Al-Islam edisi 684, 9 Shafar 1435-13 Desember 2013
Tanggal 9 Desember telah ditetapkan secara internasional sebagai hari
anti korupsi sedunia. Peringatan hari anti korupsi itu juga dilakukan di
istana. Dan KPK menyelenggarakan pekan anti korupsi selama tiga hari 9 –
11 Desember di Istora Senayan. Acara itu untuk mengkampanyekan nilai-nilai anti korupsi secara luas pada masyarakat.
Masih Sangat Korup
Selama ini KPK telah banyak menangkap dan memenjarakan koruptor.
Menurut wakil ketua KPK, Adnan Pandu Praja, sudah sekitar 370 orang yang
telah divonis KPK. Terdiri dari 72 anggota parlemen, 8 menteri, 31
gubernur, dan 8 bupati. Kemudian 4 komisioner, dan 3 warga negara asing;
2 Malaysia dan 1 Jepang.
Kepolisian juga tak mau kalah. Kepala
Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri, Brigjen Pol Boy
Rafli Anwar, di Mapolda Jabar Bandung, Senin (9/12) mengatakan, “Polri
di sini mendapatkan laporan 1.343 kasus korupsi dan ini masih terus
berjalan. Saat ini lebih dari 800-nya sudah P21.” Dari 800 perkara yang
ditangani ada Rp 910 miliar yang berhasil diamankan. Jumlah itu
meningkat hampir empat kali lipat dibandingkan tahun 2012, yang hanya
mencapai Rp 261 miliar. (merdeka.com, 9/12).
Meski banyak upaya
sudah dilakukan, namun Indonesia masih tetap salah satu negara sangat
korup di dunia. Transparency International (TI) telah melansir Indeks
Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index – CPI) tahun 2013. CPI
dinyatakan dalam angka 0 paling korup sampai 100 paling bersih. CPI
Indonesia tahun 2013 ternyata tidak berubah dari tahun sebelumnya yaitu
32. Meski angkanya tak berubah, peringkat Indonesia sedikit naik dari
peringkat 118 dari 176 negara di tahun 2012 menjadi peringkat 114 dari
177 negara di tahun 2013. Ini menunjukkan pemberantasan korupsi di
negeri ini masih mengalami stagnasi (ti.or.id, 03/12).
Korupsi Sistemik, Pemberantasan Belum Total Sistemik
Stagnannya posisi Indonesia dalam CPI itu menandakan korupsi di negeri
ini sudah benar-benar sangat mengakar dan sistemik. Di negeri ini barang
kali 365 hari sepanjang tahun tidak lepas dari korupsi. Nyaris semua
pengadaan barang dan jasa, bantuan sosial, hingga proyek tidak ada yang
lepas dari korupsi.
Korupsi telah begitu membudaya dan mengakar
di negeri ini. Mulai dari perangkat desa sampai pejabat negara di pusat
tak lepas dari korupsi. Menteri dipidana karena korupsi, kepala desa
korupsi, bupati, gubernur juga korupsi. Anggota DPR korupsi, pegawai
pajak korupsi, polisi korupsi, hakim korupsi. Sudah banyak terungkap
bagaimana proyek dibagi-bagi dan setor sana – setor sini. Petinggi
partai politik pun ikut bermain. Begitu parahnya hingga mungkin hanya di
negeri ini, bandit tega mengorupsi pengadaan Kitab Suci, baju muslim
hingga pengadaan sarung. Pengadaan bantuan bibit termasuk bibit lele,
uang bantuan tunai hingga bangku sekolah juga tak lepas dari jamahan
tangan koruptor.
Korupsi tidak sekadar dilakukan karena adanya
peluang, melainkan didesain dengan memperalat kebijakan dan kekuasaan.
Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, mengungkapkan korupsi yang berbahaya
justru dimulai dari peraturan yang didesain untuk korupsi. “Di negeri
kita ada kebijakan korupsi by design. Korupsi yang paling berdampak ini
adalah yang melalui by design ini. Ini bisa lihat bagaimana dalam kasus
impor sapi yang membuat peternak lokal tidak bisa ngapa-ngapain. Banyak
kebijakan lain yang kami telisik lagi. Merinding kita lihat datanya,”
ungkap Busyro (merdeka.com, 10/12). Bahkan menurut Wakil Ketua DPR,
Pramono Anung, korupsi sudah menjadi trias koruptika. Sebagai sindiran
bahwa korupsi sudah terjadi di pilar-pilar negara, di eksekutif
(pemerintah), legislatif dan yudikatif.
Korupsi yang sudah
sedemikian mengakar, sistemik, tentu tidak akan bisa diberantas kecuali
dengan upaya pemberantasan yang sistemik, terintegrasi dengan sistem
yang benar dan benar-benar anti korupsi. Sayangnya justru itu yang belum
tampak benar dari upaya pemberantasan korupsi selama ini.
Transparansi Internasional Indonesia menilai bahwa lemahnya koordinasi
antar lembaga pemerintah mengakibatkan praktek korupsi dan suap masih
tinggi di lembaga-lembaga publik. Di Indonesia, GCB 2013 menyebutkan 1
dari 3 orang yang berinteraksi dengan penyedia layanan publik di
Indonesia masih melakukan praktek suap dengan berbagai alasan (ti.or.id,
03/12).
Upaya pemberantasan korupsi masih terhambat oleh
berbagai ironi yang menunjukkan berbagai lembaga negara belum “sehati”
dan tidak saling bersinergi. Ambil contoh, Mahkamah Agung dalam putusan
pada tingkat PK justru membebaskan mantan Direktur Utama PT Bahana
Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), Sudjiono Timan, terpidana kasus
korupsi Rp 369 miliar. Padahal sesuai aturan hal itu tidak bisa terjadi
sebab PK diajukan ketika yang bersangkutan berstatus buron.
Di
sisi lain, ternyata banyak koruptor yang belum bisa dieksekusi oleh
Kejaksaan karena buron, diantaranya lari ke luar negeri. Data ICW, per
16 Oktober 2013, ada sekitar 40 koruptor yang masih buron ke luar
negeri. Celakanya kekayaan para koruptor yang lari itu tidak bisa
dieksekusi untuk pengembalian harta ke negara dikarenakan belum adanya
peraturan yang mengaturnya. Bahkan memang banyak yang belum dieksekusi.
Data laporan hasil audit BPK, piutang Kejaksaan Agung RI per 30 Juni
2012 berupa piutang untuk pengganti hasil korupsi mencapai Rp 12,7
triliun dan US$ 290,4 juta. (merdeka.com, 9/12).
Sementara
masih kurangnya sinergi, diantaranya tampak dari kesulitan KPK menelisik
potensi kerugian negara dari sektor tambang karena belum dipasok
data-data pertambangan oleh Kementerian ESDM. Wakil Ketua KPK, Adnan
Pandu Praja, pada Rabu (4/12) mengungkapkan, Kementerian ESDM belum mau
memberikan data usaha batu bara. Sementara, banyak informasi mengenai
bisnis batu bara yang saling bertentangan. Ditjen Pajak mengaku hanya
bisa menagih kepada 3 ribu pengusaha batu bara. Sementara, pemerintah
sudah memberikan 11 ribu izin pengusahaan batu bara. (Merdeka.com,
4/12).
Pada kondisi pemberantasan korupsi seperti itu, banyak
kalangan sudah memperingatkan tahun depan korupsi akan makin marak
dengan datangnya pemilu, seiring dengan besarnya kebutuhan dana kampanye
caleg, parpol, dan pilpres. Sebab sudah terbukti berbagai pilkada butuh
biaya politik sangat besar, hingga akhirnya sangat banyak kepala daerah
terjerat korupsi. Bisa jadi, hampir-hampir tidak ada kepala daerah yang
benar-benar bebas dari korupsi dan penyelewengan. Hal terakhir ini
sekaligus menunjukkan, problem terbesar pemberantasan korupsi justru ada
pada sistem politik demokrasi yang sarat biaya.
Tuntunan Islam Berantas Korupsi
Pemberantasan korupsi tidak akan bisa dilakukan total dan tuntas jika
sistem politik demokrasi yang sarat biaya tetap dipertahankan dan tidak
diganti. Sebab, sistem itulah yang menjadi salah satu akar persoalan
korupsi. Karena itu komitmen total pemberantasan korupsi haruslah
ditunjukkan dengan meninggalkan sistem politik demokrasi itu dan sistem
kapitalisme pada umumnya. Lalu digantikan dengan sistem Islam yang
datang dari Dzat Yang Mahabijaksana yang Mahatahu apa yang baik dan
membuat baik manusia.
Selanjutnya sistem Islam memberantas
korupsi secara sistemik dan terintegrasi yang secara ringkas ditempuh
melalui lima langkah. Pertama, penanaman iman dan takwa. Dengan itu,
pejabat dan rakyat akan tercegah melakukan kejahatan termasuk korupsi.
Kedua, sistem penggajian yang layak, sehingga tidak ada alasan untuk
berlaku korup. Ketiga, teladan dari pemimpin, sehingga tindak
penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan pun
tidak sulit dilakukan.
Keempat, pembuktian terbalik. Islam memberikan batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul. Rasul SAW bersabda:
«مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ»
Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan
pemberian untuknya (gaji) maka apa yang dia ambil setelah itu adalah
harta ghulul (HR Abu Dawud, Ibn Khuzaimah dan al-Hakim)
Hadits
ini jelas, bahwa harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa
selain pendapatan yang telah ditentukan, apapun namanya, baik hadiah,
fee, pungutan, dsb, merupakan harta ghulul dan hukumnya haram.
Hadits ini mengisyaratkan, bahwa pendapatan pejabat dan aparat hendaknya
diungkap secara transparan sehingga mudah diawasi. Juga mengindikasikan
agar harta pejabat dan aparat dicatat, bukan mengandalkan laporan yang
bersangkutan. Selanjutnya daftar atau catatan harta kekayaan pejabat itu
diperbarui dan diaudit secara berkala. Jika ada pertambahan harta yang
tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan hartanya diperoleh secara
sah. Jika tidak bisa, maka disita sebagian atau seluruhnya dan
dimasukkan ke kas negara.
Kelima, hukuman yang bisa memberi
efek jera. Hukuman itu bisa berupa tasyhir (pewartaan/ekspos), denda,
penjara yang lama, bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan
tingkat dan dampak kejahatannya. Sanksi penyitaan harta ghulul itu juga
bisa ditambah dengan denda. Gabungan keduanya sekarang dikenal dengan
pemiskinan, yang didesakkan untuk segera diberlakukan terhadap koruptor.
Perlakuan itu bukan hanya diterapkan kepada diri pejabat tetapi bisa
juga diterapkan kepada orang-orang dekatnya, sebagaimana yang pernah
dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab dan disetujui oleh para sahabat.
Pencatatan kekayaan, pembuktian terbalik dan sanksi termasuk pemiskinan
yang memberikan efek jera dan gentar ini sangat afektif memberantas
korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar