Kamis, 30 Januari 2014

Mahalnya Biaya Capres

[Al-Islam edisi 691, 29 Rabiul Awal 1435 H – 31 Januari 2014 M]

Seorang calon presiden butuh dana hingga Rp 3 triliun untuk mengikuti pemilihan presiden di Indonesia. Hal ini karena capres sudah harus bergerak sebelum rangkaian kampanye yang ditetapkan KPU. ”Dana yang dilaporkan ke KPU hanya Rp 300 miliar-Rp 500 miliar. Ini karena penghitungan dimulai sejak tahapan resmi KPU dimulai”, kata Ketua Balitbang Partai Golkar Indra J Piliang di Jakarta, Sabtu (25/1).

Dana triliunan rupiah itu digunakan untuk membiayai perjalanan sosialisasi, relawan, logistik partai, pertemuan dengan ormas, survei, dan iklan. ”Proporsi untuk iklan cukup banyak karena bisa menjangkau seluruh Indonesia. Hanya turun ke lapangan saja tidak akan efektif,” ujar Indra. (kompas.com, 26/1).

Menurut Pengamat politik dari Charta Politika, Arya Fernandes, ada tiga faktor yang membuat biaya capres makin mahal (inilah.com, 26/1). Pertama, adanya perubahan model kampanye dengan pemilihan presiden secara langsung. Menurutnya, perubahan ini membuat biaya politik sangat mahal. Yang diuntungkan orang-orang yang punya duit banyak.

Faktor kedua, munculnya iklan di televisi yang menjadi alat efektif untuk pengaruhi pemilih dan jangkauannya yang luas. Arya mencontohkan, dana kampanye Obama (Presiden AS) setelah 2008, sebanyak 54% habis di iklan. Menurutnya, di 2014 nanti, setengah dana capres juga akan habis di iklan.

Faktor ketiga, pergeseran politik yang makin personal, maka orang makin butuh personal branding (pencitraan personal). Semua itu butuh biaya. Biaya mahal juga dibutuhkan bagi siapa saja yang maju dalam pemilu legislatif.

Mahalnya biaya capres bukan hanya terjadi di negeri ini. Mahalnya biaya menjadi pemimpin bisa jadi merupakan karakteristik sistem politik demokrasi. Di negara yang demokrasinya dianggap lebih maju, biaya pencapresan juga sangat mahal.

Di Amerika Serikat misalnya, menurut Center for Responsive Politic (http://www.opensecrets.org/pres12/) pada pemilu presiden 2012 lalu dana yang dibelanjakan oleh tim kampanye Mitt Romney, calon dari Republik yang kalah mencapai US$ 1,238 miliar atau sekitar Rp 12,38 triliun (1 US$= Rp 10.000). Sementara belanja tim kampanye Obama mencapai US 1,107 miliar dolar atau sekitar Rp 11.07 triliun.

Sementara itu Politico melaporkan bahwa ketua Federal Election Commission Ellen Weintraub mengumumkan belanja pemilu di AS tahun 2012 mencapai US$ 7 miliar. Terdiri dari total belanja kandidat US$ 3,2 miliar, belanja partai US$ 2 miliar dan belanja grup luar (organisasi pendukung) US 2,1 miliar (http://www.motherjones.com/mojo/2013/02/2012-election-cost-7-billion-obama-romney).
Obama pada tahun 2008 membelanjakan US$ 730 juta atau sekitar Rp 7,3 triliun untuk menjadi presiden AS. Jumlah itu dua kali jumlah yang dibelanjakan oleh George Bush pada tahun 2004 dan lebih dari 260 kali yang dibelanjakan Abraham Lincoln pada tahun 1860 (jika dihitung dengan dolar pada tahun 2011).

Biaya besar juga masih tetap dibutuhkan untuk pencapresan di Perancis. Padahal biaya pencapresan di Perancis dianggap sangat murah. Sebab belanja kampanye dibatasi oleh Undang-undang, termasuk tidak boleh ada iklan di televisi dan setiap kandidat diberi dana kampanye oleh negara sebesar 8 juta Euro. Meski demikian, pada tahun 2007 Sarkozy untuk memenangi pemilu dan menjadi presiden harus membelanjakan 21 juta Euro. Sementara lawannya seorang sosialis Ségolène Royal membelanjakan 20 juta Euro (http://www.huffingtonpost.com/sophie-meunier/france-election-laws_b_1438456.html)

Kompensasi
Pertanyaannya, dari mana dana sebesar itu? Dana sebesar itu sebagian bisa berasal dari kantong kandidat sendiri. Sebagian lainnya berasal dari donor, baik perusahaan atau individu, termasuk sumbangan kecil-kecil dari individu.

Ada pepatah, tidak ada makan siang gratis. Semua donasi itu, terutama yang berasal dari perusahaan atau individu kapitalis/pemilik modal, tentu tidak gratis, melainkan harus diberi kompensasi baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hitungan kapitalis, donasi itu merupakan investasi yang harus kembali beserta keuntungan.

Kompensasi kepada para pemodal kampanye itu bisa diberikan secara langsung dalam bentuk proyek-proyek. Karena itulah, kenapa tak jarang terdengar atau terungkap adanya pengaturan proyek untuk pihak-pihak tertentu baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.

Kompensasi juga bisa diberikan secara tidak langsung. Yaitu dengan jalan dibuat kebijakan-kebijakan, peraturan dan undang-undang yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan kapitalis. Contohnya, pemberian berbagai fasilitas fiskal, keringanan pajak, pajak ditanggung negara, pembebasan bea, dan sebagainya. Atau kebijakan pemberian konsesi pengusahaan tambang, hutan, perkebunan dan sebagainya. Dan jika perlu peraturan diubah untuk mengakomodasinya. Bisa juga dalam bentuk peraturan yang membuka jalan bagi investasi kapitalis secara leluasa, seperti berbagai peraturan dan undang-undang liberal misal, UU penanaman modal, UU Migas, UU kelistirikan, UU Minerba, UU pengadaan tanah, UU SJSN dan BPJS, dan sebagainya.

Akibatnya, negara pun menjadi korporatokrasi di mana pemerintahan dan pengaturan negara dilakukan layaknya perusahaan. Hubungan rakyat dengan pemerintah tidak lagi hubungan pelayanan dan ri’ayah, tetapi menjadi seperti hubungan dagang, di mana pemerintah bertindak sebagai pedagang dan rakyat diposisikan sebagai konsumen. Akibat lainnya, kekayaan alam yang semestinya menjadi milik seluruh rakyat akhirnya diserahkan kepada swasta. Keuntungannya lebih banyak untuk kemakmuran para kapitalis. Di sisi lain, berbagai subsidi untuk rakyat pun dikurangi dan jika mungkin dihilangkan. Makin besarnya biaya politik baik untuk capres maupun caleg, maka corak korporatokrasi itu ke depan akan makin kental. Kepentingan rakyat akan makin terpinggirkan.

Konsekuensi
Mahalnya biaya politik menjadi capres dan caleg itu juga akan melahirkan konsekuensi berupa pengembalian modal yang dikeluarkan oleh calon. Jika jalan legal yang ditempuh, maka akan ada pelegalan agar penguasa dan politisi (anggota legislatif) memiliki penghasilan legal yang besar. Setidaknya kecenderungan seperti itu telah berkali-kali tampak. Misalnya dalam berbagai usulan agar gaji anggota legislatif atau gaji pejabat termasuk presiden dinaikkan. Jika pun gaji tidak naik, maka penghasilan yang bisa dibawa ke rumah oleh seorang pejabat akan dibuat sebesar mungkin.

Saat ini, ternyata penghasilan gubernur dan wakil gubernur bisa dibilang sangat besar dan semuanya legal menurut peraturan yang ada. Hal itu bisa seperti yang dirilis oleh LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) tentang pendapatan yang diterima gubernur dan wakil gubernur (wagub) dalam sebulan (http://news.liputan6.com/read/761648/10-gubernur-gaji-tertinggi-jokowi-teratas-riau-terbuncit).

Menurut Knowledge Manager Fitra Hadi Prayitno, penghasilan gubernur dan wagub yang besar, datang dari gaji pokok yang dilipatgandakan. Hal itu sesuai PP Nomor 69 Tahun 2010, dan tunjangan operasional berdasarkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sesuai PP no 109 Tahun 2000. Makin besar PAD, penghasilan gubernur dan wagub akan makin besar. Data FITRA itu menyebutkan diantaranya penghasilan perbulan Gub. DKI Jakarta Rp 1,759 miliar dan Wagub Rp 1,740 miliar; Gubernur Jabar Rp 710,026 juta dan Wagub Rp 691,546 juta; Gubernur Jatim Rp 670,843 juta dan Wagub Rp 655,723 juta. Angka itu adalah angka penghasilan berasal dari gaji, tunjangan dan pendapatan lainnya sesuai peraturan.

Konsekuensi dari mahalnya biaya politik itu, ke depan akan bisa disaksikan dibuatnya peraturan dan UU yang memberikan gaji, tunjangan, fasilitas dan penghasilan yang makin besar untuk penguasa dan anggota legislatif. Para penguasa dan politisi akhirnya tidak lagi berperan sebagaimana seharusnya yaitu sebagai pemelihara dan pelayan umat, tetapi justru menjadi tuan bagi rakyat dan rakyat diposisikan sebagai pelayan. Padahal peran penguasa adalah memelihara dan mengatur urusan-urusan rakyat. Kepentingan dan kelaslahatan rakyat haruslah dikedepankan dan diutamakan, bukan kepentingan pribadi. Rasul saw bersabda:
«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ»
“Dan seorang pemimpin adalah pemelihara kemaslahatan masyarakat dan dia bertanggungjawab atas mereka.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)

Konsekuensi lain dari mahalnya biaya politik itu, adalah terjadinya korupsi, kolusi, manipulasi dan sejenisnya, untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan. Sudah menjadi anekdot bahwa dalam lima tahun menjabat, dua tahun awal untuk mengembalikan modal dan dua tahun terakhir untuk mengumpulkan modal bagi proses politik berikutnya. Dalam Islam hal itu adalah haram dan dilarang keras, bahkan pelakunya diancam tidak akan masuk surga. Rasul saw bersabda:

«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Tidaklah seorang hamba diserahi Allah mengurus urusan rakyat, dia mati dan pada hari kematiannya ia menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan baginya surga (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)

Wahai Kaum Muslimin
Semua itu akan berujung pada terjadi kerusakan akibat kebijakan, peraturan dan perundangan yang bercorak liberal kapitalistik berlandaskan ideologi sekuler. Juga akibat perilaku buruk dan merusak yang dilakukan oleh para penguasa, pejabat dan politisi.

Tidak ada jalan untuk memperbaiki dan menyelamat masyarakat dari semua kerusakan itu kecuali dengan kembali kepada petunjuk dan aturan yang diturunkan oleh Allah yang Maha Bijaksana. Dan itu tidak lain adalah dengan menerapkan syariah secara total di bawah naungan sistem politik yang digariskan oleh Islam yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.

Hikmah Bencana Alam: Antara Musibah dan Buruknya Ri’ayah

[Al-Islam edisi 690, 22 Rabiul Awal 1435 H – 24 Januari 2014 M]

Rentetan musibah bencana alam melanda sejumlah wilayah di tanah air. Di DKI Jakarta, 50 kelurahan terendam banjir. Di Subang ribuan rumah di 12 kecamatan dilanda banjir. Banjir juga melanda daerah-daerah lain seperti  di Bekasi, Indramayu, Pamanukan, Pekalongan, Pemalang, Batang, Kendal, Semarang, Pati, Kudus, Jepara, dll. Akibat banjir-banjir, puluhan ribu orang harus mengungsi dari tempat tinggal mereka.

Banjir juga melanda daerah di luar Pulau Jawa seperti di sejumlah daerah di Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara. Manado, Ibukota Provinsi Sulawesi Utara, porak poranda akibat banjir, 18 warganya meninggal. Sejumlah kendaraan bahkan rumah ikut hanyut tersapu banjir.
Di samping itu, erupsi gunung Sinabung di Sumatera Utara menjadi bencana bagi warga. Sekitar 28 ribu jiwa dari 34 desa harus mengungsi. Kerugian yang ada mencapai ratusan miliar rupiah.

Qadha’ Allah
Musibah adalah bagian dari ketetapan (qadha’) Allah SWT., termasuk banjir dan erupsi gunung. Ini harus diimani.
قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
 “Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.’” (TQS. at-Tawbah [9]: 51).

Atas dorongan iman, musibah harus kita sikapi dengan lapang dada, ridha, bersabar, bertawakal kepada-Nya dan mengembalikan semuanya kepada Allah yang Mahakuasa (QS al-Baqarah: 155-157).

Dengan sikap itu, musibah yang datang akan menjadi kebaikan, diantaranya akan mendapat apa yang disabdakan oleh Rasul saw:
« مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً »
Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah tertusuk duri atau lebih dari itu, kecuali dengannya Allah tinggikan dia satu derajat atau Allah hapuskan darinya satu kesalahan. (HR Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad)

Lebih dari itu, melalui bencana, Allah ingin menunjukkan kekuasaan-Nya kepada manusia. Dengannya Allah juga mengingatkan bahwa manusia itu lemah, akalnya terbatas dan membutuhkan bantuan Allah. Sehingga tidak sepantasnya sombong di hadapan kekuasaan Allah, atau menyangka telah sanggup menguasai dan mengatur dunia seraya meninggalkan petunjuk dari Allah yang Maha Bijaksana.

Faktor Manusia
Meski musibah merupakan qadha’ Allah, namun proses terjadinya bencana dan besarnya dampak bencana banyak dipengaruhi atau akibat ulah manusia. Allah SWT berfirman:

]وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ[
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (TQS. asy-Syura [42]: 30).

Banjir terjadi ketika neraca air permukaan positif. Neraca air ditentukan empat faktor: curah hujan; air limpahan dari wilayah sekitar; air yang diserap tanah dan ditampung oleh penampung air; dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar. Dari semua itu, hanya curah hujan yang tidak bisa kendalikan oleh manusia.

Jumlah air yang terserap tanah tergantung jenis tanah dan keberadaan tumbuhan di atasnya. Limpahan air dari wilayah sekitar sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang terserap tanah wilayah sekitar itu. Makin banyak vegetasi, makin tinggi daya serapnya. Makin luas wilayah resapan dan terbuka hijau, dan makin banyak wilayah penampung air, akan makin besar jumlah air yang tertampung dan terserap tanah. Penggundulan hutan, pengeringan dan penimbunan rawa dan situ atau mengubah fungsinya secara drastis, dan makin luasnya permukaan tanah yang tertutup bangunan dan aspal, semua itu akan memicu bencana banjir. Itulah yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya.

Pembangunan selama ini dilakukan serampangan, mengabaikan kelestarian lingkungan dan tidak harmonis dengan alam. Semakin banyaknya daerah resapan air yang hilang. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2010, Jakarta kehilangan 476 hek­tare (ha) ruang terbuka hijau dan 3.384 ha areal resapan air. Jika diakumulasikan, luasnya mencapai angka 4 ribu ha (RMOL.com, 18/10/2010).

Pada tahun 2009, Walhi mencatat akibat pembangunan yang mengabaikan kepentingan lingkungan ada sekitar 56 situ di kawasan Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi dan Bogor hilang (tempo.co, 28/3/2009). Sementara itu 80 persen situ yang ada mengalami kerusakan. Hilangnya beberapa situ akibat ditimbun dan di atasnya dibangun pemukiman dan kawasan bisnis. Sementara daerah resapan, di Jakarta tak sampai 10% sangat jauh dari angka minimal 30% yang disyaratkan, semuanya tergusur oleh pembangunan menjadi tertutup beton dan aspal. Sedangkan di Puncak, kehilangan fungsi resapan itu hingga 50 persen jika dibandingkan kondisi 15 tahun lalu. (lihat, Tempo.co.id, 18/1/2013)

Buruknya Ri’ayah
Kerusakan ini menunjukkan buruknya ri’ayah atau pengelolaan urusan masyarakat oleh negara. Negara lebih mengedepankan unsur bisnis ketimbang melayani hajat rakyat. Sudah lazim diketahui bahwa pemerintah daerah maupun pusat kerap tunduk pada kepentingan para pengusaha kuat. Termasuk mengalihfungsikan lahan yang semestinya menjadi kawasan resapan air dan pencegah longsor menjadi kawasan bisnis atau pertambangan.

Manajer Penanganan Bencana WALHI Nasional, Mukri Friatna, mengatakan sejumlah perusahaan pertambangan seperti Sinar Mas, Newmont di Lombok Barat, Exxon Mobil di Aceh, dan yang paling punya kontribusi (merusak) adalah Freeport sebagai penyebab bencana (waspada.co.id, 19/1).
Di sisi lain tidak bisa dipungkiri, banyak warga berperilaku buruk, seperti kebiasaan membuang sampah di sungai atau membangun pemukiman di bantaran kali, yang kebanyakan dilakukan oleh rakyat kecil. Namun harus diingat, itu hanya sebagian dari faktor penyebab banjir. Ada faktor lain, yang mungkin lebih besar, yaitu faktor kerakusan pemilik modal dan orang kaya serta pejabat. Penimbunan situ; hilangnya daerah resapan oleh pembangunan mall, gedung, pemukiman; pembangunan vila sembarangan, penambangan, dsb, hanyalah sebagian kecil dari wujud kerakusan itu.

Semua itu, bisa terjadi juga diakibatkan kelalaian penguasa dalam menegakkan aturan dan melayani kepentingan masyarakat, dan buruknya ri’ayah atau pengaturan masyarakat. Itu bisa jadi merupakan faktor paling signifikan terjadinya bencana banjir, banjir bandang dan tanah longsor, dan lainnya.
Semua itu masih diperparah dengan buruknya ri’ayah dalam menangani dan mengatasi bencana. Kompas (21/1) menulis, “meski rutin menghadapi banjir atau tanah longsor, penanganan bencana hidrometeorologis di berbagai daerah tetap kedodoran. Keterlambatan evakuasi korban dan kurang terurusnya pengungsi masih terjadi. Lemahnya koordinasi antarlembaga dan rendahnya kesadaran masyarakat memperburuk keadaan.”

Banjir, banjir bandang dan tanah longsor sebenarnya bisa dicegah. Potensi bencana yang mengancam bisa dikurangi. Namun data bencana yang ada belum dimanfaatkan optimal. Peta kerawanan bencana, data curah hujan, peringatan pergerakan tanah, peringatan cuaca ekstrem, dan pengalaman bencana sebelumnya tidak dijadikan pembelajaran untuk mengantisipasi bencana. Saat bencana melanda, politisi dan penguasa mencari kambing hitam, menyalahkan penguasa sebelumnya, bahkan menyalahkan hujan, lempar tanggung jawab dan manajemen penanganan bencana tidak terpadu. Kepemimpinan pun tidak tampak dalam mengantisipasi, menangani dan mengatasi bencana. Lemahnya koordinasi antar lembaga dan antar daerah menjadi bukti. Pemerintahlah yang bisa memobilisasi, mengkoordinasi dan memenej semua sumberdaya termasuk swasta dan masyarakat untuk mencegah, mengantisipasi, menangani dan mengatasi bencana, sayangnya hal itu belum terlihat. Masyarakat yang jadi korban bencana harus menjadi korban lagi atas lemah dan tidak efektifnya penanganan bencana.

Saat bencana usai, masyarakat dan pemerintah khususnya, mengalami amnesia bencana; lupa melakukan perbaikan, tidak bertindak sigap dan cepat meluruskan yang salah, gagap melakukan apa yang semestinya dilakukan dan terus mengulangi kesalahan-kesalahan sebelumnya.

Menyempurnakan Perbaikan dan Taubat
Masalah terjadinya bencana alam, banjir, banjir bandang, tanah longsor dan dampaknya bukan hanya masalah teknis tetapi juga merupakan masalah sistemis ideologis. Sebab masalahnya juga menyangkut tata ruang yang tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang menempati bantaran sungai, keserakahan yang membuat daerah hulu digunduli, daerah resapan ditanami gedung dan mall demi pendapatan daerah dan memuaskan nafsu kapitalis, sistem anggaran yang tidak adaptable untuk atasi bencana, pejabat dan petugas yang tidak kompeten dan abai mengadakan dan mengawasi infrastruktur, penguasa dan politisi yang lalai mengurusi dan menjamin kemaslahatan rakyat, dsb. Semuanya itu saling terkait dan berhulu pada paham politik kapitalisema, ide mendasar bahwa semua itu diserahkan kepada mekanisme pasar dan proses demokratis, dan ideologi sekuler kapitalisme.
Semua itu merupakan kerusakan (fasad) yang harus diperbaiki dan kemaksiatan yang harus ditaubati. Perbaikan dan taubat yang harus dilakukan tidak cukup pada tingkat individu dan kelompok, tetapi juga pada tingkat masyarakat dan sistem ideologis. Perbaikan, ikhtiar dan taubat harus disempurnakan dengan meninggalkan sistem ideologi kapitalisme demokrasi dan menggantinya dengan sistem ideologi Islam. Dan itu hanya bisa wujudkan melalui penerapan syariah secara menyeluruh di bawah naungan Khilafah. Inilah perbaikan, ikhtiar dan taubatan nashuha yang ahrus segera dilakukan dan diwujudkan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

Kamis, 16 Januari 2014

Pemerintah Melegalkan Khamr: Membuka Pintu Kerusakan

[Al-Islam edisi 689, 15 Rabiul Awal 1435 H-17 Januari 2014 M]

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani peraturan presiden (perpres) baru tentang pengendalian minuman beralkohol (mihol). Aturan baru itu adalah Perpres No. 74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang ditandatangani SBY pada 6-12-2013. Melalui peraturan itu, pemerintah kembali mengategorikan minuman beralkohol sebagai barang dalam pengawasan. (lihat, Republika.co.id, 3/1/2014).

Khamr Tidak Dilarang, Hanya Diatur

Perpres itu menegaskan bahwa khamr pada dasarnya tidak dilarang. Hanya, produksi dan peredaran/penjualan khamr diatur dan diawasi. Pasal 3 ayat 3: “Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi pengawasan terhadap pengadaan minuman beralkohol dari produksi dalam negeri atau asal impor serta peredaran dan penjualannya.”

Perpres itu membagi minuman beralkohol (mihol) dalam tiga golongan. Golongan A, mihol dengan kadar etanol sampai 5%. Golongan B, mihol dengan kadar etanol 5 – 20 %. Dan golongan C, mihol dengan kadar etanol 20 – 55 %.

Menurut Perpres ini, mihol hanya boleh diproduksi oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin usaha industri dari Menteri Perindustrian; atau diimpor oleh pelaku usaha yang memiliki izin impor dari Menteri Perdagangan. Peredararan mihol hanya dapat dilakukan setelah memiliki izin dari Kepala BPOM Kemenkes. Dan dari Pasal 4 ayat 4, mihol hanya dapat diperdagangankan oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin memperdagangkan Minuman Beralkohol dari Menteri Perdagangan.

Pasal 7, mihol golongan A, B, dan C hanya dapat dijual di: a. Hotel, Bar, dan Restoran yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepariwisataan; b. Toko bebas bea; dan c. Tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk DKI Jakarta. Di luar tempat-tempat tersebut, mihol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Perpres ini juga memberikan wewenang kepada Bupati/Walikota dan Gubernur untuk DKI Jakarta menetapkan pembatasan peredaran mihol dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya lokal.

Jadi Perpres itu jelas melegalkan mihol (khamr). Menurut Perpres itu, khamr legal untuk diproduksi dan diimpor, asal mendapat izin. Khamr juga legal untuk dijual ditempat tertentu asal ada izin. Bahkan khamr golongan A boleh dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan, seperti dalam botol, kaleng, kemasan pack, dan sebagainya.

Bukan Demi Kemaslahatan Umat

Dengan otonomi daerah banyak daerah membuat perda anti miras. Banyak diantaranya lalu disebut perda syariah anti miras.

Namun perda-perda itu dipersoalkan oleh Kemendagri karena dianggap menyalahi Kepres No. 3/1997. Kepres itu tidak melarang miras (khamr) tetapi hanya mengatur pembatasan miras (khamr).
Kepres No. 3/1997 itu pun digugat ke Mahkamah Agung. Pada tanggal 18 Juni 2013, MA melalui putusan MA Nomor 42P/HUM/2012 menyatakan Kepres No. 3/1997 itu sebagai tidak sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Maka dibuatlah Perpres No. 74/2013 untuk menggantikan Kepres tersebut. Jika dilihat isinya masih sama, hanya sedikit perubahan dan tambahan.

Jika Kepres No. 3/1997 dipakai untuk mempersoalkan perda-perda anti miras, hal itu akan terulang dengan Perpres No. 74/2013 ini. Kapuspen Kemendagri, Restuardy Daud, mengatakan, perpres yang baru juga tak serta-merta memberikan pemda kebebasan tak terbatas menerbitkan perda pelarangan minuman keras. Ia mengatakan, “Perpres itu mengatur pengendalian dan pengawasan dan nantinya akan sinkronisasi dengan peraturan daerah” (Republika.co.id, 3/1/2014). Ia menegaskan, Perpres 74/2013 tetap harus ditaati meskipun kepala daerah atau pun Dinas Perdagangan Perindustrian terkait mempunyai regulasi tertentu.

Artinya, Kemendagri akan “mengklarifikasi” perda-perda syariah anti miras agar tak berbenturan dengan perpres yang baru. Itu sama saja meminta (memerintahkan) agar perda-perda syariah anti miras dibatalkan atau diubah sehingga tidak lagi melarang miras secara total, tetapi hanya mengatur dan membatasinya yaitu melaksanakan Perpres 74/2013 itu. Dengan itu maka kegaduhan yang terjadi sebelumnya sangat boleh jadi akan terulang. Jika itu benar-benar terjadi, maka penyebabnya adalah terbitnya perpres ini.

Padahal aspirasi masyarakat banyak menginginkan agar miras yaitu khamr dilarang. Sudah banyak sekali akibat buruk yang muncul akibat miras. Meski diklaim Perpres itu untuk melindungi masyarakat, yang terjadi justru sebaliknya. Perpres itu ibarat membuka pintu kerusakan. Sebab khamr (miras) adalah pintu kerusakan, induk keburukan. Nabi saw memperingatkan:

«الْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ وَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ مِنْهُ صَلاَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا فَإِنْ مَاتَ وَهِىَ فِى بَطْنِهِ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً »
“Khamr itu adalah induk keburukan dan siapa meminumnya, Allah tidak menerima sholatnya 40 hari. Jika ia mati dan khamr itu ada di dalam perutnya maka ia mati dengan kematian jahiliyah.” (HR ath-Thabrani, ad-Daraquthni, al-Qadha’iy)

Menurut WHO sebanyak 320.000 orang di dunia meninggal per tahun karena penyakit berkaitan dengan alkohol. Di daerah, Kapolres Kendari AKBP Anjar Wicaksana, pernah menyebutkan, penyebab kejahatan yang banyak terjadi dalam kurun waktu Bulan Juni 2013 sekitar 80% dimulai dari konsumsi miras (baubaupos.com/16/7/2013). Sementara itu Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Polri Kombes (Pol) Agus Rianto mengemukakan, kecelakaan yang disebabkan pengendara mengkonsumsi miras hingga pertengahan tahun 2013 ada 49 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya (jaringnews.com/12/8/2013). Begitu pula sudah banyak diungkap, para pelaku kejahatan biasanya menenggak khamar sebelum beraksi.

Di sisi lain, yang untung jelas para “pebisnis khamr”. Sebab bisnis jalan terus, uang pun terus mengalir, meski sedikit terpengaruh. Negara juga mendapat pemasukan dari cukai dan pajak mihol. Ironisnya, semua itu dengan mengorbankan kemaslahatan masyarakat pada umumnya. Semua itu terjadi karena yang dijadikan pegangan adalah ideologi sekuler demokrasi kapitalisme. Demokrasi menyerahkan pembuatan hukum kepada manusia. Sementara, doktrin ekonomi kapitalisme, menganggap khamr, sebagai barang ekonomis, selama ada permintaan, harus dipenuhi. Maka tidak boleh dilarang, hanya diatur saja.

Islam Membabat Khamr

Berbeda dengan peraturan buatan manusia itu, dalam Islam khamr adalah haram. Allah SWT berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (TQS al-Maidah [5]: 90)

Rasul saw. menjelaskan bahwa semua minuman yang memabukkan merupakan khamr dan haram.

«كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ»
“Semua yang memabukkan adalah khamr dan semua khamr adalah haram.” (HR Muslim)

Keharaman khamr itu berlaku baik sedikit ataupun banyak.
«مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ»
“Apa (minuman/cairan) yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya adalah haram” (HR Ahmad dan Ashhabus Sunan)

Khamar itu haram dijual. Rasul saw. menegaskan:
«إِنَّ الَّذِي حُرِّمَ شَرْبُهَا حُرِّمَ بَيْعُهَا»
“Sesungguhnya apa yang diharamkan meminumnya maka diharamkan pula menjualnya.” (HR Muslim)

Selain itu, terkait Khamr ada sepuluh pihak yang dilaknat. Dari Anas bin Malik bahwa Rasul saw bersabda:

«لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ r فِي الخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا، وَالمُشْتَرِي لَهَا، وَالمُشْتَرَاةُ لَهُ»
“Rasulullah saw melaknat dalam hal khamr sepuluh pihak: yang memerasnya, yang diperaskan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan, yang menuangkan, yang menjualnya, yang memakan harganya, yang membeli dan yang dibelikan.” (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah)

Dari semua itu, maka Islam tegas melarang dan mengharamkan khamr. Juga melarang penjualan khamr dan sepuluh pihak lainnya. Itu artinya, khamr dilarang beredar di masyarakat.

Dan siapa saja yang minum khamar, sedikit atau pun banyak, jika terbukti di pengadilan, maka dalam Islam ia dijatuhi sanksi jilid sebanyak 40 atau 80 kali. Anas menuturkan:

«كان النبي r يَضْرِبُ فِي الخَمْرِ باِلجَرِيْدِ وَالنَّعَالِ أَرْبَعِيْنَ»
“Nabi Muhammad saw. mendera orang yang minum khamar dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali dera.”(HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Ali bin Abi Thalib juga menuturkan:

«جَلَّدَ رَسُوْلُ اللّهِ r أَرْبَعِيْنَ، وَأبُو بَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ، وعُمَرُ ثَمَانِيْنَ، وَكُلٌّ سُنَّةٌ، وهَذَا أحَبُّ إِليَّ»
“Rasulullah saw. mencambuk (orang minum khamr) empat puluh kali, Abu Bakar mencambuk empat puluh kali, Umar mencambuk delapan puluh kali. Masing-masing adalah sunnah. Dan ini adalah yang lebih aku sukai.” (HR Muslim)

Sementara untuk pihak selain yang meminum khamr, maka sanksinya berupa sanksi ta’zir. Bentuk dan kadar sanksi itu diserahkan kepada Khalifah atau qadhi, sesuai ketentuan syariah. Tentu sanksi itu harus memberikan efek jera.

Wahai Kaum Muslimin

Dengan bekal ketakwaan individu yang senantiasa dipupuk oleh negara, maka individu akan enggan menyentuh khamr. Negara pun tidak boleh memfasilitasi baik langsung maupun tidak langsung, terhadap peredaran khamr. Dan siapa saja yang meminum khamr dan yang terlibat terkait khamr dijatuhi hukuman syar’i tersebut. Dengan semua itu, Islam akan mampu membabat khamr, dan menyelamatkan orang dari belenggu miras. Namun semua itu hanya terwujud, melalui penerapan syariah secara kaffah di bawah naungan Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Itulah kewajiban kita yang harus segera kita tunaikan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Cara Lain Memalak Rakyat

Al-Islam edisi 687, 1 Rabiul Awwal 1435 H – 3 Januari 2014 M 

Meski ada protes dan keraguan pemberi pelayanan kesehatan untuk berpartisipasi pada Jaminan Kesehatan Nasional yang akan diterapkan 1 Januari 2014, cukup banyak klinik, puskesmas atau rumah sakit yang bergabung.

Menurut Wamenkes, Ali Ghufron Mukti, sejauh ini ada sekitar 15.800 dokter praktek mandiri, klinik dan puskesmas yang akan memberi pelayanan kesehatan dasar. Pelayanan tingkat lanjutan akan dilakukan sekitar 1.700 rumah sakit pemerintah dan swasta yang tersebar di Indonesia. (Kompas, 30/12/2013).

Bukan Jaminan, Tapi Asuransi Kesehatan Nasional

Katanya jika program JKN sempurna, seluruh rakyat akan mendapat jaminan kesehatan. Katanya, jika JKN sudah jalan, rakyat akan mendapat pelayanan kesehatan gratis.

Itu hanya propaganda. Realitanya justru sebaliknya. Yang ada bukanlah jaminan kesehatan nasional, akan tetapi asuransi kesehatan nasional. Dua hal yang sangat berbeda bahkan berkebalikan.
Pelaksanaan JKN per 1 Januari 2014 ini adalah amanat dari UU No. 40 th. 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 th. 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).

UU SJSN Pasal 19 ayat 1 menegaskan: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial adalah mekanisme pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya (Pasal 1 ayat 3). Prinsip ekuitas artinya tiap peserta yang membayar iuran akan mendapat pelayanan kesehatan sebanding dengan iuran yang dibayarkan.

UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan kesehatan menjadi kewajiban rakyat. Hak rakyat justru diubah menjadi kewajiban rakyat. Konsekuensinya, rakyat kehilangan haknya untuk mendapat jaminan kesehatan yang seharusnya wajib dipenuhi oleh negara.

UU ini “menghilangkan” kewajiban dari negara dan memindahkannya ke pundak rakyat. Rakyat wajib menanggung pelayanan kesehatannya sendiri dan sesama rakyat. Itulah prinsip kegotong-royongan SJSN yaitu prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya (penjelasan pasal 4).

Bukan Gratis, Tapi Wajib Bayar

Dalam sistem JKN ini tidak ada yang gratis. Justru seluruh rakyat wajib membayar dahulu, tiap bulan. JKN adalah asuransi sosial. Hanya peserta yang membayar premi yang akan dapat layanan kesehatan JKN. Itu wajib bagi seluruh rakyat sesuai prinsip kepesertaan wajib UU SJSN. Yakni seluruh penduduk wajib jadi peserta asuransi sosial kesehatan (JKN), dan tentu wajib membayar premi/iuran tiap bulan. Pasal 17: “(1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.” 

Iuran untuk orang miskin dibayar oleh pemerintah (ayat 4) dan mereka disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI), atas nama hak sosial rakyat. Tapi hak itu tidak langsung diberikan kepada rakyat, tetapi dibayarkan kepada pihak ketiga (BPJS) dari uang rakyat yang dipungut melalui pajak. Jadi realitanya, rakyat diwajibkan membiayai layanan kesehatan diri mereka dan sesama rakyat lainnya.

Jadi tidak ada yang gratis untuk rakyat. Justru rakyat wajib bayar iuran, baik layanan itu ia pakai atau tidak. JKN lebih tepat disebut layanan kesehatan prabayar, persis seperti layanan telepon prabayar. Sebab setiap rakyat wajib bayar premi (iuran) tiap bulan, baik layanan itu dimanfaatkan bulan itu atau tidak. Jika tidak bayar maka tidak akan mendapat manfaat layanan kesehatan JKN.

Besarnya iuran per bulan telah ditetapkan. Dalam Perpres ditetapkan nominal iuran PBI per jiwa Rp. 19.225, akan mendapat layanan rawat inap kelas 3. Iuran PNS/TNI/Polri/pensiunan sebesar 5% per keluarga (2% dari pekerja dan 3% dari pemberi kerja) dan akan dapat layanan rawat inap kelas 1 untuk golongan III ke atas atau yang setara, dan rawat inap kelas 2 untuk di bawah golongan III.

Untuk pekerja penerima upah selain PNS dan lainnya, iuran ditetapkan 4,5% per keluarga (0,5% dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) hingga 30 Juni 2015, dan menjadi 5% per keluarga (1% dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) mulai 1 Juli 2015. Mereka akan mendapat layanan rawat inap kelas 1 jika bergaji lebih dari dua kali pendapatan tidak kena pajak (sekitar Rp. 4 juta) dan rawat inap kelas 2 jika bergaji di bawahnya. Jika pekerja bergaji Rp 2 juta, sampai 30 Juni 2015, ia harus membayar Rp. 10 ribu per keluarga (untuk 5 anggota keluarga), dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap pekerjanya. Dan mulai 1 Juli 2015, tiap pekerja harus membayar Rp. 20 ribu, dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap pekerjanya. Jadi pemberi kerja tiap bulan harus membayar Rp. 80 ribu dikalikan jumlah pekerjanya.

Sementara untuk pekerja bukan penerima upah (bekerja sendiri) atau bukan pekerja, iuran Rp. 25.500 per jiwa (layanan rawat inap kelas 3), Rp. 42.500 per jiwa (rawat inap kelas 2), dan Rp. 59.500 per jiwa (rawat inap kelas 1). Untuk satu keluarga tinggal dikalikan jumlah anggota keluarga. Jumlah itulah yang wajib dibayarkan tiap bulan.

Jika ada biaya lebih dari yang dikover JKN, maka harus dibayar sendiri. Masalahnya, tarif yang ditetapkan sangat kecil. Contohnya, untuk RS Pratama, praktik dokter, dan fasilitas kesehatan yang setara tarif yang dikover hanya Rp. 8.000-10.000 per peserta per bulan; praktek dokter gigi malah hanya Rp 2.000.

Perpres tentang JKN, menetapkan prosedur layanan JKN, bahwa peserta harus mendapat pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan tingkat pertama tempat peserta terdaftar. Di fasilitas lain hanya boleh jika di luar wilayah atau kegawatdaruratan medis. Itu artinya, meski masih di kota yang sama, jika bukan di tempat peserta terdaftar, tidak akan dikover oleh JKN, artinya harus bayar sendiri.

“Memalak” Rakyat, Himpun Dana

JKN (Jaminan Sosial Nasional) merupakan cara lain memungut dana secara wajib – “memalak”- seluruh rakyat. Tiap orang akan terkena pungutan. Pemberi kerja akan terkena pungutan sangat besar. Makin banyak pekerjanya, makin besar pungutan yang harus dibayarnya. Biaya itu bisa saja dimasukkan harga jual produk/jasa. Maka beban seluruhnya kembali kepada rakyat pada umumnya.
Lebih menyesakkan lagi, jika telat bayar, tidak diberi layanan, bisa didenda, bahkan tidak diberi pelayanan administratif publik seperti ngurus KTP, akte, sertifikat, IMB, dsb. Pemberi kerja atau kepala keluarga yang tidak mendaftarkan pekerja atau anggota keluarganya, bisa dikenai sanksi bahkan sampai sanksi pidana. Inilah kezaliman luar biasa. Sudah dipalak, jika telat dijatuhi sanksi, jika menghindar bisa dipidana.

Itulah “pemalakan” rakyat untuk menghimpun dana besar. Kompas (26/12) menyebutkan, penyelenggara jaminan kesehatan diperkirakan akan mengumpulkan dana iuran peserta sedikitnya Rp. 80 triliun per tahun. Akumulasi dana ini akan bertambah besar saat BPJS ketenagakerjaan beroperasi penuh pada 1 Juli 2015 dan menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian dan jaminan pensiun.

Dana Jaminan Sosial itu wajib disimpan dan diadministrasikan di bank kustodian yang merupakan BUMN (Pasl 40 UU BPJS). Artinya Bank BUMN bisa mendapat sumber dana baru. Sesuai amanat Pasal 11 UU BPJS, dana itu diinvestasikan. Tentu dalam bentuk surat berharga, termasuk Surat Utang Negara dan surat berharga swasta. Dengan itu, negara dapat sumber dana baru. Selain negara, swasta dan para kapitalis juga akan menikmati dana itu yang diinvestasikan melalui instrumen investasi mereka. Mungkin karena itulah Barat (khususnya melalui Bank Dunia, IMF, ADB, USAID) sangat getol bahkan mendekte agar SJSN dalam bentuk asuransi sosial itu segera eksis dan berjalan.


Islam: Pelayanan Kesehatan Kewajiban Negara

Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Fasilitas kesehatan merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat. Semua itu merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq), yang wajib dipenuhi negara, sebab termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah negara sesuai dengan sabda Rasul saw:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)

Secara praktis, penyediaan layanan kesehatan gratis telah dipraktekkan dan dicontohkan oleh Nabi saw sebagai kepala negara, dan para Khulafa’ur Rasyidin. Hal itu menjadi sunnah Nabi saw dan ijmak sahabat bahwa negara wajib menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh rakyat. Itu menjadi hak setiap individu rakyat sesuai kebutuhan layanan kesehatan yang diperlukan tanpa memandang tingkat ekonominya.

Dana untuk itu bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditetapkan syariah. Bisa dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum, seperti hutan, bermacam tambang, migas, panas bumi, hasil laut dan kekayaan alam lainnya. Juga dari kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis untuk seluruh rakyat.

Namun semua itu hanya bisa terwujud, jika Syariah Islam diterapkan secara total dalam sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Untuk itu, kewajiban kita semua, umat Islam, untuk sesegera mungkin mewujudkannya. Lebih dari itu, mewujudkannya adalah kewajiban syar’i dan konsekuensi dari akidah Islam yang kita yakini. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

Renungan Maulid: Meneladani Rasulullah saw, Menerapkan Syariah, Menegakkan Khilafah Rasyidah

Al-Islam edisi 688, 8 Rabiul Awwal 1435-10 Januari 2014 
 
Peringatan maulid tanggal 12 Rabiul Awwal biasanya hanya diidentikkan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw. Padahal jika didalami perjalanan kehidupan Rasulullah saw dan sahabat, tanggal tersebut merupakan tanggal tiga peristiwa besar terkait kehidupan Nabi saw, risalah dan dakwah beliau. Tanggal tersebut merupakan maulid Nabi saw, sekaligus maulid Daulah Islamiyah pertama dan maulid Khilafah Rasyidah pertama. Ketiganya merupakan satu kesatuan rangkaian perjalanan kehidupan Nabi saw, dakwah dan risalah Beliau.

Maulid Nabi saw

Nabi SAW dilahirkan hari Senin 12 Rabiul Awal tahun Gajah di Makkah (Ibnul Qayyim, Zadul Maad, I/28). Kelahiran beliau itulah yang diperingati. Yang diperingati adalah kelahiran orang yang diberi nama Muhammad yang kelak diangkat oleh Allah SWT menjadi Nabi dan Rasul utusan-Nya. Kepadanya Allah turunkan wahyu dan risalah agar dia sampaikan kepada seluruh umat manusia. Peringatan maulid Nabi saw tidak bisa dilepaskan dari kedudukan beliau sebagai rasul utusan Allah; dan tidak boleh dilepaskan dari risalah yang beliau bawa dan dakwahkan. Peringatan maulid Nabi saw haruslah mengandung perenungan tentang sikap kita terhadap Nabi saw, dakwah beliau dan risalah yang beliau bawa, dan bagaimana kita menerjemahkan semua itu dalam kehidupan.

Dalam konteks ini, satu hal penting tidak boleh dilupakan. Yaitu bahwa beliau bukan hanya memiliki satu kedudukan sebagai Nabi saja. Tetapi, beliau menduduki dua kedudukan sekaligus: pertama, sebagai nabi dan rasul, dan kedua, sebagai penguasa yakni kepala negara. Hal itu bisa dibuktikan dengan nash al-Quran.

Sebagai Nabi dan Rasul, tugas beliau hanyalah menyampaikan risalah. Allah SWT berfirman:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَىٰ رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, jika kamu berpaling sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (risalah Allah) dengan terang.” (TQS at-Taghabun [64]: 12)

Disamping itu, Nabi saw juga diperintahkan Allah untuk memutuskan perkara di antara manusia. Allah berfirman:
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (TQS al-Maidah [5]: 48)

Perintah yang sama juga dinyatakan oleh Allah dalam ayat-ayat lainnya. Itu juga merupakan perintah kepada umat Islam untuk memutuskan perkara di tengah manusia, apa saja perkara itu, menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut syariah Islam. Sekaligus merupakan perintah untuk menerapkan hukum-hukum syariah secara total dalam seluruh perkara di tengah masyarakat.

Perintah kepada Nabi saw tersebut merupakan perintah kepada umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan hanya untuk beliau. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Maka hal itu juga menjadi perintah bagi seluruh kaum Muslim untuk memutuskan segala perkara yang terjadi, hanya dengan syariah Islam.


Maulid Daulah Islamiyah Pertama 

Bulan Rabiul Awal adalah bulan Nabi saw berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Beliau mulai berhijrah meninggalkan Gua Tsur malam Senin tanggal 1 Rabi’ul Awal 1 H (16 September 622 M). Nabi saw. sampai di Quba’ hari Senin, 8 Rabiul Awal 1 H (23 September 622 M), lalu berdiam di sana empat hari (Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis). Lalu Nabi saw. memasuki Madinah hari Jumat 12 Rabiul Awal 1 H (27 September 622 M). (Shafiyurrahman Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah (terj.), hal. 232-233; Ahmad Ratib Armusy, Qiyadatur Rasul, hal. 40).

Hijrah beliau lakukan setelah beliau dibaiat oleh 75 orang perwakilan kaum Anshar dari suku Aus dan Khazraj dalam peristiwa Baiat Aqabah II. Baiat Aqabah II ini merupakan akad penyerahan kekuasaan dari suku Aus dan Khazraj kepada Nabi saw. Itu merupakan akad pengangkatan Nabi saw sebagai kepala negara dan akad pendirian Daulah Islamiyah. (Al-Marakbi, Al-Khilafah Al-Islamiyah Bayna Nuzhum Al-Hukm Al-Muashirah, hal. 16). Maka secara hukum (de jure) Daulah Islamiyah pertama terbentuk pada saat itu.

Namun kepemimpinan Nabi saw sebagai penguasa dan kepala negara itu secara riil (de facto) baru terwujud ketika beliau tiba di Madinah pada tanggal 12 Rabiul Awal 1 H. Maka tanggal itu bisa dinyatakan sebagai maulid Daulah Islamiyah pertama.

Begitu tiba di Madinah, Nabi Faw. langsung melengkapi pilar negara, dengan melebur kaum Muhajirin dengan Anshar dengan jalan mempersaudarakan mereka atas dasar akidah Islamiyah. Berikutnya beliau membangun masjid Nabawi sebagai sentral kehidupan masyarakat sekaligus tempat beliau menjalankan berbagai aktivitas termasuk pemerintahan. Lalu beliau menyusun Piagam Madinah yang oleh para sejarahwan dinilai sebagai konstitusi modern pertama. Hal yang menonjol di dalamnya adalah akidah Islam dijadikan sebagai dasar penyelenggaraan negara, dan syariah Islam sebagai hukum untuk mengatur segala urusan dan interaksi di masyarakat yang majemuk dari sisi etnis, dan agama, yang juga mencakup orang-orang non muslim baik orang musyrik, Nashrani dan Yahudi.

Berikutnya, Beliau mengangkat para pejabat negara, wali, ‘amil, para panglma dan komandan, para qadhi dan aparatur lainnya. Nabi saw mengirimkan berbagai ekspedisi militer dan memimpin langsung sejumlah perang di antaranya. Beliau mengirimkan utusan kepada para raja, pemimpin dan kaisar, disamping juga menerima delegasi dari mereka. Nabi saw. memutuskan perkara dan perselisihan yang diadukan kepada beliau. Beliau menjalankan hukum-hukum perekonomian, membagi zakat, menentukan kharaj, mengatur kepemilikan umum dan sebagainya. Ringkasnya, disamping menyampaikan risalah, Nabi saw. juga memimpin negara dan mengimplementasikan hukum-hukum syariah islam dalam segala aspek kehidupan. Hal itu terus beliau lakukan hingga beliau wafat. Semua itu merupakan teladan yang harus kita teladani dan bagian dari risalah Islam yang harus kita jalankan dan lanjutkan.

Tugas kenabian sudah berakhir dengan wafatnya Nabi SAW. Namun tugas kepemimpinan negara dan menerapkan syariah Islamiyah tidak berakhir, tetapi dilanjutkan oleh khalifah-khalifah sebagai kepala negara Khilafah sepeninggal Nabi SAW. Sabda Nabi Muhammad SAW:

«كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ. كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ. وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ. وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ
“Dahulu Bani Israil diatur urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak…” (HR Muslim).


Maulid Khilafah Rasyidah

Nabi saw. wafat hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H. (Ibnu Katsir, As-Sirah An-Nabawiyah, IV/507). Nabi saw. wafat pada waktu Dhuha hari Senin itu. Lalu sebagian sahabat menyibukkan diri untuk memilih pengganti Nabi sebagai kepala negara. Pemakaman jenazah Nabi saw pun ditunda dan para sahabat semuanya menyetujui hal itu dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Pada hari Senin itu pula, Abu Bakar ash-Shiddiq dipilih lalu dibaiat dengan baiat in’iqad sebagai khalifah. Esoknya pada hari Selasa, Abu Bakar ash-Shiddiq dibaiat oleh kaum muslimin di masjid dengan baiat tha’at. Setelah sempurna semua itu, Abu Bakar ash-Shiddiq memimpin prosesi pemakaman jenazah Rasul saw yang mulia pada pertengahan malam pada malam Rabu.

Jadi tanggal 12 Rabiul Awal menjadi tanggal wafatnya Nabi saw. Sekaligus menjadi tanggal maulid Khilafah Rasyidah dengan pimpinan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq untuk melanjutkan penerapan Syariah Islam dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia yang sebelumnya dilakukan dan dipimpin oleh Nabi saw. Khilafah Rasyidah itu pada hakikatnya adalah kelanjutan dan untuk melanjutkan daulah islamiyah dan segala aktivitasnya yang dirintis dan didirikan oleh Nabi saw. Eksistensi Khilafah Rasyidah itu dijaga betul oleh para sahabat. Khilafah Rasyidah itu adalah bagian dari sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang diperintahkan Nabi agar kita genggam erat. Nabi saw berpesan kepada kita:

« فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ »
“…Maka kalian wajib berpegang kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. …” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah dan Tirmidzi )

Wahai Kaum Muslimin

Ketiga peristiwa itu (maulid Nabi saw, maulid Daulah Islamiyah pertama dan maulid Khilafah Rasyidah) tidak bisa dipisahkan dan merupakan satu kesatuan dari rangkaian perjalanan kehidupan Nabi saw., risalah dan dakwah beliau. Ketiganya harus dipahami, direnungkan dan diambil pelajaran untuk diterjemahkan dalam sikap dan aktivitas saat ini dalam rangka meneladani Nabi saw.; menjaga, memelihara dan melanjutkan sunnah beliau; menerapkan Islam dan syariahnya yang beliau bawa; dan melanjutkan dakwah beliau dan mengemban risalah beliau, risalah Islam ke seluruh dunia. Hal itu harus diwujudkan dalam bentuk terlibat aktif dalam perjuangan untuk mewujudkan penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh dan perjuangan untuk menegakkan Khilafah Rasyidah kedua yang mengikuti manhaj kenabian. Dan itulah sesungguhnya yang diperintahkan Rasul kepada kita umat Islam.

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (TQS an-Nur [24]: 63)

Wallâh a’lam bi ash-shawâb.