(Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani meminta agar SYAIR INI DIBACAKAN Umat Islam saat menyambut / tegaknya KHILAFAH)
1. Dakwah itu bagaikan awan yang akan mengeluarkan cahaya/ kilat dan
petir di langit dan mengeluarkan suara menggelegar. Bagaikan lautan yang
berombak di musim semi dan berbuih
2. Bagaikan gunung berapi yang aktif yang menyala-nyala di dalam jiwa yang tidak bisa berhenti dan apinya tidak terpadamkan
3. Bagaikan suara yang menggelegar di langit, membawa kabar gembira dan
memberikan peringatan hingga gunung-gunung yang menjulang tinggi-pun
berguncang
4. Wahai Umat yang telah diciptakan untuk
sebaik-baiknya risalah, kembalilah menuju keagunganmu. Sungguh itu
adalah kembali yang terpuji
5. Wahai umat yang diutus dengan kemuliaan, apakah Allah Yang Maha Mulia akan ridha dengan kehinaan yang menimpa kalian?
6. Wahai Umat yang dahulu telah menjadikan jihad sebagai jalan hidupnya. Marilah kita kembali memperbaharui masa berjihad
7. Wahai Umat… yang yang kepadanya umat-umat yang lain tunduk, sehingga
dahulu menjadi cahaya petunjuk bagi orang-orang yang kebingungan, untuk
mereka ikuti
8. Wahai umat yang dahulu telah
menjadi sumber ilmu pengetahuan, sementara manusia (yang lain) kehausan
ketika sumber air mengering
9. Wahai umat dahulu yang istananya dihancurkan musuh, namun dengan segera bisa kembali memperbaharui tiang-tiang bangunannya
10. Wahai Umat yang ketika orang-orang yang terkantuk- kantuk
melemahkan kelopak matanya, dengarkanlah dengan pendengaranmu,
Rasulullah (Ahmad) pasti akan mengenakan pakaian yang bagus pada- mu,
begitu juga Khulafa Rasyidun, generasi setelah mereka, juga Abu Ubaidah
dan Khalid sang singa (Allah)
11. Dahulu engkau
menjadi petunjuk bagi seluruh alam, kemuliaan bagi kaum muslimin,
menjadi tempat berlindung yang dihormati dan diagungkan
12. Engkau memiliki kedudukan tinggi dilangit, maka musnahkanlah ruhku
sebagai tebusan bagimu. Maka sebaik-baiknya kedudukan adalah kedudukanmu
itu
13. Kursi kepemimpinan manusia telahdikotori, ketika dikuasai oleh orang fasik dan atheis
14. Dengan tekad bulat dari cita-citanya para pemuda majulah. Karena tekad kuat para pemuda itu, panasnya menyala-nyala
15. Keteguhan hati mereka naik menujupuncak ketinggian, sementara itu orang yang ragu-ragu terperosok kejurang kebinasaan
16. Pimpinlah pasukan sebesar dari anak-anak- mu menuju kemuliaan, majulah pasti tali kendali akan diturunkan kepadamu
17. Pilar-pilar pemerintahanmu senantiasa kokoh. Sungguh Syari’ah itu memberikan petunjuk akan keniscayaan adanya khilafah
18. Yaitu suatu pemerintahan yang berdiri di atas Syari’ah dan
ketakwaan. Dan sungguh pertolongan dari Rab pencipta langit merupakan
keniscayaan (sesuatu yang telah dipastikan)
19. Maka
majulah menuju kemuliaan dansiapkanlah perbekalan dari sumber air,
karena sungguh tidak akan rugi siapa saja yang menyiapkan perbekalan
20. Ini adalah panji keagungan yang berkibar melampaui pencakar langit, yang didirikan oleh kaum muslimin dan diperkokoh
21. Wahai panji pertolongan yakni panji al-uqab berjalanlah dengan
penuh gaya di ataspasukan skwadron supaya keagungan tampak terlihat
22. Pasukan tentara kaum muslimin telah bosanakan ketundukannya (pada
musuh), dan telah berlalu menuju bayangan kegelapan seraya
menghancurkannya
23. Dahulu mereka menjadi barang
gadaiannya kaum yang zhalim yang congkak, yang berusaha ke arah
kebinasaan dan membuat kerusakan
24. Umat telah
merasakan akibat dari ketundukannya (kepada musuh) dengan berbagai
kekalahan, yangkarenanya wajah yang mulia menjadi basah (denganair mata)
dan bermuka masam (menjadi mendung)
25. Dikalahkan
dihadapan golongan-golongan kecil, kekalahan itu berturut-turut
menimpanya, sungguh itu adalah masa kelam (di masa lalu)
26. Wahai Umat yang dahulu tertidur di atas duri- duri pohon berduri, tinggalkanlah tidurmu, karena itu akan lebih baik bagimu
Senin, 25 Februari 2013
Minggu, 24 Februari 2013
Realitas DEMOKRASI
WAWANCARA DENGAN MUHAMMAD ISMAIL YUSANTOJubir Hizbut Tahrir Indonesia
DALAM DEMOKRASI, SIAPAPUN CENDERUNG JADI BURUK
Partai Islam jadi sorotan karena partai yang selama ini mengaku sebagai partai yang bersih, petingginya ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Muncul wacana agar partai islam mengubah jati dirinya menjadi partai sekuler dan tak lagi berasaskan Islam dengan alasan agar Islam tidak tercoreng. Sebenarnya apa akar persoalannya, asasnya atau sistem demokrasi-liberal yang berlaku di negeri ini. Lalu bagaimana dengan sistem islam sendiri? Untuk menjawabnya wartawan Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia M. Ismail Yusanto, berikut petikannya
========================================
Ada yang mewacanakan parpol harus dipisahkan dari agama. Karena Islam jadi 'tercoreng' tatkala parpol yang membawa nama Islam kadernya jadi tersangka korupsi.Tanggapan Anda?>> Itu tidak tepat. Masalahnya bukan di situ. Itu terjadi karena partai Islam itu jauh dari Islam, akhirnya korupsi.
Tapi bukankah secara sistemik, demokrasi memang membuat para penyelenggaranya termasuk yang dari Parpol Islam jadi korup?>> Kenyataannya ini menegaskan satu hal, bahwa di dalam sistem yang buruk, yaitu demokrasi, siapapun memang akan cenderung menjadi buruk. Hanya mereka yang berusaha keras menjaga kebersihan diri terus menerus yang bisa terhindar dari pengaruh buruk itu, meski dengan risiko terlempar dari arena atau kemudian karena terdesak ia akhirnya terpaksa terlarut juga dalam suasana yang buruk itu.
Lantas negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus menggunakan sistem apa?>> Tentu saja menggunakan sistem lslam.Tidak lain, itulah khilafah.
Namun ada yang berkilah, yang salah bukan pada sistem demokrasinya, maka harus dilakukan perbaikan pada sistem demokrasi, supaya demokrasi itu tidak mahal, tidak transaksional, supaya transparan secara keuangan sehingga tidak korup. Bagaimana tanggapan Anda?>> Itu, secara teori bisa saja. Tetapi ketika suatu kewenangan membuat UU itu ada pada wakil rakyat, ketika jabatan publik itu selalu dalam periode lima tahun sekali dengan kampanye yang panjang, tidak ada ketakwaan karena itu sekulerisme, maka perbaikan-perbaikan itu menjadi sifatnya hanya instrumental belaka. Dan tetap saja demokrasi jadi biang korupsi.
Memang dalam sistem khilafah, calon kepala negara tidak mengeluarkan biaya kampanye?>> Mungkin saja di dalam sistem khilafah kampanye juga memerlukan biaya, tapi oleh karena pendeknya masa kampanye, yakni hanya kurang dari tiga hari dua malam, sejak khilafah yang lama mengakhiri jabatannya, membuat biaya kampanye tentu tidak akan sebesar bila kampanye berlangsung berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan sebagaimana yang terjadi pada sistem demokrasi.Oleh karena itu, siapapun yang menjadi calon khalifah tidak perlu harus menghimpun dana besar yang kadang mendorongnya menghalalkan segala cara.
Ada pembatasan masa jabatan juga?>> Harus diingat bahwa di dalam sistem khilafah tidak ada periodisasi baku masa jabatan khalifah, misalnya empat tahun seperti masa jabatan presiden di AS atau lima tahun seperti di Indonesia. Masa jabatan khalifah dibatasi oleh pelaksanaan hukum syara'.Dengan cara itu, rakyat tidak harus selalu disibukkan untuk memilih pemimpinnya dalam kurun waktu tertentu yang terbukti menyita banyak sekali energi.Lihatlah di Indonesia. Dalam waktu lima tahun diselenggarakan lebih dari 400 pemilu, baik untuk pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun pemilihan kepala daerah (gubernur, walikota/bupati). Berapa banyak dana dan energi yang diperlukan untuk itu semua?
Maka ketika menjabat, orang yang sudah telanjur keluar biaya banyak ini akan cenderung korupsi?>> Ya tentu saja. Lihatlah, di negeri ini ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang sampai menghabiskan biaya Rp 1,3 trilyun untuk pilkada. Sedangkan anggota legislatif ada yang mengeluarkan biaya hingga Rp 6 milyar. Bayangkan, dari mana mereka mengembalikan uang sebanyak itu?Tentu bukan dari gaji, tapi dari berbagai usaha yang cenderung koruptif. Misalnya, jual beli ayat atau pasal dalam penyusunan peraturan perundang-undangan supaya bisa menguntungkan pihak pemilik modal.
Kalau dalam sistem khilafah?>> Jual beli ayat atau pasal tidak mungkin dilakukan karena peraturan perundangan disusun dengan mengacu pada Alquran dan hadits, juga ijma' dan qiyas. Jadi bukan didasarkan pada keingingan orang perorang atau kelompok.
Meski menjadi seorang khalifah tidak mengeluarkan biaya, bahkan menjadi wali clan amil hanya ditunjuk saja oleh khalifah, namun kemungkinan korupsi akan tetap ada kan?>> Memang bagaimanapun khalifah (kepala negara), wali (gubernur), amil (walikota) dan seluruh pejabat dalam negara khilafah adalah manusia biaya yang bisa saja tergoda dan terdorong untuk melakukan tindak korupsi. Tapi, kalaulah itu terjadi, bisa dipastikan itu by person. Maksudnya, hanya dilakukan oleh orang perorang. Bukan by sistem, korupsi terjadi oleh karena sistem yang ada memang mendorongnya untuk korupsi seperti yang sekarang ini berjalan.
Lantas bagaimana sistem khilafah mencegah tindak korupsi by person tersebut?>> Secara sistemik sistem khilafah mengatur sejumlah langkah yang harus ditempuh guna mencegah terjadinya korupsi.Pertama, ini yang utama. Yakni diwujudkannya suasana takwa pada Allah SWT di tengah masyarakat. Dengan iman dan takwa, setiap pegawai merasa wajib untuk taat kepada aturan Allah. Masing-masing sadar akan konsekuensi dari ketaatan atau pelanggaran yang dilakukannya, karena tidak ada satu pun perbuatan di dunia yang lepas dari hisab (perhitungan) Allah.
Kedua?>> Sistem penggajian yang layak serta tunjangan hidup lain. Rasulullah SAW sendiri menyadari, sistem Islam tidak akan berjalan baik bila para pelaksananya berkepribadian rusak. Dan itu biasanya bermula dari gaji yang tidak mencukupi.Ketiga, teladan dari pemimpin. Dengan teladan dari pemimpin, tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan tidak sulit dilakukan. Tapi apa jadinya bila justru pemimpin itu yang melakukan korupsi dan melindungi korupsi yang dilakukan bawahannya? Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali.
Ada yang berikutnya?>> Pembuktian terbalik. Untuk menjaga dari berbuat curang, dihitung kekayaan seseorang di awal jabatannya sebagai pejabat negara, kemudian dihitung ulang di akhir jabatan. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan harus menjelaskan dari mana harta itu diperoleh. Bila didapat dari cara curang, kelebihannya itu harus diserahkan kepada Baitul Mal.Kelima, hukuman setimpal. Dalam Islam tindak korupsi termasuk jarimah (kejahatan) yang akan terkenai ta'zir. Menurut Abdurrahman Maliky dalam kitab Nidzomu al-'Uqubat, bentuknya bisa berupa hukuman tasyh'ir (berupa pewartaan), hukuman penjara bahkan sampai hukuman mati.
Ada keunggulan lain, yang tidak mungkin didapat selain dengan khilafah?>> Ada. Karena sistem hukum Islam selain berfungsi sebagai zawajirun atas tindak kriminalitas sekaligus sebagai penebus (jawabirun) atas tindakan jahat yang telah dilakukan oleh si pelaku. Sanksi yang dijatuhkan di dunia bisa menghilangkan sanksi yang ada di akhirat. Ini yang tidak ada dalam sistem lain. #komunitas rindu syariah & khilafah
Jumat, 22 Februari 2013
Pelayanan Kesehatan adalah Kewajiban Negara
[Al-Islam
645] Harapan
warga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak nampaknya masih
jauh. Itulah yang dialami Elisa Darawati, seorang warga tidak mampu di Jakarta
yang harus menerima kenyataan setelah salah satu putri kembarnya yang baru
lahir meninggal akibat penyakit yang dideritanya. Bayi yang lahir prematur
tersebut didiagnosa mengalami gangguan pada tenggorokannya. Apa daya setelah 10
rumah sakit di yang didatanginya tidak ada satupun yang bersedia merawat dengan
alasan penuh! Bayi malang itupun akhirnya meninggal.
Beberapa
jam kemudian pihak Menkes membantah terjadinya penolakan dari pihak rumah sakit
terhadap Elisa. Menurutnya semua rumah sakit yang didatangi Elisa memang telah
penuh. “Jadi, bukan karena dia ditolak di mana-mana, tapi karena kondisinya
buruk. Kalau anak berat 1 kg memang survival-nya kecil sekali,” jelas
Menkes Nafsiyah Mboi. Ia juga berjanji akan memperbaiki sistem komunikasi antar
RS sehingga tidak muncul kejadian seperti Elisa yang berkeliling-keliling
membawa putrinya yang sakit parah.
Pihak
Kemenkes juga membantah terjadinya diskriminasi terhadap warga miskin seperti
Elisa. “Tidak diterimanya rujukan pasien tersebut disebabkan keterbatasan alat,
dalam hal ini fasilitas ruang NICU, bukan karena pasien membawa Kartu Jakarta
Sehat (KJS),” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenkes Murti Utami dalam
siaran persnya, Senin (18/2). Gubernur DKI Jokowi juga menyatakan penuhnya
kamar perawatan neonatal intensive care unit (NICU) dikarenakan terjadinya
lonjakan jumlah anak penderita hingga 70 persen.
Rendahnya
Anggaran Kesehatan
Meski
sudah berganti rezim berkali-kali akan tetapi mutu pelayanan kesehatan bagi
masyarakat, khususnya warga miskin, masih jalan di tempat. Di sana-sini keluhan
warga miskin yang kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk saat
berobat ke rumah sakit masih saja sering terdengar.
Rendahnya
pelayanan kesehatan terhadap warga juga tampak dari masih banyak kaum ibu yang
memilih meminta bantuan dukun beranak untuk proses persalinan ketimbang ke
bidan atau ke dokter karena ketiadaan biaya. Tidak heran bila angka kematian
bayi juga masih tinggi.
Pelayanan
kesehatan harus dipahami bukan sekedar pelayanan kepada warga yang sakit, tapi
juga terjaminnya kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Dalam hal ini layanan
yang diperoleh masyarakat jauh lebih rendah lagi.
Menurut
Laporan Akhir Tahun 2012 Komnas Perlindungan Anak Indonesia, ada sekitar 8 juta
anak Indonesia yang mengalami gizi buruk. Padahal gizi buruk sudah pasti akan
berdampak pada pertumbuhan anak, di antaranya adalah anak akan tumbuh sebagai
orang pendek (stunting). Indonesia merupakan negara kelima dengan jumlah
orang pendek (stunting) paling banyak di dunia, selain Tiongkok, India,
Pakistan, Nigeria dan bahkan di atas Vietnam. WHO mencatat 90% anak pendek ada
di 36 negara berkembang, termasuk Indonesia.
Buruknya
pelayanan kesehatan masyarakat khususnya warga miskin karena memang pemerintah
tidak pernah memberikan anggaran yang memadai. Dari total Produk Domestik Bruto
(GDP), alokasi biaya untuk pendidikan dan kesehatan Indonesia paling rendah
dari negara lain yaitu 2%. Sedangkan Kamboja 4%, Laos mendekati 5%, Malaysia
10%, Philipina 15% dan Thailand hampir 7%.
Anehnya,
pemerintah lebih senang mengalokasikan anggaran besar untuk membayar hutang
luar negeri ketimbang untuk biaya kesehatan, yaitu sebesar 10%. Jumlah itu
lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja kurang dari 1%, Laos 3%,
Malaysia 8%.
Minimnya
belanja kesehatan masyarakat oleh pemerintah juga terasa di daerah-daerah.
Koordinator Penelitian dan Pengembangan Seknas Fitra, Muhammad Maulana
menjelaskan, proporsi belanja daerah untuk urusan kesehatan memang masih
rendah. Padahal, pemerintah telah mensyaratkan untuk menganggarkan minimal 10
persen belanja daerah untuk kesehatan.
Tata
Kelola Amburadul
Persoalan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat bertambah ruwet dengan tidak adanya
transparansi dan amburadulnya pengelolaan. Banyak bidan dan rumah sakit yang
mengeluhkan kesulitan mencairkan dana jampersal (jaminan persalinan kelahiran)
selain juga di sejumlah daerah terjadi pemotongan dana jampersal yang mereka
terima. Akibatnya terjadi penolakan pelayanan Jampersal bagi warga miskin di
sejumlah daerah. Ditengarai karena ada beberapa pemda yang justru mengendapkan
dana Jampersal, selain juga terjadi salah peruntukkan bukan bagi warga miskin.
Padahal anggaran yang disiapkan pemerintah untuk jampersal cukup tinggi. Untuk
tahun 2013 saja sudah dianggarkan sebesar Rp 7 triliun. Setiap ibu melahirkan
akan mendapat bantuan sebesar 600 ribu rupiah.
Selain
jampersal, banyak rumah sakit di daerah yang kesulitan mencairkan dana bantuan
kesehatan bagi warga miskin meski mereka sudah lama mengajukan klaim. Akhirnya
mereka menghentikan layanan bagi warga miskin. Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA)
Malang, Jawa Timur, pada 2 Juli 2012, telah menghentikan pelayanan Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda) untuk warga miskin di Kabupaten Malang. Alasannya,
pemerintah daerah setempat masih nunggak utang pembayaran Jamkesda sebesar Rp
10 miliar.
Yang
paling mengejutkan pemerintah justru tengah membuka kran liberalisasi dalam
sektor kesehatan. Adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang akan
menjadi pemimpin dalam proses liberalisasi sektor kesehatan tersebut. Ditandai
dengan rencana dibukanya investasi di sektor kesehatan yakni kepemilikan asing
dalam rumah sakit diperbesar dari sebelumnya hanya 49% menjadi hingga 67%.
Kepala BKPM kala itu, Gita Wirjawan mengatakan dengan banyak dibukanya RS asing
di dalam negeri maka diharapkan jumlah warga Indonesia yang berobat ke luar
negeri kian berkurang, karena memilih berobat di dalam negeri.
Tidak
hanya itu, sejumlah RS juga sudah diprivatisasi. Tiga RS milik Pemprov DKI
Jakarta, masing-masing RSUD Pasar Rebo, RSUD Cengkareng, dan RS Haji Pondok
Gede, telah diprivatisasi dengan ditandatanganinya Peraturan Daerah Provinsi
DKI Jakarta No. 15/2004 oleh Sutiyoso pada 10 Agustus 2004. Itu berarti sejak
penandatanganan tersebut, tiga RS itu tidak lagi menerima subsidi dari Pemprov
DKI. Mereka harus membiayai keperluannya sendiri. Maka bisa dibayangkan dengan
begitu mereka akan mengeruk pendapatan sebesar-besarnya dari pasien.
Anggaran
kesehatan yang rendah, privatisasi RS milik pemerintah, dibukanya kran masuknya
RS asing, semua itu menunjukkan negara berlepas tangan dari memberikan
pelayanan kesehatan untuk rakyatnya. Tampaknya memberikan pelayanan kesehatan
tidak lagi dianggap sebagai tanggungjawab apalagi kewajiban negara dan
merupakan hak rakyat. Sebaliknya negara memposisikan sebagai penyedia jasa dan
rakyat sebagai konsumen dengan hubungan dagang.
Pelayanan
Kesehatan Kewajiban Negara
Dalam
Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat
yang menjadi kewajiban negaraKlinik dan rumah sakit merupakan fasilitas publik
yang diperlukan oleh kaum Muslimin dalam terapi pengobatan dan berobat. Maka
jadilah pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik.
Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu, wajib
bagi negara melakukannya sebab keduanya termasuk apa yang diwajibkan oleh
ri’ayah negara sesuai dengan sabda Rasul saw:
«Ø§Ù„Ø¥ِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ ÙˆَÙ…َسْؤُولٌ عَÙ†ْ
رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ»
Imam
adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari
Abdullah bin Umar)
Ini
adalah nas yang bersifat umum atas tanggungjawab negara tentang kesehatan dan
pengobatan karena keduanya termasuk dalam ri’ayah yang diwajibkan bagi negara.
Imam
Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi saw (sebagai kepala negara)
mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw. pernah mendapatkan
hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir. Nabi lalu menjadikannya itu sebagai
dokter umum bagi masyarakat. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas
r.a. bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam lalu jatuh sakit
di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk
tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baytul Mal di dekat Quba’ dan
diperbolehkan minum air susunya sampai sembuh. Al-Hakim meriwayatkan bahaw
Khalifah Umar bin Khaththab memanggil dokter untuk mengobati Aslam. Semua itu
merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan termasuk kebutuhan
dasar bagi rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis untuk
orang-orang diantara rakyat yang memerlukannya. Pelayanan kesehatan gratis itu
diberikan dan menjadi hak setiap individu rakyat sesuai kebutuhan layanan
kesehatannnya tanpa memperhatikan tingkat ekonominya.
Pemberian
layanan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar. Untuk itu bisa
dipenuhi dar sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah.
Diantaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai
macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber kharaj,
jizyah, ghanimah, fa’i, usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya.
Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan
secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat.
Wahai
kaum Muslimin
Fakta-fakta
kehidupan yang kita jalani menegaskan kepada kita untuk segera meninggalkan
sistem kapitalisme demokrasi dan segera kembali ke pangkuan syariat Islam dalam
naungan khilafah. Hanya dalam khilafah setiap individu rakyat akan mendapatkan
hak-haknya termasuk pelayanan kesehatan dan pengobatan yang memadani secara
gratis. Karena itu saatnya kita bergegas merapkan syariah Islam secara total
dalam naungan Khilafah Rasyidah, yang sekaligus itu juga merupakan pembuktian
kesempurnaan keiamanan kita. Wallâh a’lam bi ash-shawâb
Komentar Al Islam:
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menilai rasa malu di tengah masyarakat semakin
merosot. Hal itu, menurut Presiden, terlihat dari masih terjadinya korupsi,
kongkalikong, kekerasan, fitnah, caci maki, dan berbagai keburukan lainnya
(kompas.com, 19/2).
- Itu terjadi karena sistem memfasilitasinya. Sistem kapitalisme demokrasi mengutamakan tolok ukur manfaat. Dan dengan akidah sekulerismenya yang menjauhkan agama dari kehidupan dan negara, maka sangat wajar dan logis rasa malu tidak diperhatikan lagi.
- Jika ingin masyarakat memiliki rasa malu dan menjunjung tinggi norma dan nilai-nilai mulia, satu-satunya jalan adalah dengan menerapkan syariah Islam secara total untuk mengatur seluruh urusan kehidupan.
Minggu, 17 Februari 2013
DEMOKRASI vs KHILAFAH
PERBEDAAN PENGANGKATAN KEPALA NEGARA DALAM DEMOKRASI VERSUS KHILAFAH
Oleh: Luthfi Afandi,
Humas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Barat
Banyak perbedaan mendasar antara pemilihan presiden di Indonesia yang menganut sistem demokrasi dengan pemilihan kepala negara (khalifah) dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah). Dua di antaranya sebagai berikut.
Aspek Asas
Jika dilihat dari asasnya terdapat perbedaan yang mendasar antara pemilihan presiden di Indonesia yang menganut sistem demokrasi dengan pemilihan kepala negara (khalifah) dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah).
Seorang kepala negara kepala negara (presiden) dalam sistem demokrasi, diangkat untuk menjalankan sistem, hukum, dan konstitusi yang dibuat oleh manusia (baca; wakil rakyat) bukan hukum yang diturunkan Allah SWT. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari asas demokrasi yakni “dari rakyat, oleh dan untuk rakyat” dan “rakyat adalah pemilik kedaulatan”.
Sedangkan khalifah dipilih oleh umat untuk menjalankan dan menerapkan seluruh syariah Islam dan menyatukan umat Islam di seluruh dunia.
Adapun dalil (argumentasi) kewajiban penguasa (kepala negara) untuk menerapkan hukum-hukum Allah di antaranya firman Allah dalam Alquran Surat Al-Maidah:
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati- hatilah kamu kepada mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (TQS 5: 49).
Aspek Syarat dan Masa Jabatan Kepala Negara
Hal lain yang membedakan (pemilihan) kepala negara dalam khilafah dan demokrasi adalah syarat dan masa jabatan kepala negara.
Dalam demokrasi, seorang presiden tidak harus beragama Islam, karena dia diangkat tidak dalam rangka menerapkan hukum Allah. Sementara dalam khilafah, khalifah harus beragama Islam, karena dia diangkat untuk melaksanakan syariah Islam.
Di samping itu, dalam demokrasi presiden juga tidak harus laki-laki. Sementara dalam khilafah, khalifah harus laki-laki. Tidak diperbolehkan kepala negara seorang perempuan. Ketentuan tersebut mengacu kepada sabda Nabi SAW: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan.(HR Bukhari)”.
Dalam hal masa jabatan, dalam negara demokrasi, masa jabatan seorang kepala negara dibatasi waktunya, misalnya 4 atau 5 tahun. Sementara dalam Islam, seorang kepala negara tidak dibatasi masa jabatannya berdasarkan waktu tertentu. Selama tujuh syarat seorang khalifah dapat terpenuhi—yakni Muslim, laki-laki, berakal, merdeka, baligh, adil dan mampu—dan khalifah masih tetap menjaga syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu untuk melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah.
Sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain, dinyatakan:
“(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah. (HR Muslim).
Sebaliknya, walaupun baru beberapa saat saja seorang khalifah dibaiat, akan tetapi jika syarat in’iqad khalifah tidak lagi mampu dipenuhi serta tidak lagi menjalankan syariah dan hukum-hukumnya atau melakukan pelanggaran (ma’shiyat) berat, maka seorang khalifah dapat diberhentikan.
Pencopotan jabatan kekhilafahan karena tidak terpenuhinya lagi syarat menjadi seorang khalifah adalah batasan yang paling rasional daripada batasan masa jabatan. Karena saat ini misalnya, di negara-negara demokrasi banyak kepala negara yang tidak fokus mengurus urusan masyarakat. Hal tersebut terjadi akibat para elite politik yang senantiasa sibuk dengan urusan perebutan kursi kekuasaan.
Seringkali siklusnya seperti ini; tahun pertama berkuasa adalah tahap penyesuaian dan membangun kesolidan tim, tahun kedua dan ketiga mulai fokus bekerja. Dan tahun ke empat dan lima sudah berpikir lagi untuk mempertahankan kursi kekuasaan. Sehingga nyaris, waktu efektif untuk bekerja hanya kurang lebih dua tahun. Tentu dalam konteks pembangunan jangka panjang, kondisi tersebut merupakan problem serius. Ditambah lagi dengan kebiasaan “ganti pejabat, ganti kebijakan”, maka akan menyebabkan pembangunan menjadi tidak optimal dijalankan.
Oleh: Luthfi Afandi,
Humas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Barat
Banyak perbedaan mendasar antara pemilihan presiden di Indonesia yang menganut sistem demokrasi dengan pemilihan kepala negara (khalifah) dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah). Dua di antaranya sebagai berikut.
Aspek Asas
Jika dilihat dari asasnya terdapat perbedaan yang mendasar antara pemilihan presiden di Indonesia yang menganut sistem demokrasi dengan pemilihan kepala negara (khalifah) dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah).
Seorang kepala negara kepala negara (presiden) dalam sistem demokrasi, diangkat untuk menjalankan sistem, hukum, dan konstitusi yang dibuat oleh manusia (baca; wakil rakyat) bukan hukum yang diturunkan Allah SWT. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari asas demokrasi yakni “dari rakyat, oleh dan untuk rakyat” dan “rakyat adalah pemilik kedaulatan”.
Sedangkan khalifah dipilih oleh umat untuk menjalankan dan menerapkan seluruh syariah Islam dan menyatukan umat Islam di seluruh dunia.
Adapun dalil (argumentasi) kewajiban penguasa (kepala negara) untuk menerapkan hukum-hukum Allah di antaranya firman Allah dalam Alquran Surat Al-Maidah:
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati- hatilah kamu kepada mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (TQS 5: 49).
Aspek Syarat dan Masa Jabatan Kepala Negara
Hal lain yang membedakan (pemilihan) kepala negara dalam khilafah dan demokrasi adalah syarat dan masa jabatan kepala negara.
Dalam demokrasi, seorang presiden tidak harus beragama Islam, karena dia diangkat tidak dalam rangka menerapkan hukum Allah. Sementara dalam khilafah, khalifah harus beragama Islam, karena dia diangkat untuk melaksanakan syariah Islam.
Di samping itu, dalam demokrasi presiden juga tidak harus laki-laki. Sementara dalam khilafah, khalifah harus laki-laki. Tidak diperbolehkan kepala negara seorang perempuan. Ketentuan tersebut mengacu kepada sabda Nabi SAW: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan.(HR Bukhari)”.
Dalam hal masa jabatan, dalam negara demokrasi, masa jabatan seorang kepala negara dibatasi waktunya, misalnya 4 atau 5 tahun. Sementara dalam Islam, seorang kepala negara tidak dibatasi masa jabatannya berdasarkan waktu tertentu. Selama tujuh syarat seorang khalifah dapat terpenuhi—yakni Muslim, laki-laki, berakal, merdeka, baligh, adil dan mampu—dan khalifah masih tetap menjaga syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu untuk melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah.
Sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain, dinyatakan:
“(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah. (HR Muslim).
Sebaliknya, walaupun baru beberapa saat saja seorang khalifah dibaiat, akan tetapi jika syarat in’iqad khalifah tidak lagi mampu dipenuhi serta tidak lagi menjalankan syariah dan hukum-hukumnya atau melakukan pelanggaran (ma’shiyat) berat, maka seorang khalifah dapat diberhentikan.
Pencopotan jabatan kekhilafahan karena tidak terpenuhinya lagi syarat menjadi seorang khalifah adalah batasan yang paling rasional daripada batasan masa jabatan. Karena saat ini misalnya, di negara-negara demokrasi banyak kepala negara yang tidak fokus mengurus urusan masyarakat. Hal tersebut terjadi akibat para elite politik yang senantiasa sibuk dengan urusan perebutan kursi kekuasaan.
Seringkali siklusnya seperti ini; tahun pertama berkuasa adalah tahap penyesuaian dan membangun kesolidan tim, tahun kedua dan ketiga mulai fokus bekerja. Dan tahun ke empat dan lima sudah berpikir lagi untuk mempertahankan kursi kekuasaan. Sehingga nyaris, waktu efektif untuk bekerja hanya kurang lebih dua tahun. Tentu dalam konteks pembangunan jangka panjang, kondisi tersebut merupakan problem serius. Ditambah lagi dengan kebiasaan “ganti pejabat, ganti kebijakan”, maka akan menyebabkan pembangunan menjadi tidak optimal dijalankan.
Sabtu, 16 Februari 2013
Pergaulan Bebas = Perayaan V- day
Valentine’s day baru saja berlalu,
sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, hari cinta dan kasih sayang tahun ini pun
sangat menyedot perhatian dan antusias para generasi muda hampir di seluruh
dunia tak terkecuali negeri-negeri
muslim termasuk Indonesia. Mall-mall dan pusat perbelanjaan tidak mau kalah
start, ikut antusias menampilkan atribut dan dekorasi yang
menandai datangnya “Hari Cinta” tersebut dengan menghadirkan aksesoris serba
pink, bunga mawar merah, lambang love, bahkan memberikan
potongan harga besar-besaran demi menyambutnya.
Pada tanggal 14 Februari tersebut, semua
orang dituntut untuk mengekspresikan cintanya sebebas-bebasnya dengan berbagai
macam cara, mulai dari bertukar hadiah, berkumpul dalam sebuah acara, berdansa
berpasang-pasangan semalam suntuk, menenggak minuman keras (beralkohol),
narkoba, hingga melakukan seks bebas (zina)yang kemudian menyebabkan
terjangkiti penyakit AIDS dan berujung pada penghancuran generasi. Media massa
pun ikut mempropokasi dan
mengedukasi
tentang buruknya Valentine’s Day, diantaranya: Lewatkan Malam Valentune
Day di Hotel Kawasan Kanjeran - Surabaya Cuma Rp. 27.500-75.000; Jawa Timur (14/2/2013). Sebanyak
15 orang atau 7 pasangan dan satu wanita tak membawa identitas terjaring razia
setelah ditemukan menginap di kamar hotel maupun kos tanpa surat nikah; penjualan kondom meningkat 500
persen, di Pontianak, Kalimantan Barat (13/2/2013). Seorang apoteker, Erlin Sungkar,
mengatakan, penjualan alat kontrasepsi dan pendeteksi kehamilan (test pack) meningkat drastis; Permen karet perangsang seks yang sedang diburu
pembeli, khususnya jelang hari kasih sayang, Valentine Day.
Sekulerisme-Kapitalisme
Suburkan Pergaulan Bebas
Pergaulan bebas memang sudah benar-benar
menjamur hampir di seluruh pelosok Negeri ini, perayaan valentine hanyalah
salah satu moment yang bisa memperlihatkan betapa budaya hidup permisif sudah
demikian kuat mencengkram generasi muda saat ini. Data menunjukkan bahwa
menurut Zoy Amirin, pakar psikologi seksual dari Universitas
Indonesia, mengutip Sexual Behavior Survey 2011, menunjukkan 64 persen
anak muda di kota-kota besar Indonesia ‘belajar’ seks melalui film porno atau
DVD bajakan. Akibatnya, 39 persen responden ABG usia 15-19 tahun sudah pernah
berhubungan seksual, sisanya 61 persen berusia 20-25 tahun. Survei yang
didukung pabrik kondom Fiesta itu mewawancarai 663 responden berusia 15-25 tahun
tentang perilaku seksnya di Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Bali
pada bulan Mei 2011. Gerakan moral Jangan Bugil di Depan Kamera (JBDK)
mencatat adanya peningkatan secara signifikan peredaran video porno yang dibuat
oleh anak-anak dan remaja di Indonesia. Jika pada tahun 2007 tercatat ada 500
jenis video porno asli produksi dalam negeri, maka pada pertengahan 2010 jumlah
tersebut melonjak menjadi 800 jenis. Fakta paling memprihatinkan dari fenomena
di atas adalah kenyataan bahwa sekitar 90 persen dari video tersebut,
pemerannya berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Sesuai dengan data
penelitan yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. (Okezone.com, 28/3/2012). Gaya hidup
seks bebas berakibat pada kehamilan tidak dikehendaki yang sering dialami remaja
putri. Karena takut akan sanksi sosial dari lingkungan keluarga, sekolah, atau
masyarakat sekitar, banyak pelajar hamil yang ambil jalan pintas: menggugurkan
kandungannya. Base line survey yang dilakukan oleh BKKBN LDFE UI (2000), di
Indonesia terjadi 2,4 juta kasus aborsi pertahun dan sekitar 21% (700-800 ribu)
dilakukan oleh remaja. Data yang sama juga disampaikan Komisi Nasional
Perlindungan Anak tahun 2008. Dari 4.726 responden siswa SMP dan SMA di 17 kota
besar, sebanyak 62,7 persen remaja SMP sudah tidak perawan, dan 21,2 persen
remaja mengaku pernah aborsi (Kompas.com, 14/03/12).
Semakin
tumbuh suburnya pergaulan bebas pada generasi muda hari ini bukanlah tanpa
alasan, Perilaku seks
bebas yang marak itu dipengaruhi oleh budaya liberal. Muncul dan menyebarnya
budaya liberal di Tanah Air bukanlah proses yang berlangsung alami, tetapi
merupakan hasil dari proses liberalisasi budaya yang dijalankan secara
sistematis dan terorganisir. Liberalisasi budaya juga tidak jauh-jauh dari
rekayasa Barat. Secara faktual konspirasi
liberalisasi budaya itu bisa dirasakan. Konspirasi itu setidaknya dijalankan
melalui: Pertama, pada tingkat falsafah dan pemikiran dilakukan dengan
menanamkan paham sekularisme, liberalisme dan hedonisme. Sejatinya budaya bebas
itu berpangkal dari ketiga paham tersebut. Sekularisme adalah ide dasar yang
mengesampingkan peran agama dari pengaturan kehidupan. Sekularisme menuntun
manusia untuk menempatkan agama hanya pada ranah individu dan wilayah spiritual
saja. Sekularisme itu ‘mengharamkan’ agama ikut andil dalam mengatur kehidupan.
Sekularisme mengajaran bahwa manusia bebas mengatur hidupnya tanpa campur
tangan Tuhan.
Kedua, liberalisasi budaya itu dikemas dalam berbagai
program secara internasional yang dikawal oleh PBB dan lembaga-lembaga
internasional. PBB mengeluarkan berbagai konvensi dan kesepakatan internasional
terkait dengan isu HAM, kesetaraan gender, dan lain-lain, semisal Konvensi
tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), kesepakatan
Konferensi Kependudukan (ICPD), MDGs, BPFA dll yang spiritnya sama-sama
menuntut kebebasan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kemudian
negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negeri-negeri Muslim) diharuskan (dipaksa)
meratifikasi semua itu. Lahirlah berbagai UU yang melegalkan kebebasan.
Selanjutnya semua itu dijalankan melalui serangkaian
aksi dan program secara nasional baik oleh LSM-LSM maupun oleh pemerintah
sendiri. Misal, program kesetaraan gender yang bahkan menjangkau tingkat
kelurahan. Ada pula program kampanye dan pendidikan kesehatan reproduksi remaja
(KRR) yang sejatinya mengkampanyekan seks bebas asal aman; program
kondomiasasi; dan program harm reduction
dalam bentuk substitusi dan pembagian jarum suntik steril; dan yang lainnya.
Solusi Syar’I Mengatasi Seks Bebas
Maraknya
perilaku seks bebas di kalangan remaja hanya terjadi di dalam sistem yang
menghalalkan segala cara, mengagungkan kebebasan dan mencampakkan peran agama
dalam mengatur kehidupan. Semua ini ada di dalam sistem Kapitalisme yang
berlandaskan sekularisme. Ini berbeda dengan Islam. Islam adalah sistem yang
mampu mewujudkan kehidupan yang menjamin pemenuhan kebutuhan hidup,
menenteramkan jiwa dan memuaskan akal. Islam memiliki tatanan kehidupan yang
khas yang mampu menghentikan perilaku seks bebas secara tuntas dan mencegah
munculnya peluang-peluang penyimpangan perilaku termasuk seks bebas. Islam
memiliki solusi yang dilandaskan pada nash-nash syariah yang berasal dari
al-Quran dan as-Sunnah. Sistem Islam telah diterapkan dalam sistem pemerintahan
Islam sejak masa Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin dan masa Kekhilafahan
sesudahnya sampai tahun 1924. Islam memiliki kemampuan menyelesaikan
penyimpangan perilaku (seks bebas) dan menghentikannya secara tuntas saat
diterapkan secara kaffah
(baik pada masa silam maupun pada masa yang datang).
Penyelesaian
penyimpangan perilaku seks yang melanda remaja pada khususnya dan kaum Muslim
pada umumnya membutuhkan langkah yang terintegrasi antar berbagai komponen,
baik keluarga, sekolah (pendidikan), masyarakat dan negara. Seluruh komponen
ini membutuhkan penyamaan persepsi tentang standar yang diambil sebagai solusi.
Kebutuhan untuk menyelesaikan masalah secara tuntas harus dikembalikan pada
Islam.
Solusi
Islam untuk mengatasi permasalahan seks bebas, di antaranya sebagai berikut: Pertama, Islam telah
memerintahkan kepada kepala keluarga untuk mendidik anggota keluarga dengan
Islam agar jauh dari api neraka (tidak melakukan kemaksiatan) (Lihat: QS
at-Tahrim [66]: 6). Kedua, sebagai tindakan preventif, Islam
memiliki seperangkat solusi, di antaranya:
a.
Islam
telah mewajibkan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat, yang bila
dilanggar tentu ada sanksinya. Terkait aurat laki-laki yang wajib ditutup,
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya
(laki-laki) dari bawah pusar sampai ke dua lututnya merupakan auratnya.”
(HR Ahmad).” Adapun terkait aurat wanita, Allah SWT telah merintahkan kaum
wanita untuk menutup aurat mereka, termasuk memakai kerudung dan jilbab (Lihat:
QS an-Nur [24]: 31 dan al-Ahzab [33]: 59).
Dengan tertutupnya aurat pria dan wanita maka pornoaksi dan
pornografi tidak akan ada di tengah masyarakat. Dengan begitu, naluri seksual
tidak distimulasi pada saat yang tidak tepat.
b.
Islam
mengharuskan laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangan mereka (QS
an-Nur [24]: 30-31). Laki-laki tidak boleh memandang perempuan dengan pandangan
yang bersifat seksual. Demikian pula perempuan. Mereka harus menghindari diri
dari perbincangan yang mengarah pada eksploitasi seksualitas. Perbincangan di
antara mereka hanya perbincangan tugas dan keahlian mereka saja demi mewujudkan
kebaikan dan kemajuan.
c.
Islam
menerapkan pemisahan antara tempat aktivitas laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan umum di tempat-tempat tertentu, seperti dalam aktivitas
belajar-mengajar, perayaan berbagai acara, di tempat bekerja (tidak satu
ruangan antara manajer dan sekretaris yang perempuan, misalnya).
d.
Islam
melarang mendekati aktivitas-aktivitas yang merangsang munculnya perzinaan (QS
al-Isra’ [17]: 32). Islam, misalnya, telah melarang aktivitas berdua-duaan
antara laki-laki dan perempuan tanpa ada kepentingan yang dibolehkan syariah.
Rasulullah saw. bersabda, “Jangan
sekali-kali seorang lelaki berdia-duan dengan perempuan (berkhalwat) karena
sesungguhnya setan ada sebagai pihak ketiga.” (HR al-Baihaqi).
e.
Islam
melarang seorang pria dan wanita melakukan kegiatan dan pekerjaan yang
menonjolkan sensualitasnya. Rafi’ ibnu Rifa’a pernah bertutur, “Nabi saw. telah melarang kami dari
pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan oleh kedua tangannya.
Beliau bersabda “Seperti inilah jari-jemarinya yang kasar sebagaimana halnya
tukang roti, pemintal, atau pengukir.”
f.
Islam
menjadikan pernikahan sebagai satu-satunya solusi untuk memenuhi naluri seksual
yang sesuai dengan fitrah dan tujuan penciptaan naluri seks. Islam mendorong
setiap Muslim yang telah mampu menanggung beban untuk menikah sebagai cara
pemenuhan naluri seksual (Lihat: QS an-Nur [24]: 32).Rasulullah saw. juga
bersabda, “Wahai para
pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu memikul beban, hendaklah
ia menikah karena menikah dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.
Siapa saja yang belum mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa dapat menjadi
pengendali.”
Ketiga, Islam memelihara urusan masyarakat
agar berjalan sesuai dengan aturan Allah SWT. Oleh karena itu, Islam telah
menyiapkan seperangkat sanksi yang diterapkan negara bagi pelanggar aturan
Allah SWT, dalam hal ini untuk mencegah terjadinya seks bebas, yaitu: Allah SWT
menetapkan hukuman rajam bagi pezina
muhshan (yang sudah menikah) dan cambuk 100 kali bagi pezina yang
bukan muhshan. Keempat, Islam
melarang aktivitas membuat dan mencetak gambar porno serta membuat
cerita-cerita bertema cinta dan yang merangsang nafsu syahwat. Para pelakunya
akan diberikan tindakan yang tegas tanpa adanya diskriminasi hukum. Kelima, Islam memerintahkan amar makruf nahi
mungkar, tidak boleh membiarkan ada suatu kemaksiatan (Lihat: QS al-Anfal [8]:
25).
Begitulah Islam
telah sempurna mempersiapkan berbagai cara. dari 3 pilar, yaitu: individu yang
bertakwa, masyarakat yang beramar makruf
nahi mungkar dan adanya negara yang menerapkan keseluruhan hukum maupun
aturan Islam sebagai perisai mengatasi seks bebas, yaitu Daulah Khilafah.
Wallahu’alam bi shawabDisampaikan oleh Ika dalam forum Nada Kampus
tanggal 16 Februari 2013
Langganan:
Postingan (Atom)