[Al-Islam 633] Pemerintah tak akan merealisasikan 
wacana satu hari tanpa BBM bersubsidi untuk melakukan penghematan. 
Pasalnya, besaran angka penghematan tak signifikan, apalagi 
dikhawatirkan akan ada gejolak di tengah masyarakat akibat tak adanya 
BBM bersubsidi (Kompas.com, 27/11).
Awalnya Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) 
mewacanakan hari Ahad 2 Desember sebagai Hari Tanpa Bensin Bersubsidi. 
Rencananya, pada hari itu semua SPBU di pulau Jawa Bali dan lima kota 
besar di luar pulau Jawa Bali yaitu Medan, Batam, Palembang, Balikpapan 
dan Makasar, tidak melayani penjualan BBM bersubsidi dari pukul 06.00 – 
18.00, dan tetap melayani penjualan BBM non subsidi.
Semua itu berawal dari masalah kuota BBM bersubsidi yang diperkirakan
 akan habis sebelum 31 Desember. Kuota BBM bersubsdi di APBN-P 2012 
telah ditambah dari 40 juta kiloliter (APBN 2012) menjadi 44,04 juta 
kiloliter. Sejak awal, kuota APBN-P itu sudah diprediksi tidak akan 
cukup. Menurut Pertaminan, idelanya kuota BBM bersubsidi itu sebesar 
45,25 juta kiloliter.
Karena itu, Pemerintah menilai perlu dilakukan pengendalian 
distribusi BBM bersubsidi agar kuota tidak terlampaui. Secara nasional, 
kuota BBM bersubsidi diperkirakan akan habis tanggal 24 Desember. Untuk 
mengendalikannya, BPH Migas pada tanggal 7 November mengeluarkan surat 
edaran tentang pengendalian distribusi sisa kuota BBM bersubsidi 2012. 
Caranya dengan memotong jatah harian di semua SPBU dan penyalur lain 
1-35% sesuai dengan kuota. Strategi ini dijalankan mulai 19 November.
Setelah 2-3 hari pelaksanaannya mulai tampak antrean panjang di 
sejumlah wilayah dan mengakibatkan kepanikan masyarakat. Penggunaan 
metode kitir oleh Pertamina itu justru menimbulkan ketegangan karena 
panjangnya antrian di beberapa SPBU di daerah seperti Batam, Pangkal 
Pinang, Bangka Belitung dan Kaltim. Bahkan di Barong Tongkok kabupaten 
Kutai Barat Kaltim, terjadi ketegangan berbuntut kerusuhan pada Sabtu 
dini hari (24/11) dan Minggu Pagi (25/11). Mess karyawan pom bensin dan 
sekitar 400 kios pasar ludes terbakar (lihat, Gatra.com, 27/11).
Melihat kejadian itu dan potensi terjadinya kejadian serupa di 
daerah-daerah lain, Pertamina menghentikan pengendalian BBM bersubsidi 
dengan strategi pengkitiran itu. Akibat penghentian itu, Pertamina 
memperkirakan kelebihan kuota BBM bersubsidi bisa mencapai 1,27 juta 
kiloliter. Menurut Wamen ESDM Rudi Rubiandini, BPH Migas dan Pertamina 
mengatasinya dengan memberi ide agar penyaluran Premium dicicil sedikit 
demisedikit. Contohnya dalam sehari ada sekitar tiga jam penjualan 
Premium ditahan(Republika, 27/11).
Over kuota itu sejak awal sudah diperkirakan oleh banyak pihak. Namun
 terlihat pengaturan dan pengendaliannya tidak berjalan dan diperparah 
dengan banyaknya kebocoran. Kaena itu menurut Menkeu, pengendalian BBM 
bersubsidi dapat dilakukan dengan menutup lubang kebocoran akibat 
maraknya penyelundupan. Menurutnya, pengandalian harus dilakukan di 
sektor tambang dan perkebunan. Industri di dua sektor itu banyak 
menikmati jatah BBM bersubsidi di daerah (lihat, Republika, 27/11).
Masalah kebocoran ini sebenarnya sudah diketahui sejak lama. Namun 
seolah pemerintah tak berdaya menindaknya, atau mungkin tak serius. 
Terkesan semua masalah yang terkait dibiarkan. Agaknya semua itu 
ditambah dengan berbagai wacana dan propaganda seputar subsidi 
membahayakan APBN dan tidak tepat sasaran untuk menguatkan situasi dan 
membentuk opini di masyarakat agar bisa menaikkan harga BBM.
Semua kekisruhan seputar BBM itu berpangkal pada liberalisasi migas 
yang sudah direncanakan sejak lama. Liberalisasi migas itu sepenuhnya 
perintah asing yang dipaksakan IMF, dituangkan di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies
 (LoI IMF, Jan. 2000). Juga diperintahkan oleh Bank Dunia dengan 
menjadikannya syarat pemberian utang seperti tercantum di dalam dokumen Indonesia Country Assistance Strategy
 (World Bank, 2001). Langkah strategisnya adalah dengan dibuat UU Migas 
yang mengamanatkan liberaliasasi. Untuk memastikannya, mereka kawal 
sejak penyusunan rumusan UU. Dokumen program USAID, TITLE AND NUMBER: 
Energy Sector Governance Strengthened, 497-013 menyebutkan: “Tujuan 
strategis ini akan menguatkan pengaturan sektor energi untuk membantu 
membuat sektor energi lebih efisien dan transparan, dengan jalan 
meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, 
mempromosikan keterlibatan sektor swasta…” Juga disebutkan “ADB dan 
USAID bekerja sama dalam menyusun UU Migas baru pada tahun 2000. 
Melengkapi upaya USAID itu, Bank Dunia telah melakukan studi 
komprehensif sektor migas, kebijakan penentuan harga …
Hasilnya, UU Migas No. 22 th. 2001 disahkan, liberalisasi migas 
menjadi amanatnya baik di sektor hulu maupun hilir. Di sektor hulu hal 
itu ditegaskan pada Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 dan lainnya. Hasilnya, 
asing makin menguasai sektor hulu migas, hingga 80%. Pertamina sebagai 
milik negara dengan UU tersebut dibiarkan berebut bahkan bergelut dengan
 asing untuk bisa mengelola migas di negerinya sendiri. Ibaratnya, 
negara sebagai bapak justru mengharuskan Pertamina sebagai anaknya untuk
 bergelut dengan anak orang asing yang lebih besar, untuk bisa mengelola
 kekayaan keluarga di pekarangan sendiri.
Belum lama Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 
ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), 
Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 yang berimplikasi pembubaran BP
 Migas. Hal itu sempat diharapkan bisa meminimalkan liberalisasi. 
Nyatanya tak terjadi perubahan apa-apa kecuali hanya nama. Perpres No. 
59 Tahun 2012 yang mengalihkan seluruh proses pengelolalaan kegiatan 
yang sedang ditangani BP Migas kepada Kementerian ESDM pun diterbitkan. 
Kementerian ESDM lalu mengeluarkan Kepmen ESDM No. 3135 Tahun 2012 
tentang Pengalihan Tugas, Fungsi dan Organisasi dalam Pelaksanaan 
Kegiatan Usaha Hulu Migas. Dibentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksanaan 
Kegiatan Hulu Migas (SKSP Migas) atau ‘New BP Migas’, menggantikan BP 
Migas. Namun yang terjadi hanyalah pergantian nama seperti pergantian 
acara Empat Mata dengan Bukan Empat Mata.
Di sektor hilir, liberalisasi itu memerintahkan penghapuasan subsidi.
 UU Migas No. 22 th. 2001. Pasal 2 yang menyatakan bahwa niaga migas 
diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, 
dan transparan. Maknanya, sesuai mekanisme pasar dan harganya ditentukan
 mengikuti harga pasar (internasional). Blue Print Pengembangan Energi 
Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM menyatakan: Program utama (1) 
Rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga 
BBM dengan harga internasional. Artinya, pencabutan subsidi BBM. Sejak 
itu tiap tahun ancaman pencabutan dan kenaikan harga BBM terus 
menghantui masyarakat.
Ironisnya, kenaikan harga BBM itu yang terus didesakkan itu hanya 
menguntungkan swasta khususnya asing. Sejak awal, seperti dikatakan 
menteri ESDM kala itu Purnomo Yusgiantoro, kenaikan harga BBM memang 
untuk membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam 
bisnis eceran migas (lihat, Kompas, 14 Mei 2003). Apalagi sudah ada 105 perusahaan yang mendapat izin termasuk membuka SPBU (Trust, 11/2004).
 Beberapa seperti Shell, Total, Petronas sudah membuka SPBU dan akan 
disusul lainnya. Namun hingga saat ini keuntungan besar yang mereka 
bayangkan tidak kunjung diperoleh, sebabnya harga BBM belum dinaikkan. 
Jika SPBU-SPBU asing itu tidak bisa ikut menyalurkan BBM bersubsidi 
seperti yang santer diberitakan beberapa waktu lalu, maka desakan 
kenaikan harga BBM akan makin kuat. Hal itu juga sejalan dengan garis 
kebijakan pemerintah dalam hal liberalisasi migas.
Itu artinya kisruh seputar BBM bersubsidi mungkin akan terus 
berlanjut sampai harga BBM mengikuti harga pasar/internasional. Jika itu
 terjadi yang untung adalah asing, sementara rakyat dipastikan buntung. 
Selain itu, liberalisasi membuat asing bisa menguasai baik di hulu 
maupun hilir migas. Itu sama saja memberi jalan kepada asing untuk 
menguasai kaum Mukminin, sesuatu yang diharamkan olah Allah dalam QS 
an-Nisa [4]: 141.
Migas dan SDA yang melimpah lainnya dalam pandangan Islam merupakan 
milik umum. Pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk 
kesejahteraan rakyat. Tambang migas itu tidak boleh dikuasai swasta 
apalagi asing. Abyadh bin Hammal menceritakan bahwa ia pernah 
menghadap kepada Nabi saw dan minta diberi tambang garam yang menurut 
Ibnu Mutawakkil, berada di daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. 
Namun saat ia akan pergi, ada seseorang yang berada di majelis berkata 
kepada Rasul : “Tahukah Anda apa yang Anda berikan padanya, sungguh Anda
 memberinya sesuatu laksana air yang terus mengalir.” Maka beliau pun 
menariknya kembali darinya (HR. Baihaqy dan Tirmidzy).
Rasul saw juga bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Karena itu, kebijakan kapitalistik, yakni 
liberalisasi migas baik di sektor hilir termasuk kebijakan harganya, 
maupun di sektor hulu yang sangat menentukan jumlah produksi migas, dan
 kebijakan zalim dan khianat serupa harus segera dihentikan. Sebagai 
gantinya, migas dan SDA lainnya harus dikelola sesuai dengan syariah. Jalannya
 hanya satu, melalui penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai
 Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwah. Saat itulah SDA dan migas 
akan menjadi berkah yang menyejahterakan seluruh rakyat. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Tidak ada komentar:
Posting Komentar