Al-Islam edisi 683
Kapolri Jenderal Polisi Sutarman telah memberikan izin lisan kepada
para Polwan untuk berjilbab (yakni berkerudung) saat bertugas. Kapolri
juga meminta para Polwan tidak perlu khawatir terkena sanksi apabila
mengenakan jilbab dan tidak perlu menunggu hingga peraturan kapolri
(Perkap) keluar. Kapolri pada Selasa
(19/11) di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta mengatakan, “Jilbab itu
hak asasi seseorang. Saya sudah sampaikan kepada anggota, yang punya
jilbab silahkan gunakan.”
Sayang, pada tanggal 28/11
diterbitkan Telegram Rahasia (TR) yang berisi enam imbauan, di antaranya
imbauan kepada polwan untuk menunda penggunaan jilbab ketika berdinas
hingga parlemen menyepakati anggaran penyediaan jilbab. Alasan lainnya,
penundaan itu hanya hingga terbit aturan penggunaan jilbab.
Kebijakan itu disayangkan oleh banyak pihak dan dinilai bukan pilihan
yang bijak. Justru sepantasnya polwan dipermudah untuk berkerudung dan
menutup aurat saat berdinas, dan juga untuk menjalankan kewajiban
syariah lainnya.
Kewajiban dari Allah
Berkerudung dan
menutup aurat merupakan kewajiban dari Allah SWT. Menjalankannya akan
bernilai ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
﴿وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا﴾
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (TQS an-Nur
[24]: 31)
Ibn Abbas menjelaskan makna illâ mâ zhahara minha
–kecuali yang biasa nampak daripadanya- yaitu wajah dan kedua telapak
tangan hingga pergelangan tangan. Dan inilah yang dikatakan oleh Ibn
Katsir sebagai pendapat yang masyhur menurut jumhur. Maka, seluruh tubuh
perempuan adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan hingga
pergelangan tangan. Abu Dawud juga telah mengeluarkan di dalam
Marâsil-nya dari Qatadah, Rasulullah saw bersabda:
«إِنَّ الْجَارِيَةَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا وَجْهُهَا وَيَدَاهَا إِلَى الْمَفْصِلِ»
“Sesungguhnya seorang gadis jika sudah haidh tidak layak terlihat
darinya kecuali wajah dan tangannya sampai pergelangan tangannya.”
Berikutnya di ayat yang sama, Allah memerintahkan perempuan mukminah agar mengenakan kerudung.
﴿ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ …﴾
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya …” (TQS an-Nur [24]: 31)
Prof Wahbah az-Zuhaili di dalam Tafsîr al-Munîr, menjelaskan bahwa
juyûb adalah bentuk jamak dari jayb, yaitu bukaan pada bagian atas
pakaian yang menampakkan bagian atas dada. Ibn Katsir mengutip Sa’id bin
Jubair maksud ayat ini adalah agar perempuan mukminah mengulurkan
kerudung menutupi bagian atas dada (an-nahr) dan dada sehingga tidak
terlihat darinya sedikit pun.
Selain harus menutup aurat dan
berkerudung, perempuan mukminah juga wajib berjilbab ketika hendak
keluar rumah ke kehidupan umum. Allah SWT berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ﴾
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab [33]: 59)
Ummu ‘Athiyah
ra., menuturkan: Rasulullah saw memerintahkan kami untuk mengeluarkan
para perempuan di hari Idul Fitri dan Idul Adha, para perempuan yang
punya halangan, perempuan yang sedang haidh dan gadis-gadis yang
dipingit. Adapun perempuan yang sedang haidh, mereka memisahkan diri
dari shalat dan menyaksikan kebaikan dan seruan kepada kaum Muslimin.
Aku katakan: ya Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki
jilbab. Rasul saw menjawab: “hendaknya saudarinya meminjaminya jilbab
miliknya”. (HR Muslim)
Rasul menegaskan wajibnya wanita
mukminah berjilbab yaitu baju kurung atau jubah di atas pakaian rumahan
saat seorang mukminah hendak keluar rumah, sampai-sampai perempuan yang
tidak punya jilbab, Rasulullah saw perintahkan agar dipinjami jilbab
sehingga ia bisa keluar pada saat shalat Idul Fithri dan Idul Adhha.
Beri Kemudahan, Pahala Besar Menanti
Sebagai kewajiban, maka melaksanakannya bernilai ibadah sebagai bentuk
ketaatan dan ketundukan kepada Allah SWT. Karena itu, ungkapan Wakapolri
bahwa kesadaran penggunaan jilbab bagi Muslimah adalah ibadah juga
dimiliki polri, alangkah baiknya kemudian diwujudkan secara nyata dengan
memberikan kemudahan bagi polwan untuk berjilbab (berkerudung) dan
tidak ada penundaan untuk itu.
Sikap bersegera memfasilitasi
dan melaksanakan itu telah dicontohkan oleh para shahabat dan
shahabiyah. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata:
“Semoga Allah merahmati wanita muhajirat awal, ketika Allah menurunkan
“wal yadhribna bikhumûrihinna ‘alâ juyûbihinna”, mereka menyobek kain
mereka dan mereka jadikan kerudung.”
Para wanita Anshar pun
bersikap sama. Aisyah ra., menuturkan: “Sungguh wanita Quraisy memiliki
keutamaan dan aku -demi Allah- tidak melihat yang lebih afdhal dari
wanita Anshar, yang sangat kuat pembenarannya kepada kitabullah dan
keimanannya kepada wahyu yang diturunkan. Surat an-Nur telah diturunkan:
“wal yadhribna bikhumûrihinna ‘alâ juyûbihinna”. Laki-laki Anshar pun
menemui wanita-wanita Anshar dan membacakannya kepada mereka, seorang
laki-laki membacakan kepada isterinya, puterinya, saudarinya dan seluruh
kerabat perempuannya. Maka tidak ada seorang pun dari mereka kecuali
mengambil kain mereka dan mereka lilitkan menjadi kerudung, sebagai
pembenaran dan keimanan terhadap apa yang telah diturunkan oleh Allah di
dalam kitab-Nya…” (HR Ibn Abiy Hatim)
Melaksanakan kewajiban
akan mendatangkan pahala besar; dan siapa saja yang memfasilitasi
sempurnanya pelaksanaan kewajiban itu, niscaya akan mendapatkan pahala
amat besar pula. Sabda Rasulullah saw:
«مَنْ سَنَّ فِى
الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ
أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ
سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ
عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ»
“Siapa yang mencontohkan di dalam Islam
contoh yang baik lalu dilakukan sesudahnya maka dituliskan untuknya
semisal pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun, sebaliknya siapa saja yang mencontohkan di dalam Islam
contoh buruk lalu dilakukan sesudahnya, maka dituliskan atasnya semisal
dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”
(HR Muslim, Ahmad, Ibn Majah)
Rasulullah saw juga telah
memberitahukan bahwa siapa saja yang memberi kemudahan kepada seorang
muslim maka Allah akan memberi kemudahan kepadanya kelak di akhirat.
Jika polwan dan para perempuan mukminah dibukakan jalan dan diberi
kemudahan untuk melaksanakan kewajiban menutup aurat, berkerudung dan
berjilbab, maka siapa pun yang membuka jalan dan memberi kemudahan itu,
akan mendapat limpahan pahala yang sangat besar dan diberi kemudahan di
akhirat. Sebaliknya, siapa pun yang menghalangi apalagi justru
memerintahkan untuk tidak melaksanakan kewajiban itu, apapun alasannya,
beban dosa amat besar juga mengintai. Sungguh tak sebanding jika alasan
keseragaman atau belum ada anggaran membuat kesempatan amat besar itu
diluputkan. Masalah belum ada anggaran, niscaya para polwan akan dengan
senang hati dan gembira membeli dengan uang mereka sendiri. Alasan
keseragaman tidak selayaknya menunda pelaksanaan kewajiban. Sebenarnya
cukup dibuat arahan model dan warna, tentu dengan tetap memperhatikan
ketentuan syariah tentang kerudung, bukan penundaan. Lalu segera dibuat
keseragaman. Itu adalah perkara yang mudah. Namun kemudahan seperti itu
menjadi perkara yang langka di negeri ini. Rasulullah saw bersabda:
«يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَسَكِّنُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا»
Permudahlah dan jangan kalian persulit, berikan ketenteraman dan jangan kalian takuti (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Pentingnya Kekuasaan bagi Penerapan Syariah Allah
Apa yang terjadi ini menunjukkan, kewajiban menutup aurat dan
berkerudung saja, ternyata sulit dilaksanakan ketika kekuasaan belum
mendukung. Sebaliknya dengan kekuasaan, kewajiban ini dengan mudah bisa
sempurna dilaksanakan oleh semua orang. Hal itu menegaskan penting dan
strategisnya kekuasaan dalam penerapan syariah Allah SWT. Begitu pulalah
bisa sempurna pelaksanaan kewajiban berjilbab, dan kewajiban-kewajiban
serta hukum-hukum syariah dari Allah SWT yang Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana.
Sungguh tepat ungkapan Imam al-Ghazali di dalam buku
beliau al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd: “Karena itu dikatakan, agama dan
kekuasaan itu ibarat saudara kembar, dan karena itu dikatakan: ad-dînu
ussun wa sulthânu harisun, wa mâ lâ ussa lahu famahdûmun wa mâ lâ hârisa
lahu fa dhâi’un -agama adalah pondasi; sedangkan kekuasaan adalah
penjaga. Sesuatu tanpa pondasi akan roboh, dan sesuatu tanpa penjaga
akan terlantar-.”
Wahai Kaum Muslimin
Semua itu makin
menegaskan, adanya munaffidz (pelaksana) syariah adalah mutlak dan
wajib. Hanya dengan itu berbagai kewajiban syariah bisa sempurna
dilaksanakan. Imam al-Amidi dalam bukunya Ghâyah al-Marâm mengatakan:
“Maka mengangkat seorang imam (yakni khalifah) termasuk kemaslahatan
paling penting untuk kaum muslimin dan pilar paling agung untuk agama,
dan hal itu menjadi wajib, sebab telah diketahui dengan wahyu bahwa yang
demikian adalah maksud dari syara’…” Dan itu tidak lain adalah seorang
imam yakni khalifah dalam sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj
an-nubuwwah. Itulah kewajiban agung yang harus sesegera mungkin kita
wujudkan. Wallâh a’lam bin ash-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar