Pendidikan adalah asset berharga
bagi suatu bangsa, karena kualitas pendidikan akan menentukan pula kualitas
generasi suatu bangsa. Kalimat-kalimat tersebut mungkin tidak asing lagi di
telinga kita, bahkan dijadikan sebagai motivasi dalam setiap pidato para
pemangku kekuasaan dalam perbaikan sistem pendidikan di negeri ini. Tapi pada
faktanya, ternyata potret buram pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun
justru semakin memburuk. Mungkin kita bisa sedikit bangga dengan berita pada
waktu sebelum-sebelumnya mengenai ‘mobil esemka’ karya beberapa anak bangsa
tersebut. Tapi apa sebatas itukah kebanggan kita atas pendidikan yang ada di
Indonesia ini?
Padahal
hampir sebagian dari kita mengetahui bagaimana kondisi yang ada di dunia
pendidikan saat ini. Seperti data terakhir dari Kemendikbud (2011) yang
mengungkapkan terdapat 153.026 unit sekolah yang rusak di negeri ini. Dan tidak
kurang dari 150 ribu anak bangsa yang belum tersentuh pendidikan sampai saat
ini. Belum lagi mereka yang hidup di wilayah pedalaman dan perbatasan., sungguh
tak terhitung jumlahnya. Atau bahkan di provinsi kita sendiri, Banten. Sarana
dan prasarananya pun menunjukkan keprihatinan. Sebanyak 200 dari 700 gedung SD
yang ada di kabupaten Serang hingga kini masih dalam kondisi rusak berat
(indopos.com).
Terlepas
dari itu, potret generasi yang dihasilkan dari pendidikan yang ada pun,
ternyata sangat menyedihkan. Penyalahgunaan narkoba, tawuran, konser-konser
musik yang menghambur-hamburkan uang dan kerapkali diringi kebrutalan,
minuman-minuman keras, kehidupan campur baur, eksploitasi wanita hingga
perilaku seks bebas. Bahkan di tengah-tengah pengumuman kelulusan tingkat SMA
dan sederajat, sebagian para pelajar meluapkannya dengan tindakan tak terpuji.
Aksi corat-coret baju seragam sekolah, kebut-kebutan motor, bahkan sebagian
siswi peserta konvoi ada yang beraksi dengan menyobek rok dan baju seragamnya
dengan memperlihatkan auratnya dengan penuh kebanggan. Sehingga wajar saja jika
Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) tahun 2010 menunjukkan 51
persen remaja di jabodetabek telah melakukan seks pra nikah.
Pada
tingkat intelektual mahasiswa pun ternyata juga tidak jauh berbeda, seperti
yang diungkapkan oleh seorang aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR), Fita Rahmania Cholida yang
mengatakan “Seharusnya mahasiswa menjadi agent
of change, iron stock, dan moral force, akan tetapi saat ini
pergerakan mahasiswa mengalami kelesuan dan kemunduran yang diakibatkan oleh
kemalasan berpikir dan menjadi mahasiswa hedonis, materialis, bertindak
anarkis, tawuran, individualis, dan tidak memikirkan kondisi bangsa ini. Selain
itu, mereka juga tidak menyadari perannya sebagai agent of change dan calon pemimpin, karena memandang kuliah sebagai
legalisasi untuk mencari kerja. Mereka dituntut untuk mendapatkan Indeks
Prestasi (IP) yang tinggi dan kurikulum yang padat, sehingga menjadi mahasiswa Study Oriented, tidak peduli lagi dengan
kondisi di sektiarnya.”
Ataupun
contoh kecil mengenai UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3
yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sekilas melihat definisi ini
memang ideal, namun arah pendidikan yang sebenarnya adalah sekulerisme.
Pendidikan yang ada saat ini, justru memisahkan peran agama dari kehidupan,
tidak menjadikan para peserta didik menjadi orang-orang yang memang menyadari
akan hubungannya dengan Allah sehingga setiap amal perbuatan yang mereka
lakukan akan menyesuaikan dengan perintah dan larangan yang sudah ditetapkan
oleh Allah.
Wajar
saja jika gambaran generasi hasil pendidikan saat ini jauh dari generasi
berkualitas. Padahal, generasi-generasi baru itulah yang nanti akan meneruskan
perjuangan dari generasi-generasi sebelumnya dalam mengelola kehidupan yang
bisa melindungi rakyat nantinya. Semua ini menunjukkan bahwa pengaruh pendidkan
lah yang menjadi sangat penting dalam menghasilkan bibit-bibit generasi unggul.
Meskipun demikian, ternyata sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh warna
kebijakan dan perangkat sistem negaranya. Saat ini, Kapitalisme menancapkan
hegemoni dalam seluruh nadi kehidupan termasuk sistem pendidikan. Sistem
pendidikan ini mengusung HAM yaitu pemahaman kebebasan mutlak bagi manusia
dalam memilih agama/keyakinan atau tidak memiliki keyakinan sama sekali,
mengeluarkan pendapat dengan standar benar-salah/ baik-buruk dengan akal
manusia, berperilaku secara bebas mengumbar hawa nafsu atas nama ekspresi dan
kebebasan, memiliki segala sesuatu yang dinginkan dengan menghalalkan segala
cara. Kapitalisme juga memposisikan pendidikan sebatas menghasilkan produk tenaga
kerja dengan nama daya saing untuk mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Wajar
bila pendidikan dalam bingkai kapitalis akan melahirkan produk-produk SDM yang
mengagungkan kebebasan tanpa batas, individualistik tanpa empati, hedonis tanpa
tanggung jawab, berorientasi pada eksistensi dan kebahagiaan materi semata.
Kapitalisasi
dunia pendidikan akan mewujudkan SDM yang pro kapitalis yang cenderung pada
kebijakan ekonomi kapitalis. Pendidikan semakin mahal, dan hanya bisa di akses
oleh orang-orang ber-uang, dan orang miskin dilarang sekolah. Orientasi
pendidikan peserta didik pun tidak lebih dari sekedar ingin cepat lulus, dapat
kerja yang layak dan segera mungkin mengembalikan modal yang telah dikeluarkan
untuk sekolah/kuliah. Kurikulumnya yang diterapkan senantiasa mengalami
perubahan yang cepat dan terkesan terburu-buru. Materi pelajaran agama yang di
ajarkan tidak proporsional, anak didik lebih banyak belajar mengenai demokrasi,
HAM, pluralisme, yang semua itu merupakan ajaran pokok kapitalisme yang akan semakin menjauhkan para peserta didik
dari identitas aslinya sebagai seorang muslim.
Inilah
bukti bahwa sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh sistem politik ekonomi
yang tengah diterapkan. Ketika sistem politiknya diwarnai oleh pragmatisme politik
yang kental dan sistem ekonominya memiliki tata kelola SDA yang kapitalistik
dan tidak mensejahterakan rakyat, maka yang terjadi justru dengan mudahnya arus
pragmatisme merasuki sistem pendidikan nasional di semua jenjang.
Lalu
bagaimanakah sistem pendidikan yang benar, yang akan menghasilkan generasi
berkualitas?
Tentu
saja, jawaban satu-satunya adalah dengan sistem pendidikan Islam. Dalam Islam,
negaralah yang berkewajiban mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem
pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan
kurikulum, akreditasi, gaji guru, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya
saja, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara
mudah. Negara wajib menyempurnakan sektor pendidikan melalui sistem pendidikan
bebas biaya bagi seluruh rakyatnya. Rakyat diberikan kesempatan seluas-luasnya
untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma. Negara Islam menyediakan
perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, selain gedung-gedung
sekolah, kampus-kampus, untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin
melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ushul
fiqh, hadits dan tafsir, termasuk di bidang pemikiran, kedokteran, teknik kimia
serta penemuan, inovasi, dan lain-lain. Sehingga di tengah-tengah umat lahirlah
sekelompok mujtahid, penemu dan invator.
Terbukti
dari yang dulu pernah terjadi ketika masa kejayaan Islam menerangi peradabannya
yang gemilang, ilmuan Islam seperti Al-Khawarizmi (penemu angka nol), Abbas
Ibnu Firnas (peletak dasar teori pesawat terbang), Ibnu Hayyan (ahli kimia,
astronomi), Ibnu Sina (kedokteran), Abu Al Rahyan (ilmu bumi, matematika, dan
astronomi, antropologi, psikologi, dan kedokteran), Abu Ali Hasan Ibn Al
Haitsam (fisikawan terkenal dalam hal optik dan ilmu ilmiah) dan masih banyak
lagi.
Selain itu, para ilmuan-ilmuan yang
lahir dari hasil pendidikan Islam ini juga tidak hanya sekedar ilmuan yang ahli
dalam ilmu duniawi saja, tetapi kebanyakan dari mereka juga adalah ulama,
mereka juga ahli dalam ilmu-ilmu Islam. Keberhasilan-keberhasilan yang
diperolehnya tidak lain merupakan hasil motivasi dan dorongan yang Allah
berikan yaitu kewajiban akan menuntut ilmu dengan penjagaan dari lingkungan
masyarakatnya yang mengkondisikan untuk terus menuntut ilmu.
Oleh karena itu, pengaruh berbagai
sistem terhadap keberhasilan penyelenggaraan sistem pendidikan Islam memiliki
keterkaitan yang erat. Sedangkan, sistem yang menaungi semua sistem tersebut
adalah sistem pemerintahan/Negara. Maka, jika kita menginginkan generasi-generasi
yang berkualitas, tentu saja harus berasal dari sistem pendidikan yang juga
memang berkualitas, yang tidak lain adalah sistem pendidikan Islam yang
keberhasilannya pun sudah dibuktikan pada masa kejayaanya. Maka satu-satunya
mewujudkan atau terlaksananya sistem pendidikan islam ini tentu tidak akan
terlepas dari keberadaan sebuah Negara Islam yaitu Daulah Khilafah Islamiyah (yang
insya Allah akan segera tegak kembali) sebagai institusi yang akan menjamin
penerapan hukum-hukum Islam dalam semua aspek kehidupan termasuk didalamnya
bidang pendidikan. [Ch]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar