih cenderung
menguntungkan para pemilik modal atau kelompok kaya mengakibatkan
ketimpangan distirbusi kekayaan, yang kaya makin kaya, yang miskin makin
tersisihkan. Fakta itulah yang terlihat di berbagai negara di dunia.
Di AS, antara tahun 1980 -2005, 80% kekayaan AS hanya dimiliki oleh
1% penduduk. Dari tahun 1979 – 2007 pendapatan rata-rata 1% terkaya
orang naik 272% dari 350.000 USD ke 1.300.000 USD; sedangkan pendapatan
rata-rata 20% penduduk AS termiskin hanya naik 13% dari 15.500 USD ke
17.500 USD.
Di Indonesia, kesenjangan serupa juga terjadi. Indeks Gini, yang
mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, naik drastis. Menurut data Biro
Pusat Statistik (BPS), gini rasio Indonesia naik dari 0,33 tahun 2005
menjadi 0,41 tahun 2011.
Data lain memperlihatkan, total pendapatan 20% masyarakat terkaya
naik dari 42,07% (2004) menjadi 48,42 % (2011). Sebaliknya, total
pendapatan 40 % masyarakat termiskin turun dari 20,8 % (2004) menjadi
16,85 % (2011). Kekayaan 40 ribu orang terkaya Indonesia sebesar Rp 680
Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan 10,33% PDB, dan itu setara
dengan kekayaan 60% penduduk atau 140 juta orang. Jumlah orang miskin di
negeri ini dengan standar BPS juga masih 29 juta orang.
Pada konteks global, ketimpangan kekayaan juga naik. Hingga tahun
2010, sebanyak 0,5% penduduk terkaya (24 juta orang) memiliki 35,6%
kekayaan global; 8% penduduk terkaya (358 juta) memiliki 79,3 kekayaan
global. Sebaliknya, 68,4% penduduk miskin (3,038 miliar) hanya memiliki
4,2% kekayaan global.
Semua itu menunjukkan bahwa demokrasi akan memberikan kesejahteraan
pada semua rakyat nyatanya hanyalah ilusi. Dengan semua itu, nyatalah
bahwa demokrasi penuh ilusi.
Wahai Kaum Muslimin
Demokrasi hanyalah sistem buatan manusia dengan mengesampingkan
bahkan mencampakkan petunjuk Allah SWT. Sistem seperti ini pada
hakikatnya hanya berasal dari bisikan hawa nafsu dan setan. Allah SWT
memperingatkan:
] يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا [
Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan
membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak
menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (TQS an-Nisa’ [4]: 120)
Karena itu, sistem seperti itu harus segera kita campakkan. Sebagai
gantinya, kita harus segera menerapkan sistem Islam di bawah sistem
Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Niscaya kehidupan yang sesungguhnya
akan kita dapatkan di dunia dan akhirat. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar Al Islam
Wamenkes Ali Ghufron Mukti menyebutkan kondisi 2 persen masyarakat
Indonesia kekurangan gizi berat dan 30 persen ukuran tinggi dan berat
badannya kurang ideal. Kurang gizi ini bukan disebabkan tidak ada yang
dimakan, tetapi lebih karena kurangnya pengetahuan akan gizi yang benar
(kompas.com, 12/3).
- Artinya, ada 2,4 juta orang kekurangan gizi berat dan lebih dari 60 juta tinggi dan berat badannya kurang ideal. Sungguh ironis terjadi di negeri yang subur dan kaya raya.
- Ini bukti pemerintah lalai terhadap pendidikan kesehatan dan gizi rakyat. Padahal rakyat yang sehat dan tumbuh dengan baik adalah modal bagi kemajuan umat.
- Dalam Islam, palayanan kesehatan, tentu juga mencakup pemenuhan gizi dan pendidikan kesehatan dan gizi, adalah kewajiban penguasa dan negara yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar