Rabu, 04 Desember 2013

Polwan Berkerudung: Beri Kemudahan, Jangan Dipersulit

Al-Islam edisi 683

Kapolri Jenderal Polisi Sutarman telah memberikan izin lisan kepada para Polwan untuk berjilbab (yakni berkerudung) saat bertugas. Kapolri juga meminta para Polwan tidak perlu khawatir terkena sanksi apabila mengenakan jilbab dan tidak perlu menunggu hingga peraturan kapolri (Perkap) keluar. Kapolri pada Selasa (19/11) di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta mengatakan, “Jilbab itu hak asasi seseorang. Saya sudah sampaikan kepada anggota, yang punya jilbab silahkan gunakan.”

Sayang, pada tanggal 28/11 diterbitkan Telegram Rahasia (TR) yang berisi enam imbauan, di antaranya imbauan kepada polwan untuk menunda penggunaan jilbab ketika berdinas hingga parlemen menyepakati anggaran penyediaan jilbab. Alasan lainnya, penundaan itu hanya hingga terbit aturan penggunaan jilbab.

Kebijakan itu disayangkan oleh banyak pihak dan dinilai bukan pilihan yang bijak. Justru sepantasnya polwan dipermudah untuk berkerudung dan menutup aurat saat berdinas, dan juga untuk menjalankan kewajiban syariah lainnya.

Kewajiban dari Allah

Berkerudung dan menutup aurat merupakan kewajiban dari Allah SWT. Menjalankannya akan bernilai ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman:

﴿وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا﴾

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (TQS an-Nur [24]: 31)

Ibn Abbas menjelaskan makna illâ mâ zhahara minha –kecuali yang biasa nampak daripadanya- yaitu wajah dan kedua telapak tangan hingga pergelangan tangan. Dan inilah yang dikatakan oleh Ibn Katsir sebagai pendapat yang masyhur menurut jumhur. Maka, seluruh tubuh perempuan adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan hingga pergelangan tangan. Abu Dawud juga telah mengeluarkan di dalam Marâsil-nya dari Qatadah, Rasulullah saw bersabda:

«إِنَّ الْجَارِيَةَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا وَجْهُهَا وَيَدَاهَا إِلَى الْمَفْصِلِ»

“Sesungguhnya seorang gadis jika sudah haidh tidak layak terlihat darinya kecuali wajah dan tangannya sampai pergelangan tangannya.”

Berikutnya di ayat yang sama, Allah memerintahkan perempuan mukminah agar mengenakan kerudung.

﴿ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ …﴾

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya …” (TQS an-Nur [24]: 31)

Prof Wahbah az-Zuhaili di dalam Tafsîr al-Munîr, menjelaskan bahwa juyûb adalah bentuk jamak dari jayb, yaitu bukaan pada bagian atas pakaian yang menampakkan bagian atas dada. Ibn Katsir mengutip Sa’id bin Jubair maksud ayat ini adalah agar perempuan mukminah mengulurkan kerudung menutupi bagian atas dada (an-nahr) dan dada sehingga tidak terlihat darinya sedikit pun.

Selain harus menutup aurat dan berkerudung, perempuan mukminah juga wajib berjilbab ketika hendak keluar rumah ke kehidupan umum. Allah SWT berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ﴾

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab [33]: 59)

Ummu ‘Athiyah ra., menuturkan: Rasulullah saw memerintahkan kami untuk mengeluarkan para perempuan di hari Idul Fitri dan Idul Adha, para perempuan yang punya halangan, perempuan yang sedang haidh dan gadis-gadis yang dipingit. Adapun perempuan yang sedang haidh, mereka memisahkan diri dari shalat dan menyaksikan kebaikan dan seruan kepada kaum Muslimin. Aku katakan: ya Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab. Rasul saw menjawab: “hendaknya saudarinya meminjaminya jilbab miliknya”. (HR Muslim)

Rasul menegaskan wajibnya wanita mukminah berjilbab yaitu baju kurung atau jubah di atas pakaian rumahan saat seorang mukminah hendak keluar rumah, sampai-sampai perempuan yang tidak punya jilbab, Rasulullah saw perintahkan agar dipinjami jilbab sehingga ia bisa keluar pada saat shalat Idul Fithri dan Idul Adhha.

Beri Kemudahan, Pahala Besar Menanti

Sebagai kewajiban, maka melaksanakannya bernilai ibadah sebagai bentuk ketaatan dan ketundukan kepada Allah SWT. Karena itu, ungkapan Wakapolri bahwa kesadaran penggunaan jilbab bagi Muslimah adalah ibadah juga dimiliki polri, alangkah baiknya kemudian diwujudkan secara nyata dengan memberikan kemudahan bagi polwan untuk berjilbab (berkerudung) dan tidak ada penundaan untuk itu.

Sikap bersegera memfasilitasi dan melaksanakan itu telah dicontohkan oleh para shahabat dan shahabiyah. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata: “Semoga Allah merahmati wanita muhajirat awal, ketika Allah menurunkan “wal yadhribna bikhumûrihinna ‘alâ juyûbihinna”, mereka menyobek kain mereka dan mereka jadikan kerudung.”

Para wanita Anshar pun bersikap sama. Aisyah ra., menuturkan: “Sungguh wanita Quraisy memiliki keutamaan dan aku -demi Allah- tidak melihat yang lebih afdhal dari wanita Anshar, yang sangat kuat pembenarannya kepada kitabullah dan keimanannya kepada wahyu yang diturunkan. Surat an-Nur telah diturunkan: “wal yadhribna bikhumûrihinna ‘alâ juyûbihinna”. Laki-laki Anshar pun menemui wanita-wanita Anshar dan membacakannya kepada mereka, seorang laki-laki membacakan kepada isterinya, puterinya, saudarinya dan seluruh kerabat perempuannya. Maka tidak ada seorang pun dari mereka kecuali mengambil kain mereka dan mereka lilitkan menjadi kerudung, sebagai pembenaran dan keimanan terhadap apa yang telah diturunkan oleh Allah di dalam kitab-Nya…” (HR Ibn Abiy Hatim)

Melaksanakan kewajiban akan mendatangkan pahala besar; dan siapa saja yang memfasilitasi sempurnanya pelaksanaan kewajiban itu, niscaya akan mendapatkan pahala amat besar pula. Sabda Rasulullah saw:

«مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ»

“Siapa yang mencontohkan di dalam Islam contoh yang baik lalu dilakukan sesudahnya maka dituliskan untuknya semisal pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, sebaliknya siapa saja yang mencontohkan di dalam Islam contoh buruk lalu dilakukan sesudahnya, maka dituliskan atasnya semisal dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim, Ahmad, Ibn Majah)

Rasulullah saw juga telah memberitahukan bahwa siapa saja yang memberi kemudahan kepada seorang muslim maka Allah akan memberi kemudahan kepadanya kelak di akhirat.

Jika polwan dan para perempuan mukminah dibukakan jalan dan diberi kemudahan untuk melaksanakan kewajiban menutup aurat, berkerudung dan berjilbab, maka siapa pun yang membuka jalan dan memberi kemudahan itu, akan mendapat limpahan pahala yang sangat besar dan diberi kemudahan di akhirat. Sebaliknya, siapa pun yang menghalangi apalagi justru memerintahkan untuk tidak melaksanakan kewajiban itu, apapun alasannya, beban dosa amat besar juga mengintai. Sungguh tak sebanding jika alasan keseragaman atau belum ada anggaran membuat kesempatan amat besar itu diluputkan. Masalah belum ada anggaran, niscaya para polwan akan dengan senang hati dan gembira membeli dengan uang mereka sendiri. Alasan keseragaman tidak selayaknya menunda pelaksanaan kewajiban. Sebenarnya cukup dibuat arahan model dan warna, tentu dengan tetap memperhatikan ketentuan syariah tentang kerudung, bukan penundaan. Lalu segera dibuat keseragaman. Itu adalah perkara yang mudah. Namun kemudahan seperti itu menjadi perkara yang langka di negeri ini. Rasulullah saw bersabda:

«يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَسَكِّنُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا»

Permudahlah dan jangan kalian persulit, berikan ketenteraman dan jangan kalian takuti (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Pentingnya Kekuasaan bagi Penerapan Syariah Allah

Apa yang terjadi ini menunjukkan, kewajiban menutup aurat dan berkerudung saja, ternyata sulit dilaksanakan ketika kekuasaan belum mendukung. Sebaliknya dengan kekuasaan, kewajiban ini dengan mudah bisa sempurna dilaksanakan oleh semua orang. Hal itu menegaskan penting dan strategisnya kekuasaan dalam penerapan syariah Allah SWT. Begitu pulalah bisa sempurna pelaksanaan kewajiban berjilbab, dan kewajiban-kewajiban serta hukum-hukum syariah dari Allah SWT yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Sungguh tepat ungkapan Imam al-Ghazali di dalam buku beliau al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd: “Karena itu dikatakan, agama dan kekuasaan itu ibarat saudara kembar, dan karena itu dikatakan: ad-dînu ussun wa sulthânu harisun, wa mâ lâ ussa lahu famahdûmun wa mâ lâ hârisa lahu fa dhâi’un -agama adalah pondasi; sedangkan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi akan roboh, dan sesuatu tanpa penjaga akan terlantar-.”

Wahai Kaum Muslimin

Semua itu makin menegaskan, adanya munaffidz (pelaksana) syariah adalah mutlak dan wajib. Hanya dengan itu berbagai kewajiban syariah bisa sempurna dilaksanakan. Imam al-Amidi dalam bukunya Ghâyah al-Marâm mengatakan: “Maka mengangkat seorang imam (yakni khalifah) termasuk kemaslahatan paling penting untuk kaum muslimin dan pilar paling agung untuk agama, dan hal itu menjadi wajib, sebab telah diketahui dengan wahyu bahwa yang demikian adalah maksud dari syara’…” Dan itu tidak lain adalah seorang imam yakni khalifah dalam sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Itulah kewajiban agung yang harus sesegera mungkin kita wujudkan. Wallâh a’lam bin ash-shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar