Senin, 25 Maret 2013

Polemik Pendidikan


            Pendidikan adalah asset berharga bagi suatu bangsa, karena kualitas pendidikan akan menentukan pula kualitas generasi suatu bangsa. Kalimat-kalimat tersebut mungkin tidak asing lagi di telinga kita, bahkan dijadikan sebagai motivasi dalam setiap pidato para pemangku kekuasaan dalam perbaikan sistem pendidikan di negeri ini. Tapi pada faktanya, ternyata potret buram pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun justru semakin memburuk. Mungkin kita bisa sedikit bangga dengan berita pada waktu sebelum-sebelumnya mengenai ‘mobil esemka’ karya beberapa anak bangsa tersebut. Tapi apa sebatas itukah kebanggan kita atas pendidikan yang ada di Indonesia ini?
Padahal hampir sebagian dari kita mengetahui bagaimana kondisi yang ada di dunia pendidikan saat ini. Seperti data terakhir dari Kemendikbud (2011) yang mengungkapkan terdapat 153.026 unit sekolah yang rusak di negeri ini. Dan tidak kurang dari 150 ribu anak bangsa yang belum tersentuh pendidikan sampai saat ini. Belum lagi mereka yang hidup di wilayah pedalaman dan perbatasan., sungguh tak terhitung jumlahnya. Atau bahkan di provinsi kita sendiri, Banten. Sarana dan prasarananya pun menunjukkan keprihatinan. Sebanyak 200 dari 700 gedung SD yang ada di kabupaten Serang hingga kini masih dalam kondisi rusak berat (indopos.com).
Terlepas dari itu, potret generasi yang dihasilkan dari pendidikan yang ada pun, ternyata sangat menyedihkan. Penyalahgunaan narkoba, tawuran, konser-konser musik yang menghambur-hamburkan uang dan kerapkali diringi kebrutalan, minuman-minuman keras, kehidupan campur baur, eksploitasi wanita hingga perilaku seks bebas. Bahkan di tengah-tengah pengumuman kelulusan tingkat SMA dan sederajat, sebagian para pelajar meluapkannya dengan tindakan tak terpuji. Aksi corat-coret baju seragam sekolah, kebut-kebutan motor, bahkan sebagian siswi peserta konvoi ada yang beraksi dengan menyobek rok dan baju seragamnya dengan memperlihatkan auratnya dengan penuh kebanggan. Sehingga wajar saja jika Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) tahun 2010 menunjukkan 51 persen remaja di jabodetabek telah melakukan seks pra nikah.
Pada tingkat intelektual mahasiswa pun ternyata juga tidak jauh berbeda, seperti yang diungkapkan oleh seorang aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR), Fita Rahmania Cholida yang mengatakan “Seharusnya mahasiswa menjadi agent of change, iron stock, dan moral force, akan tetapi saat ini pergerakan mahasiswa mengalami kelesuan dan kemunduran yang diakibatkan oleh kemalasan berpikir dan menjadi mahasiswa hedonis, materialis, bertindak anarkis, tawuran, individualis, dan tidak memikirkan kondisi bangsa ini. Selain itu, mereka juga tidak menyadari perannya sebagai agent of change dan calon pemimpin, karena memandang kuliah sebagai legalisasi untuk mencari kerja. Mereka dituntut untuk mendapatkan Indeks Prestasi (IP) yang tinggi dan kurikulum yang padat, sehingga menjadi mahasiswa Study Oriented, tidak peduli lagi dengan kondisi di sektiarnya.”
Ataupun contoh kecil mengenai UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sekilas melihat definisi ini memang ideal, namun arah pendidikan yang sebenarnya adalah sekulerisme. Pendidikan yang ada saat ini, justru memisahkan peran agama dari kehidupan, tidak menjadikan para peserta didik menjadi orang-orang yang memang menyadari akan hubungannya dengan Allah sehingga setiap amal perbuatan yang mereka lakukan akan menyesuaikan dengan perintah dan larangan yang sudah ditetapkan oleh Allah.
Wajar saja jika gambaran generasi hasil pendidikan saat ini jauh dari generasi berkualitas. Padahal, generasi-generasi baru itulah yang nanti akan meneruskan perjuangan dari generasi-generasi sebelumnya dalam mengelola kehidupan yang bisa melindungi rakyat nantinya. Semua ini menunjukkan bahwa pengaruh pendidkan lah yang menjadi sangat penting dalam menghasilkan bibit-bibit generasi unggul. Meskipun demikian, ternyata sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh warna kebijakan dan perangkat sistem negaranya. Saat ini, Kapitalisme menancapkan hegemoni dalam seluruh nadi kehidupan termasuk sistem pendidikan. Sistem pendidikan ini mengusung HAM yaitu pemahaman kebebasan mutlak bagi manusia dalam memilih agama/keyakinan atau tidak memiliki keyakinan sama sekali, mengeluarkan pendapat dengan standar benar-salah/ baik-buruk dengan akal manusia, berperilaku secara bebas mengumbar hawa nafsu atas nama ekspresi dan kebebasan, memiliki segala sesuatu yang dinginkan dengan menghalalkan segala cara. Kapitalisme juga memposisikan pendidikan sebatas menghasilkan produk tenaga kerja dengan nama daya saing untuk mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Wajar bila pendidikan dalam bingkai kapitalis akan melahirkan produk-produk SDM yang mengagungkan kebebasan tanpa batas, individualistik tanpa empati, hedonis tanpa tanggung jawab, berorientasi pada eksistensi dan kebahagiaan materi semata.
Kapitalisasi dunia pendidikan akan mewujudkan SDM yang pro kapitalis yang cenderung pada kebijakan ekonomi kapitalis. Pendidikan semakin mahal, dan hanya bisa di akses oleh orang-orang ber-uang, dan orang miskin dilarang sekolah. Orientasi pendidikan peserta didik pun tidak lebih dari sekedar ingin cepat lulus, dapat kerja yang layak dan segera mungkin mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk sekolah/kuliah. Kurikulumnya yang diterapkan senantiasa mengalami perubahan yang cepat dan terkesan terburu-buru. Materi pelajaran agama yang di ajarkan tidak proporsional, anak didik lebih banyak belajar mengenai demokrasi, HAM, pluralisme, yang semua itu merupakan ajaran pokok kapitalisme yang  akan semakin menjauhkan para peserta didik dari identitas aslinya sebagai seorang muslim.
Inilah bukti bahwa sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh sistem politik ekonomi yang tengah diterapkan. Ketika sistem politiknya diwarnai oleh pragmatisme politik yang kental dan sistem ekonominya memiliki tata kelola SDA yang kapitalistik dan tidak mensejahterakan rakyat, maka yang terjadi justru dengan mudahnya arus pragmatisme merasuki sistem pendidikan nasional di semua jenjang.
Lalu bagaimanakah sistem pendidikan yang benar, yang akan menghasilkan generasi berkualitas?
Tentu saja, jawaban satu-satunya adalah dengan sistem pendidikan Islam. Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi, gaji guru, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya saja, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Negara wajib menyempurnakan sektor pendidikan melalui sistem pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya. Rakyat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma. Negara Islam menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, selain gedung-gedung sekolah, kampus-kampus, untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ushul fiqh, hadits dan tafsir, termasuk di bidang pemikiran, kedokteran, teknik kimia serta penemuan, inovasi, dan lain-lain. Sehingga di tengah-tengah umat lahirlah sekelompok mujtahid, penemu dan invator.
Terbukti dari yang dulu pernah terjadi ketika masa kejayaan Islam menerangi peradabannya yang gemilang, ilmuan Islam seperti Al-Khawarizmi (penemu angka nol), Abbas Ibnu Firnas (peletak dasar teori pesawat terbang), Ibnu Hayyan (ahli kimia, astronomi), Ibnu Sina (kedokteran), Abu Al Rahyan (ilmu bumi, matematika, dan astronomi, antropologi, psikologi, dan kedokteran), Abu Ali Hasan Ibn Al Haitsam (fisikawan terkenal dalam hal optik dan ilmu ilmiah) dan masih banyak lagi.
            Selain itu, para ilmuan-ilmuan yang lahir dari hasil pendidikan Islam ini juga tidak hanya sekedar ilmuan yang ahli dalam ilmu duniawi saja, tetapi kebanyakan dari mereka juga adalah ulama, mereka juga ahli dalam ilmu-ilmu Islam. Keberhasilan-keberhasilan yang diperolehnya tidak lain merupakan hasil motivasi dan dorongan yang Allah berikan yaitu kewajiban akan menuntut ilmu dengan penjagaan dari lingkungan masyarakatnya yang mengkondisikan untuk terus menuntut ilmu.
            Oleh karena itu, pengaruh berbagai sistem terhadap keberhasilan penyelenggaraan sistem pendidikan Islam memiliki keterkaitan yang erat. Sedangkan, sistem yang menaungi semua sistem tersebut adalah sistem pemerintahan/Negara. Maka, jika kita menginginkan generasi-generasi yang berkualitas, tentu saja harus berasal dari sistem pendidikan yang juga memang berkualitas, yang tidak lain adalah sistem pendidikan Islam yang keberhasilannya pun sudah dibuktikan pada masa kejayaanya. Maka satu-satunya mewujudkan atau terlaksananya sistem pendidikan islam ini tentu tidak akan terlepas dari keberadaan sebuah Negara Islam yaitu Daulah Khilafah Islamiyah (yang insya Allah akan segera tegak kembali) sebagai institusi yang akan menjamin penerapan hukum-hukum Islam dalam semua aspek kehidupan termasuk didalamnya bidang pendidikan. [Ch]







Tidak ada komentar:

Posting Komentar