Tak Sepantasnya Lembek di depan Australia
 [Al-Islam edisi 681, 18 Muharram 1435 H – 22 November 2013 M]
 
 Sejumlah media asing pada Senin (18/11/2013) melaporkan bahwa badan 
mata-mata Australia telah berusaha menyadap telepon Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono (SBY), Ani Yudhoyono istrinya, dan sejumlah menteri 
dalam kabinet SBY. Laporan itu didasarkan pada sejumlah dokumen rahasia 
yang dibocorkan mantan agen National Security Agency (NSA) AS, Edward 
Snowden. Dokumen yang ada di tangan Australian Broadcasting Corporation 
(ABC) dan harian Inggris The Guardian itu, diantaranya menyebut nama 
Presiden SBY dan sembilan orang dekatnya sebagai target penyadapan oleh 
Australia.
 
 Dokumen yang dikategorikan “top secret” ini dibuat 
oleh the Defence Signals Directorate (DSD), yang sekarang dinamai 
Australian Signals Directorate. Informasi rahasia terbaru ini 
menunjukkan sejauh mana penyadapan Australia dilakukan terhadap 
Pemerintah Indonesia.
 
 Baru Bersikap
 
 Setelah muncul 
laporan itu, Pemerintah (Presiden) SBY pun bersikap. Presiden SBY 
sendiri menyatakan melalui tujuh tweet di akun Twitter-nya yang diunggah
 pada Selasa (19/11/2013) dini hari: “Sejak ada informasi penyadapan AS 
& Australia terhadap banyak negara, termasuk Indonesia, kita sudah 
protes keras.” “Menlu & jajaran pemerintah juga lakukan langkah 
diplomasi yang efektif, sambil meminta penjelasan & klarifikasi dari
 AS & Australia.” “Hari ini, saya instruksikan Menlu Marty 
Natalegawa utk memanggil ke Jakarta Dubes RI utk Australia. Ini langkah 
diplomasi yg tegas.” “Indonesia juga minta Australia berikan jawaban yg 
resmi & bisa dipahami masyarakat luas atas penyadapan terhadap 
Indonesia.” “Kita juga akan meninjau kembali sejumlah agenda kerja sama 
bilateral akibat perlakuan Australia yang menyakitkan itu.” “Tindakan AS
 & Australia sangat mencederai kemitraan strategis dgn Indonesia, 
sesama negara demokrasi.” “Saya juga menyayangkan pernyataan PM 
Australia yang menganggap remeh penyadapan terhadap Indonesia, tanpa 
rasa bersalah.”
 
 Menlu Marty Natalegawa memanggil pulang Dubes 
RI dari Canberra, Australia. Pemanggilan Dubes RI tersebut sebagai 
tindakan tegas Pemerintah Indonesia untuk memperingatkan Australia. 
Menlu Marty menyatakan (Senin, 18/11), “Indonesia memanggil pulang Dubes
 di Canberra untuk konsultasi. Ini tidak bisa dianggap ringan.
 
 Pemanggilan itu menunjukkan sikap tegas dan terukur Pemerintah Indonesia.”
 
 Esok paginya Selasa (19/11/2013), Dubes RI untuk Australia Nadjib 
Riphat Kesoema meninggalkan Canberra. Dalam pesan kepada staf kedutaan, 
Nadjib memastikan semua kerja sama Indonesia dengan Autralia, kecuali di
 bidang politik dan pertahanan, tetap berjalan normal (kompas.com, 
19/11).
 
 Sikap Yang Telat
 
 Seharusnya sikap tegas 
ditunjukkan sejak awal terungkapnya kasus penyadapan itu. Sayangnya, 
sikap itu hanya ditunjukkan atas isu penyadapan oleh Australia. Terhadap
 isu penyadapan oleh AS nyaris tidak ada.
 
 Perlu diketahui, Sydney Morning Herald -SMH- (www.smh.com.au),
 menyebutkan (31/10/2013), kantor Kedubes Australia di Jakarta turut 
menjadi lokasi penyadapan sinyal elektronik. Dokumen rahasia NSA yang 
dimuat Der Spiegel menyebut Defence Signals Directorate (DSD) 
mengoperasikan fasilitas program STATEROOM. Yaitu nama sandi program 
penyadapan sinyal radio, telekomunikasi, dan lalu lintas internet oleh 
AS dan para mitranya yang tergabung dalam jaringan ”FVEY” –Five Eye/Lima
 Mata-, yakni Inggris, Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Disebutkan,
 DSD mengoperasikan program itu di fasilitas-fasilitas diplomatik 
Australia termasuk kantor Kedubes Australia yang ada di Jl. HR. Rasuna 
Said, Kuningan Jakarta. Berbagai pembicaraan para pejabat Indonesia 
termasuk Presiden SBY termasuk yang selama ini disadap.
 
 SMH 
pada (31/10/13) juga mengutip buku harian seorang diplomat Defence 
Signals Bureau, diubah menjadi DSD dan sekarang dinamai Australian 
Signals Directorate, bahwa kabel diplomatik Indonesia dibaca secara 
rutin oleh intelijen Australia sejak pertengahan 1950-an dan seterusnya.
 Disebutkan, aksi itu dilakukan bekerjasama dengan intelijen Inggris 
MI6, Pusat Kantor Komunikasi Pemerintahan dan secara lebih intim dengan 
National Security Agency (NSA) AS. Jaringan media Fairfax juga 
mengungkap aksi penyadapan terhadap Presiden SBY saat hadir di KTT G20 
di London.
 
 Sikap Egosentris
 
 Disayangkan yang tampak 
sejak awal justru sikap lembek dan tidak tegas. Sungguh patut 
dipertanyakan, kenapa Presiden SBY tidak menampakkan kegeraman seperti 
ketika menanggapi pemberitaan kesaksian sidang soal Bunda Putri.
 
 Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, 
mempertanyakan reaksi Presiden SBY soal penyadapan, yang baru dilakukan 
setelah telepon Ani Yudhoyono masuk daftar telepon yang disadap oleh 
intelijen Australia. Sebelumnya, reaksi atas penyadapan oleh Amerika 
bahkan nyaris tak terdengar. “Bukankah Indonesia milik rakyat Indonesia 
bukan sekadar milik Pak SBY dan Ibu Ani?” kata Hikmahanto dalam 
keterangan tertulisnya, Selasa (19/11/2013) dini hari (kompas.com, 
19/11).
 
 Padahal isu penyadapan terhadap Presiden SBY, isterinya
 dan sejumlah menteri kabinetnya itu berkaitan dengan kedaulatan negeri 
ini dan marwah bangsa. Sungguh ironis seandainya itu mengindikasikan 
seolah-olah “kedaulatan dan marwah diri sendiri” lebih tinggi dan 
penting dari kedaulatan dan marwah negeri. Itulah bentuk egosentrisme 
dan lemahnya (tidak adanya) sikap kenegarawanan. Bisa jadi itulah 
cerminan dan bukti langkanya negarawan di negeri ini.
 
 Lembek dan Kurang Tepat
 
 Penarikan Dubes RI di Canberra dikatakan oleh Menlu sebagai sikap tegas
 dan terukur. Sayang dampaknya tidak nyata. Buktinya, PM Australia Abbot
 menganggap hubungan RI-Australia baik-baik saja. Abbot pada selasa 
(19/11) menyatakan, “Jelas hari ini mungkin bukan hari terbaik dalam 
hubungan itu. Namun kami memiliki hubungan yang sangat baik dan kuat 
dengan Indonesia.” (kompas.com, 19/11). PM Australia menganggap 
penarikan Dubes RI dari Canberra itu tidak mengurangi kemesraan hubungan
 RI-Australia. Ia menganggap penarikan Dubes RI itu hanyalah untuk 
konsumsi domestik Indonesia, untuk “menyelamatkan” muka pemerintah di 
depan rakyat. Sementara hubungan dengan Australia tidak akan 
terpengaruh.
 
 Penarikan Dubes ini juga bisa dianggap sikap yang 
kurang, sebab hal itu bisa juga dianggap justru Dubes RI itulah yang 
diberi sanksi dan teguran, atas tindakan Australia. Bagaimana tidak, 
Australia yang berulah, justru pejabat RI yang ditarik sementara pejabat
 Australia dan diplomatnya tetap dihormati, aman dan enak-enak 
menjalankan segala kegiatannya –bisa jadi termasuk penyadapan-. Sebab 
penarikan dubes itu tidak disertai (apalagi didahului) pemulangan dubes 
dan diplomat Australia. Kedubes Australia juga tidak diapa-apakan, 
apalagi ditutup. Padahal sesuai pemberitaan SMH dan Der Spiegel, di 
kedubes Australia itulah diantaranya alat dan sarana penyadapan itu 
berada.
 
 Penyadapan itu menunjukkan bahwa Australia tetap 
melakukan “perang” terhadap negeri ini. Sebab penyadapan itu adalah 
bagian dari bentuk Cyber War. Menurut Ketua MPR Sidarto (kompas, 29/7), 
penyadapan terhadap kepala negara adalah bentuk cyber war.
 
 
Penyadapan itu telah menunjukkan Australia bukan negara sahabat yang 
dapat dipercaya dalam hubungan internasional. Selama ini Australia telah
 berkali-kali campur tangan urusan domestik RI dan bersikap lebih 
superior terhadap Indonesia. Australia dulu menjadi sponsor utama bahkan
 “pemicu” lepasnya Timor Timur. Sebagian politisinya jelas-jelas 
mendukung Papua Merdeka. Pada tahun 2006, Australia memberikan suaka 
kepada 42 orang aktivis kemerdekaan Papua. Australia juga “campur 
tangan” dalam program kontra terorisme. Beberapa bulan lalu pemerintah 
Australia bersikap pongah tentang keinginannya menerapkan kebijakan 
“pulangkan perahu” menyikapi imigran gelap yang hendak masuk ke 
Australia. Dan sekarang terungkap Australia sejak lama melakukan 
penyadapan terhadap pemerintah negeri ini. Meski semua itu, Pemerintah 
Australia yakin tetap dianggap sahabat oleh pemerintah Indonesia, yakin 
hubungan Australia-RI akan tetap kuat dan erat (mesra).
 
 Apa 
yang ditunjukkan pemerintah Australia itu jelas bukan perilaku sahabat, 
tapi lebih pas sebagai perilaku musuh. Mestinya, musuh harus diposisikan
 sebagai musuh. Bukan sebaliknya, musuh dianggap teman apalagi sahabat. 
Allah SWT telah mengingatkan:
 
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا 
لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا 
وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا
 
 تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ
 
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman 
kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu. Mereka tidak 
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa 
yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa 
yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh 
telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. 
(TQS Ali Imran [3]: 118)
 
 Sikap seperti itu adalah bunuh diri 
politik dan menunjukkan kelemahan di hadapan musuh. Sikap lemah seperti 
itu bukan sikap yang seharusnya dari seorang mukmin.
 
 وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
 
 Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah kamu bersedih hati, 
padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu 
orang-orang yang beriman. (TQS Ali Imran [3]: 139)
 
 Wahai Kaum Muslimin
 
 Semua itu makin menegaskan bahwa sikap yang konsisten dan tegas hanya 
akan bisa diwujudkan jika petunjuk dari Allah SWT yakni Islam dengan 
Syariahnya dijadikan sebagai pedoman. Hanya dengan itu kemuliaan umat 
ini akan tetap terpelihara, kekayaannya tetap terjaga dan kehormatan 
mereka terlindungi. Dan itu semua hanya bisa diwujudkan melalui tegaknya
 al-Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi 
ash-shawâb.
 
 
 
          
      
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar